Jubah hitam terurai dari cakrawala
timur hingga ufuk barat. Bumi masih teratur memalingkan wajahnya dari bintang galaksi
bersinar yang sejak dulu menyinari wajah sang bumi. Gerombolan awan sedang
pergi entah kemana, dan langitpun bisa menunjukan kekiranaannya. Gemerlap
berjuta bintang jauh berserakkan teratur, berdiam pada posisinya masing-masing
dan membentuk sesuatu yang biasa disebut rasi bintang. Fisik bulan bak keju
bulat yang digantung. Pantulan sinar mentari menghiasi wajahnya yang membuat
dia tampak syahdu.
Katak dan jangkrik berkolaborasi
bernyanyi dengan suara khasnya masing-masing yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
Burung hantu mengiringinya dengan suara yang khas pula, walaupun agak
menyeramkan. Angin sepoy-sepoy memaksa dedaunan untuk ikut berkolaborasi
memainkan music simponinya. Malam ini, entah hari apa dan tanggal berapa, yang
jelas suasana malam ini begitu indah.
Anak kecil riang menghangatkan
jalanan kampung. Mereka baru pulang pengajian. Saling tarik sarung
masing-masing. Saling lempar kopyah masing-masing. Bercanda. Tertawa lepas.
Saling berlarian meninggalkan satu sama lain. Berlarian karena takut oleh
sesuatu. Hantu? Yaa, mungkin. Anak kecil biasanya takut oleh cerita hantu yang
belum tentu benar.
Di sebuah kamar, di rumah yang
terdapat di daerah perkampungan Manonjaya, orang itu masih tertidur, tak terjaga.
Dia tertidur dalam pelukan gelisah pukul pukul dua siang tadi.
“Sial! Lagi-lagi aku terbangun.”
Remaja berumur delapan belas tahun
itu terganggu oleh suara riang anak-anak, terbangun dari tak terjaganya. Rambut gondrong berantakan. Kulit putih
kemerah-merahan dan agak aneh. Nafas bau minuman keras. Mata merah kelam cukup
untuk menunjukkan kepedihannya. Tanpa baju, hanya jeans rombeng penuh dengan
tambalan kain yang menutupi setengah tubuhnya. Postur tubuh kurus kering,
tulang menonjol tak terlapisi daging, tubuh itu digerogoti oleh derita hidup,
pipinya agak tembem, itu adalah efek dari infusan. Waktu kelas satu SMP dia pernah
tertabrak mobil, luka parah, tapi sepertinya Tuhan masih menginginkannya hidup
di dunia yang fana ini. Tidak ada pendarahan di otaknya, meskipun dia harus
menginap dan tak sadarkan diri di Rumah Sakit selama dua minggu lebih.
Setidaknya sekarang dia masih hidup.
Kamar berantakan. Abu rokok
berserakan. Pakaian kotor tergeletak tak teratur. Buku-buku tebal dan tipis
menumpuk, satu buku bersmpul putih terpisah dari tumpukan buku lainnya. Gambar
dan lukisan abstrak terpampang di dinding kamar yang kotor dan penuh dengan
debu. Coretan aksara tersurat bersisian dengan gambar dan lukisan. Cahaya yang
sangat redup memancar dari sebuah lampu kecil dalam toples keramik transparan.
Kamarnya begitu pengap, entah sudah berapa lama dia tak membuka jendela kamar.
Dia selalu mengunci jendelanya, begitu juga dengan pintu kamarnya.
Diambil sebatang rokok filter.
Cricket bergambar batik dalam genggaman tangan yang penuh dengan bekas dosa. Dengan
satu gesekkan api kecil itu sudi nyala untuk membakar sebatang tembakau yang
membuat paru dan jantungnya kadang terasa nyeri.
“Sepuuuuh.”
Menghembus bersama beban. Walaupun
asap rokok bisa membuat paru-parunya hitam, tapi setidaknya itu bisa membuatnya
sedikit lebih tenang, tapi membuatnya menjadi ketergantungan. Walaupun hanya
sedikit dan sesaat. Separuh masuk ke dalam rongga paru, menempel dan merusak, separuh
berhembus keluar bersama sedikit beban yang telah lama menindih jiwanya.
Untunglah organ tubuhnya itu masih bisa meredam efek racun yang terkandung
dalam tembakau.
Pikirannya melayang. Menembus
dinding tulang tengkorak yang melindungi kepalanya. Sukmanya terbang
mengepakkan sayap hitam yang bergantungkan keresahan. Resah yang selalu menari
pilu bersama gelisah. Alunan kelam merdu mengiringi tarian kedua rasa itu. Menyusuri sesaknya lorong
takdir yang jauh. Dia pergi untuk bertengkar dan berdebat dengan berjuta
masalah yang selama ini setia mengambang dan melayang-laying dalam dunia
sepinya. Suhunya begitu dingin, membekukan sayap hitamnya yang rapuh dan diapun
kembali terjatuh ke dalam jurang putus asa. Atmosfer terasa hampa. Suasana amat
kelam dan mencekam. Sesak.
Orang itu berjalan terhuyung menuju
jendela kamar pengapnya. Menyingkap gordeng hitam penuh debu yang menutupi
jendela kamarnya, tapi tidak dengan jendelanya yang sudah mulai buram. Bersama
rokok yang tinggal setengah, dia memandang langit malam yang begitu mempesona.
Namun keelokkan langit tak mampu membuatnya berdamai dengan takdir yang
digariskan padanya. Matanya yang merah kelam berkaca-kaca. Sorotan matanya
tajam penuh dengan kekesalan dan kebencian. Menerawang jauh menembus angkasa
luar. Menggertak hidupnya.
“Sampai kapan resah ini mengikuti
ku?”
“Ayah, ini nasi gorengnya udah
matang.”
“Tolong anterin kesini, lagi seru
nih, PERSIB menang dengan skor 2-0”
Seorang ibu-ibu cantik yang sudah
berkepala empat tengah memasak nasi goreng untuk imam yang dicintainya. Postur
tubuh tidak gendut, tidak juga langsing. Rambut ikal sepundak menghiasi
kepalanya. Agak tinggi. Ibu-ibu itu kerap dipanggil Bu Eem.
Ibu-ibu itu mengantarkan sepiring nasi
goreng matang pada suaminya. Memang itulah kewajiban seorang istri. Harus
mentaati suaminya. Tak boleh membangkang. Kecuali perintahnya melanggar aturan-aturan
langit.
Suaminya memiliki postur tubuh pendek.
Perut yang lumayan gendut. Bisa dibilang buncit. Kumis baplang menghiasi
wajahnya. Memiliki gaya rambut yang pendek dan rapih. Dan yang paling Bu Eem
suka dari suaminya adalah kepintarannya dalam bercanda. Pak Aceng, itulah nama
dari orang yang kini menjadi imamnya.
“Ini nasi gorengnya, Ayah. Gema sudah
bangun belum, Yah?”
“Makasih, bu. Tidak tahu. Coba lihat
di kamarnya.”
Bu Eem langsung menuju ke kamar
anaknya.
“Gema… Kamu udah bangun belum nak?”
Wanita separuh baya itu mengecek
anak pertamanya. Tapi anaknya tak memperdulikan panggilan Ibunya. Dia memilih
bungkam dan berdiam seorang diri di kamar pengapnya. Tapi sebernarnya dia tidak sendiri. Ada derita yang
setia menggerogoti tubuhnya. Resah yang setia mengikutinya kemanapun dia pergi.
Kebencian yang sudah tumbuh besar dalam hatinya. Hampa yang selalu hadir dalam
rasa. Kegelapan yang selalu menyelimuti jiwanya. Kelam yang rutin menghiasi
dunianya. Kesepian yang tak jenuh mengikat jiwanya. Setan yang selalu
menghembuskan kejahatan kedalam dadanya. Malaikat yang tak pernah lengah
mencatat amal buruk dan amal baiknya, dan Tuhan yang selalu mengawasinya.
“Gema… kamu sudah makan belum, Ibu
bikin nasi goreng nih?”
Anaknya masih tetap diam tak peduli.
Memilih bungkam atas masalah yang menimpa hidupnya.
Ah, yaa. Remaja berumur delapan
belas tahun itu bernama Gema. Dia duduk di bangku kelas dua SMA, di daerah
Manonjaya. Sudah beberapa tahun ke belakang dia minum minuman beralkohol, dan
akhir-akhir ini dia lebih sering mengonsumsinya. Make obat-obatan terlarang.
Menghisap ganja. Apapun yang bisa membuat otaknya mabuk dan tak sadar. Itu bisa
membuat raut mukanya tidak seperti orang yang memiliki masalah dan derita, bisa
membuatnya seperti orang yang ceria. Yaa, ceria dalam tak sadarnya. Dan alasan
yang paling utama kenapa dia mengonsumsi barang-barang haram itu, agar dia bisa
melupakan sedikit masalahnya. Tapi, tatkala rasa mabuknya sudah hilang, dia
kembali bersedih meratapi hidupnya. Meratapi takdir yang dia anggap sebagai
musuh. Hampir setiap hari dia seperti itu, sepulang sekolah selalu mengurung
diri di kamar pengapnya. Meratapi derita. Tidur dan tak berbuat kemanfaatan. Sungguh
nestapa. Sepertinya dia benar-benar terpuruk.
Bu Eem lekas pergi ke ruang TV dan
bergabung bersama suaminya. Dia berpikir bahwa anaknya kelelahan. Dia tidak
tahu anaknya sedang ditimpa masalah hidup yang lumayan serius. Bahkan
benar-benar serius. Sewaktu-waktu masalah itu bisa membuat anaknya jauh dari
Tuhan dan menjadi seorang kafir. Yang dia tahu, anaknya adalah remaja nakal yang
suka melanggar aturan sekolah. Tidak nurut sama orang tua. Dan cap kenakalan
lain yang lekat ada pada anaknya itu. Duduk bersebelahan dengan suaminya.
“Apa Gema tidak apa-apa, Yah?”
“Tidak apa-apa, Bu. Tenang saja, walaupun
dia punya masalah, dia pasti bisa menyelesaikannya. Percayalah padanya, Bu. Dia
bisa melakukan sesuatu yang luar biasa.”
Anaknya lahir sebagai bayi prematur.
Dia menginap dalam perut ibunya hanya lima bulan lebih tiga minggu. Dulu, bidan
yang membantu Ibu-ibu cantik itu melahirkan anak pertamanya bilang bahwa
anaknya mustahil utnuk hidup sampai usia dewasa. Kalaupun bisa, kemungkinannya
sangatlah kecil. Tapi, perkiraan bidan itu ternyata meleset, hingga hari ini
anak pertama pasangan suami istri itu masih hidup. Walaupun hidupnya sedang
berada dalam masalah.
Pak Aceng menenangkan perasaan istrinya
itu. Ternyata Bu Eem merasakan apa yang sedang terjadi pada anaknya. Sudah
sewajarnya seorang Ibu bisa merasakan apa yang sedang sedang terjadi pada
anaknya. Karena Ibu telah bersama kita sejak kita hanya segumpal darah dalam
rahim. Ibu yang menjaga kita. Ibu yang menghidupi kita. Ibu yang melahirkan
kita. Ibu yang mengayomi kita. Ibu yang merawat kita, Ibu adalah malaikat tanpa
sayap yang dengan tulus merawat kita sampai sekarang. Kita tak akan pernah bisa
membalas semua kebaikannya. Tak akan pernah bisa. Tapi, kita bisa membuatnya
bahagia. Kita bisa membuatnya merasa bahagia karena kita.
“Anak kita itu kuat, Bu. Lihatlah
kumis bapaknya, tebal begini.” canda Pak Aceng sambil mengelus-ngelus kumis
baplangnya.
“Bapak ini, bisa aja.” Bu Ede menjawabnya
sembari tersenyum.
Untunglah Pak Aceng bisa meredam
kekhawatiran istrinya.
`
Konflik berduri menusuk diri
Menangis merenung dalam kelam
Menjerit jiwa dalam kesendirian
Enggan ikhtiar tubuhku terpaku kealpaan
Tak berserah pada apapun,
Jiwaku menyerah pada kehampaan
Membuang guna umur jantung
Hati buta nihil kemanfaatan
Terselimut gelap hitam yang pekat
Kubakar harga umur dengan sebuah ketiadagunaan
Terbakar percuma waktuku berabu
Embuh kulepas belenggu alpa
Namun tak mampu, lemah tak berarti
Ragaku menentang jiwaku
Menolak jiwa tuk bangun
Menangis merenung dalam kelam
Menjerit jiwa dalam kesendirian
Enggan ikhtiar tubuhku terpaku kealpaan
Tak berserah pada apapun,
Jiwaku menyerah pada kehampaan
Membuang guna umur jantung
Hati buta nihil kemanfaatan
Terselimut gelap hitam yang pekat
Kubakar harga umur dengan sebuah ketiadagunaan
Terbakar percuma waktuku berabu
Embuh kulepas belenggu alpa
Namun tak mampu, lemah tak berarti
Ragaku menentang jiwaku
Menolak jiwa tuk bangun
Mata tajam menantang. Pikiran buncah
memuncak. Tekanan darah naik. Bibir tersenyum benci, seperti setan. Tangan
mengepal. Muka Gema semakin memerah.
“Haha.. HIDUP INI ADALAH KUTUKAN!”
Kalimat itu terlontar begitu saja.
Tanpa rasa takut akan kemarahan langit. Tanpa rasa takut akan kemarahan bumi.
Tanpa rasa takut dan malu akan Tuhan yang menciptakan hidup ini.
Kalimat itulah yang selalu terbersit
dalam hatinya. Terlontar dari mulutnya. Menggetarkan bumi. Menggemparkan
langit. Membuat kelelawar yang bersarang di pohon kelapa dekat rumahnya
berterbangan.
Tak lama setelah terlontar kalimat tak
senono itu, langitpun mendadak kelam. Mulai tersaput awan hitam. Sang rembulan
dan para bintang yang mempesona itu terhalang oleh kedatangan awan hitam pekat yang
membawa bulir air hujan. Awan itu bersuara. Yaa, awan itu dicambuk malaikat. Angin mulai meningkatkan kecepatannya. Lima
detik, sepuluh detik, dua puluh detik, turunlah hujan lebat yang disertai
dengan angin kencang dan petir yang menimbulkan kilat cahaya dan gelegar suara
cambuk malaikat.
Benar-benar mendadak. Tak terduga. Malam
yang indah telah berubah menjadi malam yang mengerikan. Raut muka langit yang
elok telah berubah menjadi langit yang membuat anak kecil menangis ketakutan.
Sepertinya Tuhan marah pada anak itu.
“Hoam… Sebaiknya aku tidur lagi,
masih banyak takdir pahit yang harus kujalani besok.” dengusnya benci dalam
hati.
Rokok yang sudah hampir mendekati
gabusnya dimatikan dengan menekankan ujungnya yang terbakar ke jendela dan
membuangnya sembarang. Lampu yang menyala redup dimatikan. Lantas kembali
terbaring di atas kasur empuk. Bersama resah, derita, dan hampa. Berselimutkan
kegelapan. Kegelapan abadi. Hanya ada satu emosi di dalamnya. Kegelapan yang
sangat pekat dan besar, meresap ke dalam setiap bagian tubuhnya. Itulah emosi
yang sudah mengasah dirinya selama ini. Semua emosi yang memberikan kesedihan
padanya, menjadi tak menentu.
Kegelapan adalah cahaya terang dalam pandangan buta,
dan buta adalah pandangan orang-orang mati, dan mati adalah kehidupan lain yang
penuh misteri dan misteri adalah kegelapan abadi. Lalu, apakah kegelapan abadi?
Yaa, dialah dirinya sendiri. Sudah sekian lama hatinya kosong menganga tak
berdarah, tak menyisakan apapun kecuali rusuk remuk yang kerap kali batuk. Nurani
yang ada pun semakin pekat berkabut. Bila saja dia toreh dadanya dan dia copot
jantungnya, akan terlihat ribuan rayap kehidupan yang sedang berpesta
menggerogoti jiwa yang keropos. Kemudian benang-benang keputusasaan mulai
tampak. Menjerat erat, membelit leher dan jemarinya. Dan pada akhirnya hanya
satu pilihan yang bisa dia lakukan, Mengampaki rayap-rayap kehidupan itu.
Meskipun dia rebah dan terhuyung berdarah.
Sunyi kurasa dalam lindungan
malam
Sepi menyiksa di bawah rembulan
Keindahan semu terus membayang
Memerangkap jiwa yang luka dalam dendam
Kedua kaki telah lelah mencari jalan
Kedua tangan telah lelah mencari pegangan
Sepasang mata tak lagi mampu menatap masa depan
Pikiranku tak mampu tuk menyelam,
Mencari jawaban dalam laut hitam
Hatiku telah merapuh dalam kegelapan
Dusta telah merajai hidupku
Neraka adalah tempat berpulangku
Akulah pungguk yang merindukan bulan
Iblis berwujud manusia yang merindukan rahmat Tuhan
Justru terpuruk dalam kutukan
Karena hati yang terus menyimpan dendam
Sepi menyiksa di bawah rembulan
Keindahan semu terus membayang
Memerangkap jiwa yang luka dalam dendam
Kedua kaki telah lelah mencari jalan
Kedua tangan telah lelah mencari pegangan
Sepasang mata tak lagi mampu menatap masa depan
Pikiranku tak mampu tuk menyelam,
Mencari jawaban dalam laut hitam
Hatiku telah merapuh dalam kegelapan
Dusta telah merajai hidupku
Neraka adalah tempat berpulangku
Akulah pungguk yang merindukan bulan
Iblis berwujud manusia yang merindukan rahmat Tuhan
Justru terpuruk dalam kutukan
Karena hati yang terus menyimpan dendam