29 Oktober 2013

Aku Belum Tahu



Sang fajar mulai muncul dari cakrawala timur. Adzan subuh berkumandang dengan lagam yang khas. Bapak-bapak dan orang tua lanjut usia bergegas untuk sholat berjamaah di mesjid. Aku telah resmi menjadi mahasiswa teknik informatika di salah satu universitas swasta di kota Tasikmalaya. Karena aku tak diterima di universitas negeri yang aku inginkan, jadi aku kuliah di universitas swasta, yang gampang masuknya, udah gitu lumayan dekat dengan rumahku.
Mendengar adzan subuh berkumandang aku bergegas bangun, mengambil air wudhu dan sholat. Sebenarnya bukan karena mendengar merdunya kumandang adzan, tapi karena dibangunkan oleh Ibuku. Jujur saja, alarm tidak bisa membangunkanku, hanya ibuku yang jago membangunkanku. Berdoa dan bersyukur. Lantas makan dengan lauk pauk yang tergolong dalam makanan orang kaya. Kurang apa coba hidupku. Semua kebutuhanku tercukupi. Bahkan lebih dari yang aku butuhkan. Beres makan seperti biasa, mulut terasa pahang, mengambil sebatang rokok, puuuuuh. Meracuni paru yang akhir-akhir ini kerap kali nyeri. Menghembuskan beban bersama kepulan asap yang tak masuk ke dalam paru-paru.
Sembari menghabiskan rokok, aku melamun, teringat apa yang aku tulis semalam dalam buku diaryku. "Jika memang hidup ini adalah anugrah, aku akan menatap semuanya dengan penuh cinta. Jika memang hidup ini adalah kutukan, aku akan menatap semuanya dengan penuh kebencian dan aku akan membakar semuanya. Jika memang hidup ini adalah pilihan, ku akan menembak pilihan itu sekenanya, seperti saat ujian di sekolah haha tanpa belajar terlebih dahulu. Jika memang hidup ini adalah perjuangan, aku akan bersantai dengan ditemani asap nikotin, kopi, dan musik. Jika memang hidup ini adalah lari dari satu masalah ke masalah lain, aku akan mabuk parah sampai tak ingat apapun, sehingga aku bisa melupakan masalah itu, walau hanya sesaat. Jika memang hidup ini adalah derita yang dihasilkan oleh manusia yang merasa dirinya sempurna, maka aku akan membunuh semua orang yang merasa dirinya sempurna, yang mendiskriminasiku, semua orang yang menatapku dengan tatapan aneh, yang selalu menghinaku, semua orang yang aku benci, dan aku akan merayakan pembunuhan masalku dengan mabuk parah disamping tumpukan mayat orang2 yang kubenci, mabuk sampai tak ingat apa pun, sampai aku gila, bersama asap rokok yang tak henti meracuni paru dan botol minuman keras bermerek yang digenggam tangan berlumuran darah. Jika memang hidup ini adalah sebuah permainan rumit yang diciptakan oleh Tuhan hanya untuk kepuasan-Nya dan Dia tega menyiksa makhluk yang tidak menuruti perintah-Nya, ah tidak, aku pikir Dia berhak, bukankah Dia yang menciptakan kita? Tapi aku rasa aku juga tak pernah minta diciptakan. Ah sudah lah, anatomi definisi hidup yang ini benar-benar rumit, aku tak mampu menguraikannya secara spesifik, bahkan masih bias. Dan jika memang seperti itu, aku akan bersetubuh dengan dosa, menikmati setiap orgasme dan klimaksnya. Fatalis. Bertobat. Lalu mencari keridhoan-Nya. Aku berharap ragaku bisa tersenyum ketika ruhku sudah tak berada di dalamnya. Dan jika memang hidup ini adalah...". Ah sudahlah, sebatang rokok yang menemaniku hanya tinggal menyisakan gabus.
Aku mandi, tidak lupa menggosok gigi. Sambil berteriak-teriak menyanyikan lagu 'Forgotten - Resital Apokalips'. "Rancang bencana. Susun kutukan. Kobarkan dendam. Tumpahkan marah". Dan ibuku menggedor pintu kamar mandi, "Gandeng Gema, bisi disangka kasurupan ku tatangga!". Aku menjawab "Muhun Mah". Diam sejenak, lalu melanjutkannya kembali "Demi surga yang kau janjikan. Tentang satu hidup yang kekal. Demi sebuah utopia. Tentang marahku pada dunia. Untuk benci dan dendam. Rayakan kehancuran". Ibuku memerahiku lagi. Lalu aku sudahi mandiku. Hari ini ada jadwal rapat jam sembilan pagi ini, karena mengikuti kepanitian acara yang akan diselenggarakan oleh Jurusan Informatika universitasku. Seperti biasa sebelum ke kampus aku mampir ke warung kopi hanya untuk menikmati segelas kopi dan beberapa batang rokok, namun hari ini aku hanya membeli beberapa batang rokok dan membayar utang semalam, lantas pergi ke rumah temanku yang sudah empat hari tak bertemu.
"Assalamu'alaikum", salamku dengan raut wajah yang tersenyum. Dan temanku menjawab salam dengan ekspresi masih ngantuk. "Kamana wae maneh gem?". Namanya Ijo. Aku sudah berteman selama empat tahun. Dia adalah salah satu teman seperbotolanku. Orangnya baik dan konyol. Pagi ini dia menjamuku dengan dua gelas kopi hitam. Lantas dilanjutkan dengan acara berbincang-bincang tentang empat malam yang lalu. Kita mencoba menciptakan ilusi menggunakan masrum yang dimasak dengan air panas dan dicampur rasa manis pemberian dari seorang teman scooterist. Aku ingin mencoba melupakan masalah walau hanya sesaat, menikmati kesedihan dan kebencian yang masih tertanam dalam hati. Haha betapa bahagianya kami menikmati ilusi, ditemani api unggun dan musik reggea, asap rokok tak pernah berhenti meracuni paru kami, setidaknya sampai kami tumbang. Ketika mereka asik tertawa, aku ingin pulang, karena sudah tak bisa menahan rasa ngantuk. Tanpa permisi terlebih dahulu. Hahaha aku tertawa, betapa khawatirnya mereka mengetahui aku menghilang begitu saja. Dan pagi ini aku presentasi atas menghilangnya diriku malam itu pada seorang Ijo.
Setelah selesai bercerita, aku berangkat ke kampus. Untuk membakar semangatku pagi ini, Hajar Jalanan-nya Forgotten menjadi soundtrack yang menemaniku menunggangi vespa tuaku. Suara cempreng kenalpot vespa memecah ketentraman jalanan di kampungku. Dengan kecepatan seadanya, aku tarik pedal gasku sampai mentok.
Tasik saat ini berbeda dengan tasik yang dulu. Sekarang sudah mulai terkontaminasi oleh kotornya industri. Polusi udara sudah mulai mengikis udara bersih kota santri ini. Sekarang banyak mobil truk yang mengotori jalanan Tasik. Dan rintangan terbesarku saat berangkat dan pulang kuliah adalah menyusul mobil-mobil pengangkut itu. Dengan kecepatan motorku yang seadanya dan 'euweuh tanagaan'. Lagu yang menenemani perjalananku sudah sampai pada track ke enam 'Forgotten - Surga Metafora'. Aku sudah sampai ke gerbang kampus. Menuju parkiran. Aku sudah tak peduli lagi dengan orang-orang yang menatap aneh diriku.
Shit, aku masih menganut budaya Indonesia, selalu terlabmat, bergegas ke gedung tempat rapat, aku sudah terlambat dua menit. Setelah selesai rapat aku langsung melesat ke kelas secepat semut. Duduk di kursi, dan Dosen pun datang. Jadwal kuliahku hari ini adalah Bahasa Indonesia. Mata pelajaran yang sangat aku sukai. Karena ini adalah pertemuan pertama, satu persatu Mahasiswa di kelasku maju ke depan untuk memperkenalkan diri. Setelah perkenalan, Dosen hanya membahas tentang perkenalan bahasa.
Dalam pembahasan pertamanya ini, Ibu Dosen membahas tentang kegagalan komunikasi. "Bagaimana bila sekarang Tuhan telah mati? Orang-orang sudah membunuh Tuhan-nya sendiri, dan menggantinya dengan tuhan-tuhan baru. Orang-orang lebih sering pergi ke mall, tempat nongkrong, dan lainnya daripada pergi ke tempat ibadah. Lebih sering buka dan baca majalah, media sosial dan lainnya daripada buka dan baca kitab suci mereka. Pen-Tuhan-an terhadap uang telah marak terjadi di kalangan makhluk berakal ini." dan kebisingan Mahasiswa yang tak memperhatikan Dosen pun terbungkam, hening. Ibu Dosen menghela nafas panjang. Desas-desis orang-orang di sekitarku mulai terdengar. Ada yang menertawaiku. "Tuhan tidak mati, bung" seorang Mahasiswa di belakangku menertawakan dalam bentuk kalimat. Kegagalan komunikasi pun tesjadi.
"Bagaimana jika yang saya maksud Tuhan telah mati itu bahwa orang-orang telah melupakan Tuhan-nya dan mereka telah mengidolakan idolanya secara berlebihan, uang pun seakan-akan menjadi sesuatu yang bisa melakukan apa pun, dan orang-orang malah beranggapan saya mendustai sifat yang dimiliki oleh Tuhan, menghina-Nya, bahkan orang-orang yang mengaku seorang muslim, yang saya tahu hukum memvonis seseorang kafir yang tak jelas kekafirannya hukuman dan pertanggung-jawabannya sangat berat, malah memvonis saya kafir atau apa pun kebusukan yang terlintas di pikiran mereka. Nah di sini faktor kegagalan komunikasi terletak pada siapa, Bu? Saya atau mereka yang mencerna sesuatu tanpa dimengerti dan dipahami terlebih dahulu?" "Jika memang seperti itu, bisa terletak pada anda, dan juga orang lain. Karena memiliki artikulasi ganda. Bagaimana? Sudah jelas?" "Bagaimana jika gaya bahasa yang saya gunakan itu sarkasme?" “Kenapa tidak secara langsung aja bahwa orang-orang sudah melupakan Tuhan-nya?” “Berapa orang yang sudah mengatakan ‘orang-orang sudah melupakan Tuhan-nya’? Kalimat itu hanya melintas dipikiran orang-orang, masuk dari telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Orang-orang tidak menggubrisnya. Dan saya kira kalimat ‘TUHAN ELAH MATI’ ini tidak akan dilupakan begitu saja, kalimat sarkasme ini akan terus diingat oleh mereka.” “Terserah anda, yang paling penting sekarang, anda harus memikirkan korelasinya antara apa yang anda ungkapkan dengan orang lain.” “Iya, Bu, saya mengerti, terimakasih.” Sebenarnya aku belum mearsa puas dengan diskusi ini, namun apa daya tempat dan situasi tidak mendukung.
Sepulangnya kuliah teman-temanku masih saja menertawaiku, mengolok-olokku. "Eh bro, Tuhan itu tidak mati, kalau Tuhan mati siapa yang menciptakanmu? Agamamu apa sih?" aku jawab hanya dengan senyuman, sinis. Berjalan pulang, pasang headset, dan putar lagu 'Forgotten - Sarkasme’. Sepanjang jalan menuju parkiran aku berteriak-teriak seperti orang gila. Bernyanyi. Hahahaha persetan dengan mereka yang menatap aneh padaku. Persetan dengan orang-orang yang menertawaiku. Persetan dengan mereka yang marah, yang berkata 'gandeng sia'. Hello, surga dan neraka bukan milik kalian, ngehe! Langsung menuju Scooter tuaku yang berdiri manis diantara motor-motor mahal. Kuhidupkan, lalu aku 'gaur-gaur' sekencang mungkin. Hahaha 'persetan'. Hari ini aku benar-benar merasa benci pada semuanya. Bahkan ketika aku memberikan kartu parkir tidak memberikan senyuman pada tukang parkir, biasanya aku suka memberikan dia senyuman sopan.
Playlist yang menemani perjalananku adalah 'Forgotten'. Disepanjang jalan aku masih berteriak-teriak seperti orang gila. Track sudah sampai pada ‘Serapah Laknat’. Apa yang aku tulis semalam kembali melintas dalam otak gilaku. Hidup ini apa? Untuk apa? Apa makna hakiki dari hidup ini? Semoga aku bisa menemukannya. Dan dalam hitungan detik aku kembali larut dalam makna hidup yang sedang aku cari. Menerawang jauh, liar menjelajahi kehidupan. Melamun. Dan jika dalam hidup ini aku tak bisa menemukannya, mungkin di kehidupan yang selanjutnya aku akan menemukannya, dalam kematian atau dalam sunyaruri, aku tak tahu. Walu untuk menuju tempat itu aku harus melewati pintu yang penuh dengan bualan setan dan derita. Heh, hidup didalam mati. Yah, aku pasti akan menemukannya. Track sudah sampai pada ‘Hidup Adalah Kutukan’. Aku masih asik dengan penjelajahanku. Kini suara merdu om Addy Gembel menyanyikan lagu ‘Obsesi Mati’ mengalun lewat headset murah yang kubeli seminggu yang lalu dengan uang hasil menggadaikan sepatuku. Oh shit, sedang asik-asiknya aku melamun, di depanku ada sebuah mobil truk yang sedang menyalip mobil. Dan motor-tuaku tepat menghantam bodi depan truk itu.
Sepertinya aku pingsan dan aku bermimpi buruk. Mimpi itu benar-benar seperti nyata. Sakit. Sangat menyakitkan. Rasanya seperti teramat pahit dan menderita. Tubuhku laksana dibelit kawat berduri yang menghunjam ke setiap bagian otot, kemudian ditarik, sehingga tercabik-cabik dan tercerabut dari tulang. Dan sekarang aku berdiri di samping tubuhku yang sangat mengenaskan. Betapa menyedihkannya tubuh yang selama ini menjadi media ruhku untuk berbuat pahala dan dosa. Sekilas aku melirik iPodku yang masih menyala. Kini track sudah sampai pada ‘Kematian Maksimal’. Banyak orang yang mengerumuni tubuhku. Aku berteriak sekencang mungkin agar mereka menghubungi orangtuaku. Tapi saying, tak ada yang memperdulikanku. Mereka hanya sibuk menonton tubuhku yang berlumuran darah. Aku kembali melirik iPod-ku, track sudah sampai pada ‘Laras Perlaya’.
Aku tidak tahu sekarang ini aku siapa dan apa. Aku tak tahu sekarang ini aku sedang berada dimana dan harus kemana. Aku hanya berjalan tanpa arah meninggalkan tubuhku yang dikelilingi oleh warga sekitar. Dengan tatapan yang kosong dan gelapnya pikiran aku masih berpikir tentang apa yang aku tulis semalam, ‘Hidup ini apa? Dan untuk apa?’