08 April 2013

Kegelapan Itu Adalah Dirinya

            Jubah hitam terurai dari cakrawala timur hingga ufuk barat. Bumi masih teratur memalingkan wajahnya dari bintang galaksi bersinar yang sejak dulu menyinari wajah sang bumi. Gerombolan awan sedang pergi entah kemana, dan langitpun bisa menunjukan kekiranaannya. Gemerlap berjuta bintang jauh berserakkan teratur, berdiam pada posisinya masing-masing dan membentuk sesuatu yang biasa disebut rasi bintang. Fisik bulan bak keju bulat yang digantung. Pantulan sinar mentari menghiasi wajahnya yang membuat dia tampak syahdu.
            Katak dan jangkrik berkolaborasi bernyanyi dengan suara khasnya masing-masing yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Burung hantu mengiringinya dengan suara yang khas pula, walaupun agak menyeramkan. Angin sepoy-sepoy memaksa dedaunan untuk ikut berkolaborasi memainkan music simponinya. Malam ini, entah hari apa dan tanggal berapa, yang jelas suasana malam ini begitu indah.
            Anak kecil riang menghangatkan jalanan kampung. Mereka baru pulang pengajian. Saling tarik sarung masing-masing. Saling lempar kopyah masing-masing. Bercanda. Tertawa lepas. Saling berlarian meninggalkan satu sama lain. Berlarian karena takut oleh sesuatu. Hantu? Yaa, mungkin. Anak kecil biasanya takut oleh cerita hantu yang belum tentu benar.
            Di sebuah kamar, di rumah yang terdapat di daerah perkampungan Manonjaya, orang itu masih tertidur, tak terjaga. Dia tertidur dalam pelukan gelisah pukul pukul dua siang tadi.
            “Sial! Lagi-lagi aku terbangun.”
            Remaja berumur delapan belas tahun itu terganggu oleh suara riang anak-anak, terbangun dari tak terjaganya.      Rambut gondrong berantakan. Kulit putih kemerah-merahan dan agak aneh. Nafas bau minuman keras. Mata merah kelam cukup untuk menunjukkan kepedihannya. Tanpa baju, hanya jeans rombeng penuh dengan tambalan kain yang menutupi setengah tubuhnya. Postur tubuh kurus kering, tulang menonjol tak terlapisi daging, tubuh itu digerogoti oleh derita hidup, pipinya agak tembem, itu adalah efek dari infusan. Waktu kelas satu SMP dia pernah tertabrak mobil, luka parah, tapi sepertinya Tuhan masih menginginkannya hidup di dunia yang fana ini. Tidak ada pendarahan di otaknya, meskipun dia harus menginap dan tak sadarkan diri di Rumah Sakit selama dua minggu lebih. Setidaknya sekarang dia masih hidup.
            Kamar berantakan. Abu rokok berserakan. Pakaian kotor tergeletak tak teratur. Buku-buku tebal dan tipis menumpuk, satu buku bersmpul putih terpisah dari tumpukan buku lainnya. Gambar dan lukisan abstrak terpampang di dinding kamar yang kotor dan penuh dengan debu. Coretan aksara tersurat bersisian dengan gambar dan lukisan. Cahaya yang sangat redup memancar dari sebuah lampu kecil dalam toples keramik transparan. Kamarnya begitu pengap, entah sudah berapa lama dia tak membuka jendela kamar. Dia selalu mengunci jendelanya, begitu juga dengan pintu kamarnya.
            Diambil sebatang rokok filter. Cricket bergambar batik dalam genggaman tangan yang penuh dengan bekas dosa. Dengan satu gesekkan api kecil itu sudi nyala untuk membakar sebatang tembakau yang membuat paru dan jantungnya kadang terasa nyeri.
            “Sepuuuuh.”
       Menghembus bersama beban. Walaupun asap rokok bisa membuat paru-parunya hitam, tapi setidaknya itu bisa membuatnya sedikit lebih tenang, tapi membuatnya menjadi ketergantungan. Walaupun hanya sedikit dan sesaat. Separuh masuk ke dalam rongga paru, menempel dan merusak, separuh berhembus keluar bersama sedikit beban yang telah lama menindih jiwanya. Untunglah organ tubuhnya itu masih bisa meredam efek racun yang terkandung dalam tembakau.
     Pikirannya melayang. Menembus dinding tulang tengkorak yang melindungi kepalanya. Sukmanya terbang mengepakkan sayap hitam yang bergantungkan keresahan. Resah yang selalu menari pilu bersama gelisah. Alunan kelam merdu mengiringi tarian  kedua rasa itu. Menyusuri sesaknya lorong takdir yang jauh. Dia pergi untuk bertengkar dan berdebat dengan berjuta masalah yang selama ini setia mengambang dan melayang-laying dalam dunia sepinya. Suhunya begitu dingin, membekukan sayap hitamnya yang rapuh dan diapun kembali terjatuh ke dalam jurang putus asa. Atmosfer terasa hampa. Suasana amat kelam dan mencekam. Sesak.
            Orang itu berjalan terhuyung menuju jendela kamar pengapnya. Menyingkap gordeng hitam penuh debu yang menutupi jendela kamarnya, tapi tidak dengan jendelanya yang sudah mulai buram. Bersama rokok yang tinggal setengah, dia memandang langit malam yang begitu mempesona. Namun keelokkan langit tak mampu membuatnya berdamai dengan takdir yang digariskan padanya. Matanya yang merah kelam berkaca-kaca. Sorotan matanya tajam penuh dengan kekesalan dan kebencian. Menerawang jauh menembus angkasa luar. Menggertak hidupnya.
            “Sampai kapan resah ini mengikuti ku?”






            “Ayah, ini nasi gorengnya udah matang.”
            “Tolong anterin kesini, lagi seru nih, PERSIB menang dengan skor 2-0”
            Seorang ibu-ibu cantik yang sudah berkepala empat tengah memasak nasi goreng untuk imam yang dicintainya. Postur tubuh tidak gendut, tidak juga langsing. Rambut ikal sepundak menghiasi kepalanya. Agak tinggi. Ibu-ibu itu kerap dipanggil Bu Eem.
            Ibu-ibu itu mengantarkan sepiring nasi goreng matang pada suaminya. Memang itulah kewajiban seorang istri. Harus mentaati suaminya. Tak boleh membangkang. Kecuali perintahnya melanggar aturan-aturan langit.
            Suaminya memiliki postur tubuh pendek. Perut yang lumayan gendut. Bisa dibilang buncit. Kumis baplang menghiasi wajahnya. Memiliki gaya rambut yang pendek dan rapih. Dan yang paling Bu Eem suka dari suaminya adalah kepintarannya dalam bercanda. Pak Aceng, itulah nama dari orang yang kini menjadi imamnya.
            “Ini nasi gorengnya, Ayah. Gema sudah bangun belum, Yah?”
            “Makasih, bu. Tidak tahu. Coba lihat di kamarnya.”
            Bu Eem langsung menuju ke kamar anaknya.
            “Gema… Kamu udah bangun belum nak?”
            Wanita separuh baya itu mengecek anak pertamanya. Tapi anaknya tak memperdulikan panggilan Ibunya. Dia memilih bungkam dan berdiam seorang diri di kamar pengapnya. Tapi sebernarnya dia tidak sendiri. Ada derita yang setia menggerogoti tubuhnya. Resah yang setia mengikutinya kemanapun dia pergi. Kebencian yang sudah tumbuh besar dalam hatinya. Hampa yang selalu hadir dalam rasa. Kegelapan yang selalu menyelimuti jiwanya. Kelam yang rutin menghiasi dunianya. Kesepian yang tak jenuh mengikat jiwanya. Setan yang selalu menghembuskan kejahatan kedalam dadanya. Malaikat yang tak pernah lengah mencatat amal buruk dan amal baiknya, dan Tuhan yang selalu mengawasinya.
            “Gema… kamu sudah makan belum, Ibu bikin nasi goreng nih?”
            Anaknya masih tetap diam tak peduli. Memilih bungkam atas masalah yang menimpa hidupnya.
            Ah, yaa. Remaja berumur delapan belas tahun itu bernama Gema. Dia duduk di bangku kelas dua SMA, di daerah Manonjaya. Sudah beberapa tahun ke belakang dia minum minuman beralkohol, dan akhir-akhir ini dia lebih sering mengonsumsinya. Make obat-obatan terlarang. Menghisap ganja. Apapun yang bisa membuat otaknya mabuk dan tak sadar. Itu bisa membuat raut mukanya tidak seperti orang yang memiliki masalah dan derita, bisa membuatnya seperti orang yang ceria. Yaa, ceria dalam tak sadarnya. Dan alasan yang paling utama kenapa dia mengonsumsi barang-barang haram itu, agar dia bisa melupakan sedikit masalahnya. Tapi, tatkala rasa mabuknya sudah hilang, dia kembali bersedih meratapi hidupnya. Meratapi takdir yang dia anggap sebagai musuh. Hampir setiap hari dia seperti itu, sepulang sekolah selalu mengurung diri di kamar pengapnya. Meratapi derita. Tidur dan tak berbuat kemanfaatan. Sungguh nestapa. Sepertinya dia benar-benar terpuruk.
            Bu Eem lekas pergi ke ruang TV dan bergabung bersama suaminya. Dia berpikir bahwa anaknya kelelahan. Dia tidak tahu anaknya sedang ditimpa masalah hidup yang lumayan serius. Bahkan benar-benar serius. Sewaktu-waktu masalah itu bisa membuat anaknya jauh dari Tuhan dan menjadi seorang kafir. Yang dia tahu, anaknya adalah remaja nakal yang suka melanggar aturan sekolah. Tidak nurut sama orang tua. Dan cap kenakalan lain yang lekat ada pada anaknya itu. Duduk bersebelahan dengan suaminya.
            “Apa Gema tidak apa-apa, Yah?”
            “Tidak apa-apa, Bu. Tenang saja, walaupun dia punya masalah, dia pasti bisa menyelesaikannya. Percayalah padanya, Bu. Dia bisa melakukan sesuatu yang luar biasa.”
            Anaknya lahir sebagai bayi prematur. Dia menginap dalam perut ibunya hanya lima bulan lebih tiga minggu. Dulu, bidan yang membantu Ibu-ibu cantik itu melahirkan anak pertamanya bilang bahwa anaknya mustahil utnuk hidup sampai usia dewasa. Kalaupun bisa, kemungkinannya sangatlah kecil. Tapi, perkiraan bidan itu ternyata meleset, hingga hari ini anak pertama pasangan suami istri itu masih hidup. Walaupun hidupnya sedang berada dalam masalah.
            Pak Aceng menenangkan perasaan istrinya itu. Ternyata Bu Eem merasakan apa yang sedang terjadi pada anaknya. Sudah sewajarnya seorang Ibu bisa merasakan apa yang sedang sedang terjadi pada anaknya. Karena Ibu telah bersama kita sejak kita hanya segumpal darah dalam rahim. Ibu yang menjaga kita. Ibu yang menghidupi kita. Ibu yang melahirkan kita. Ibu yang mengayomi kita. Ibu yang merawat kita, Ibu adalah malaikat tanpa sayap yang dengan tulus merawat kita sampai sekarang. Kita tak akan pernah bisa membalas semua kebaikannya. Tak akan pernah bisa. Tapi, kita bisa membuatnya bahagia. Kita bisa membuatnya merasa bahagia karena kita.
            “Anak kita itu kuat, Bu. Lihatlah kumis bapaknya, tebal begini.” canda Pak Aceng sambil mengelus-ngelus kumis baplangnya.
             “Bapak ini, bisa aja.” Bu Ede menjawabnya sembari tersenyum.
            Untunglah Pak Aceng bisa meredam kekhawatiran istrinya.
           
`



           
            Konflik berduri menusuk diri
                Menangis merenung dalam kelam
                Menjerit jiwa dalam kesendirian
                Enggan ikhtiar tubuhku terpaku kealpaan
                Tak berserah pada apapun,
                Jiwaku menyerah pada kehampaan
                Membuang guna umur jantung
                Hati buta nihil kemanfaatan
                Terselimut gelap hitam yang pekat
                Kubakar harga umur dengan sebuah ketiadagunaan
                Terbakar percuma waktuku berabu
                Embuh kulepas belenggu alpa
                Namun tak mampu, lemah tak berarti
                Ragaku menentang jiwaku
                Menolak jiwa tuk bangun

           
            Mata tajam menantang. Pikiran buncah memuncak. Tekanan darah naik. Bibir tersenyum benci, seperti setan. Tangan mengepal. Muka Gema semakin memerah.
             “Haha.. HIDUP INI ADALAH KUTUKAN!”
            Kalimat itu terlontar begitu saja. Tanpa rasa takut akan kemarahan langit. Tanpa rasa takut akan kemarahan bumi. Tanpa rasa takut dan malu akan Tuhan yang menciptakan hidup ini.
            Kalimat itulah yang selalu terbersit dalam hatinya. Terlontar dari mulutnya. Menggetarkan bumi. Menggemparkan langit. Membuat kelelawar yang bersarang di pohon kelapa dekat rumahnya berterbangan.
            Tak lama setelah terlontar kalimat tak senono itu, langitpun mendadak kelam. Mulai tersaput awan hitam. Sang rembulan dan para bintang yang mempesona itu terhalang oleh kedatangan awan hitam pekat yang membawa bulir air hujan. Awan itu bersuara. Yaa, awan itu dicambuk malaikat.  Angin mulai meningkatkan kecepatannya. Lima detik, sepuluh detik, dua puluh detik, turunlah hujan lebat yang disertai dengan angin kencang dan petir yang menimbulkan kilat cahaya dan gelegar suara cambuk malaikat.
            Benar-benar mendadak. Tak terduga. Malam yang indah telah berubah menjadi malam yang mengerikan. Raut muka langit yang elok telah berubah menjadi langit yang membuat anak kecil menangis ketakutan. Sepertinya Tuhan marah pada anak itu.
            “Hoam… Sebaiknya aku tidur lagi, masih banyak takdir pahit yang harus kujalani besok.” dengusnya benci dalam hati.
            Rokok yang sudah hampir mendekati gabusnya dimatikan dengan menekankan ujungnya yang terbakar ke jendela dan membuangnya sembarang. Lampu yang menyala redup dimatikan. Lantas kembali terbaring di atas kasur empuk. Bersama resah, derita, dan hampa. Berselimutkan kegelapan. Kegelapan abadi. Hanya ada satu emosi di dalamnya. Kegelapan yang sangat pekat dan besar, meresap ke dalam setiap bagian tubuhnya. Itulah emosi yang sudah mengasah dirinya selama ini. Semua emosi yang memberikan kesedihan padanya, menjadi tak menentu.
                Kegelapan adalah cahaya terang dalam pandangan buta, dan buta adalah pandangan orang-orang mati, dan mati adalah kehidupan lain yang penuh misteri dan misteri adalah kegelapan abadi. Lalu, apakah kegelapan abadi? Yaa, dialah dirinya sendiri. Sudah sekian lama hatinya kosong menganga tak berdarah, tak menyisakan apapun kecuali rusuk remuk yang kerap kali batuk. Nurani yang ada pun semakin pekat berkabut. Bila saja dia toreh dadanya dan dia copot jantungnya, akan terlihat ribuan rayap kehidupan yang sedang berpesta menggerogoti jiwa yang keropos. Kemudian benang-benang keputusasaan mulai tampak. Menjerat erat, membelit leher dan jemarinya. Dan pada akhirnya hanya satu pilihan yang bisa dia lakukan, Mengampaki rayap-rayap kehidupan itu. Meskipun dia rebah dan terhuyung berdarah.


            Sunyi kurasa dalam lindungan malam
                Sepi menyiksa di bawah rembulan
                Keindahan semu terus membayang
                Memerangkap jiwa yang luka dalam dendam
                Kedua kaki telah lelah mencari jalan
                Kedua tangan telah lelah mencari pegangan
                Sepasang mata tak lagi mampu menatap masa depan
                Pikiranku tak mampu tuk menyelam,
                Mencari jawaban dalam laut hitam
                Hatiku telah merapuh dalam kegelapan
                Dusta telah merajai hidupku
                Neraka adalah tempat berpulangku
                Akulah pungguk yang merindukan bulan
                Iblis berwujud manusia yang merindukan rahmat Tuhan
                Justru terpuruk dalam kutukan
                Karena hati yang terus menyimpan dendam