Kesadaranku menyambut mentari yang sedang bersiap
melakukan rutinitasnya. Begitu juga aku yang sedang melakukan persiapan untuk
pergi bertempur dengan monster yang tertidur pulas dalam diriku. Sebuta pagi
ini aku merakit senjata yang masih belum siap karena aku belum menemukan peluru
ampuh untuk memenangkan pertempuran yang sudah sekian lama aku menjadi martir
dari sisi air. Sebatang rokok filter menjadi amfetamin untuk menstimulasi
terciptanya peluru bius yang bisa menidurkan monster yang sedang nyenyak dan
juga vaksin untuk melindunginya dari virus yang paling berbahaya di dunia yang
fana ini. Monster itu bernama nafsu. Dan virus yang bisa membangunkannya adalah
kebencian.
“Sepuuuhhhhhh…” kuhembuskan rokok yang tinggal menyisakan
gabus.
Jam enam pagi aku harus sudah berada di kampus. Kubuang
rokok tanpa kumatikan terlebih dulu. Tali sepatu yang terbuat dari rapia warna
merah dan putih kukencangkan. Bergegas untuk pergi ke medan pertempuran. Kali
ini perjalananku tidak dibantu oleh Vespa tua kebanggaanku. Aku diantar oleh
pria berkumis tebal yang sudah setia menafkahiku, Ayah. Waktu dunia ini
berkurang setengah jam, dan kakiku sudah menyentuh halaman kampus.
“Lari.. lari.. cepat lari..” Salah satu panitia berteriak
lewat toa kecil (teu apal ngaranna, nu sok dipake demo gening :D) hasil dari usaha
anggota UKM tanpa mengemis rupiah pada yayasan karena puluhan permintaan yang
sudah diabaikan. Entah lah, berdasarkan cerita dari ketua UKM, yayasan yang
menaungi organisasi ini bersifat diskriminasi.
Laju kakiku merespon dengan lari seperti junior aparat
yang diteriaki oleh seniornya.
“Santai.. santai.. Saya berteriak bukan sama kamu. Saya
berteriak sama dia.” Telunjuknya mengarah ke panitia yang berjalan di
belakangku. “Bagus. Kamu calon anggota yang pertama datang ke sini. Santai.
Silahkan simpan tasnya dan duduk dulu di sana. Ini masih sangat pagi.” Dengan
senyuman dia menyuruhku duduk di pinggir ruangan Fakultas Teknik.
“Iya, Kak. Siap, laksanakan.” aku meniru gaya militer.
“Eh kela.. kela.. nempo cik potona. Anjir, geulis euy
kabogoh maneh.” Salah satu panitia berbadan kekar namun tidak terlalu tinggi
ingin melihat salah satu foto di nametagku. A Ijey.
“Sanes,A. Ieu mah sanes kabogoh abi. Doris Yeh ieu mah,
A, Bassisna Chthonic.” Salah satu dari puluhan persyaratan untuk mengikuti
kegiatan P3DB ini adalah harus memasang foto pacar di nametag. Karena saya
tidak mempunyai seorang pacar (tong seuri) jadi saya tempelin aja foto si Doris
yang cantik, manis, dan juga seksi (kadang aku suka berpikir kalau dia adalah
pemain B***p haha).
Aku duduk di tempat yang diinstruksikan. Menunggu yang
lainnya datang. Beberapa menit, tiga orang calon anggota yang akan diospek
datang. Dua puluh menit lebih yang lainnya berdatangan lengkap dengan
persyaratan yang harus dibawa. Teriakan Kakak-kakak panitia setia mengiringi
calon anggota yang berlarian. Dan ternyata masih banyak yang melestarikan
budaya orang Indonesia. Terlambat. Banyak yang kesiangan. Mereka mendapatkan
hukuman push up. Setiap calon anggota mengecek kembali persyaratannya bersama
kelompok masing-masing. Ada yang lengkap, ada juga yang tidak. Ada yang
berseragam, ada juga yang tidak.
‘Dengan memikirkan hal lain dan tidak larut dalam
kegiatan’. Akhirnya aku menemukan peluru bius sekaligus vaksin untuk monster
berbahaya itu.
Sebelum pergi ke lokasi kegiatan dan juga sembari
menunggu kendaraan yang akan mengangkut kami ke sana, kami melakukan kegiatan terlebih
dahulu. Olah raga. Pemanasan, lari tiga putaran mengelilingi gedung Mandala
sambil menyanyikan Mars UKM, dan Pendinginan. Sarapan. Dan upacara pembukaan
kegiatan yang diresmikan oleh Pembina UKM, Abah Eki. Pengecekan persyaratan
oleh kakak2 panitia.
“Ada yang bawa rokok gak?” Seorang divisi keamanan
bertanya dengan memasang muka galak. A Ipung.
Tak ada calon anggota yang berbicara. Tak ada yang
membawa rokok, atau mungkin tidak ingin rokoknya diambil.
“Saya bawa, Kak.” Sebungkus rokok filter aku acungkan
tanpa rasa takut dimarahi atau dihukum, karena aku sudah menyiapkan sebuah
argumen.
“Kenapa kamu bawa rokok? Peraturannya kan sudah jelas.
Pserta P3DB tidak boleh merokok pada saat kegiatan.
“Iya, Kak. Saya tahu. Peraturan itu kan menyebutkan pada
waktu kegiatan, tapi pada saat pulang kegiatan boleh.” Belaku.
“Ya sudah. Awas nanti kalau kamu merokok.” Air wajahnya
semakin galak.
“Hhhhh..” aku menarik nafas. Untung saja rokoknya tidak
dirampas.
Tiga mobil bus untuk mengangkut gerombolan hitam sudah
siap. Barang-barang untuk kegiatan di sana dipetakeun agar tidak mengurangi lahan untuk duduk.
Ada hal yang aku pikirkan. Hari ini aku benar-benar tidak
merasa diasingkan. Tidak ada sorotan mata aneh sialan yang menghujam kepadaku.
Semua berjalan seperti mimpi. Seperti harapanku. Meleset dari perkiraan. Hari
ini, seorang spesies manusia yang terlahir sebagai bayi prematur dan memiliki kelainan kromosom
tidak terasing dalam kumpulan spesisnya.
Selama diperjalanan kami diselimuti perasaan riang karena
kami satu bus dengan orang gila yang memiliki mulut seperti lokomotif. Dia
terus mengoceh. Tapi ocehannya tidak membuat kami risih, justru malah menghibur
kami. “AWEU.. AWEU..” entah apa artinya, begitu lah ocehannya. Beberapa orang
ikut serta melawak untuk mewarnai perjalanan kami. Sekitar dua puluh menit
akhirnya kami semua sampai di lokasi kegiatan, Rest Area Urug. Tempatnya sangat
ramah. Dan yang paling aku suka, belum terjamah oleh modernism. Yaaa, walupun
sudah ada listrik, tapi hal itu tidak merusak kealamian tempat ini. Pohon-pohon
besar berumur puluhan tahun masih tegak berdiri dengan aura teduhnya. Udara
sejuk tanpa campuran zat polutan yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dan
pabrik-pabrik industry kapitalis sialan yang tak memperdulikan bumi yang sudah
tua ini. Bangunan-bangunan tradisional dengan dinding yang terbuat dari bilik menambah kesan ketenangan tempat
ini.
Sesampainya di lokasi, kami dibimbing oleh masing-masing
pembimbing kelompok untuk pergi ke penginapan yang sudah disiapkan oleh
Kakak-kakak panitia. Kami menyimpan segala perbekalan di penginapan. Istirahat
sekitar sepuluh menit. Lalu terdengar instruksi dari keamanan untuk pergi ke
ruang aula. Kegiatan pertama kami adalah pemberian materi yang akan disampaikan
langsung oleh ketua UKM. Seseorang yang ramah dan murah senyum, Kak Lutfi
Pamuji. Dia adalah seorang Begundal. Materi yang dipresentasikannya adalah
mengenai organisasi. Dengan Ziper Job For A Cowboy hitam yang dikenakannya dan
senyuman ramahnya dia menerangkan.
Tidak semua materi yang disampaikannya tertangkap oleh
otakku yang bodoh ini. Pikiranku tidak mau diam focus pada satu permasalahan,
dia masih saja lari kesana-kemari. Intinya organisasi adalah satu kesatuan orang-orang
yang memiliki tujuan yang sama dan memiliki peraturan yang dibuat berdasarkan
kesepakatan bersama. Lalu dia menjelaskan bahwa dalam kegiatan ini kita tidak
hanya untuk bersenang-senang. Kita di sini juga untuk dididik, dilatih,
dikukuhkan menjadi anggota resmi UKM, dan yang terakhir adalah darma bakti.
Walau organisasi ini adalah suatu organisasi legal yang bergerak di bidang Seni
Musik, tapi kita bukan lah orang-orang yang apatis terhadap lingkungan sekitar.
Pendidikan
dan pelatihan yang kami terima bukan hanya tentang organisasi dan musik. Kedua
hal tersebut bukan apa-apa dibanding dengan pendidikan dan pelatihan mental,
kebersamaan, kejujuran, dan pertanggung-jawaban yang kami terima, dan yang
paling penting bagiku adalah kesabaran. Bisa saja kepalan tanganku melayang
menghantam muka galak kakak-kakak divisi keamanan. Tapi untungnya aku sudah
menyiapkan amunisi dan vaksin yang aku temukan tadi pagi. Mental kami dididik
dan dilatih dengan tegas oleh kakak-kakak bertampang galak dan juga
ganteng-ganteng (Heuheu ulah ngamuknya a :D). Selama kegiatan kami
dibentak-bentak, dihukum dan mungkin juga dikerjai. Kebersamaan, kejujuran, dan
pertanggung-jawaban kami dididik lewat kesalahan-kesalahan yang kami buat.
Mulai dari melanggar aturan sampai kesalahan-kesalahan yang dicari oleh divisi
keamanan.
Menjelang
sore hari giliran senior-senior UKM Seni Musik yang merberikan materi. Kang
Guruh, Kang Gingin, dan Mas Aris dengan masing-masing materi yang telah
disiapkan oleh mereka. Pada intinya semua materi yang mereka berikan sama,
yaitu tentang Organisasi. Dari awal kegiatan sampai sore ini materi yang kami
terima yaitu tentang organisasi. Karena memang itu lah yang terpenting. Soal
bermusik biarlah kami belajar setelah kami tahu bagaimana berorgasinasi. Dimana
di dalam sebuah organisasi kita harus menendang jauh-jauh egoisme yang kita
miliki dan pelihara baik-baik rasa kebersamaan.
Di
dunia ini ada hal yang bisa kita lakukan dan ada yang tak bisa kita lakukan.
Dan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan itu bisa kita lakukan dengan
kebersamaan. Sekalipun kualitas kita tidak bisa mencapai kualitas dari apa yang
kita cita-citakan, maka kita bisa mengalahkan kualitas itu dengan kuantitas
yang besar, yaitu kebersamaan. Dan Kang Guruh juga mengatakan bahwa UKM Seni
Musik ini murni dibentuk oleh mahasiswa tanpa campur tangan yayasan apalagi
dosen, dan dengan rasa kekeluargaan bersama, tanpa rasa egois. Dia juga
menghimbau untuk menghilangkan egoism fakultas dan jurusan.
Materi
yang paling menarik buatku adalah materi yang sampaikan oleh Mas Aris, yaitu
tentang perbedaan antara organisasi dan partai politik, karena ini ada
sangkut-pautnya dengan politik. Saya bukan suka mempelajari politik, tapi saya
memang harus belajar politik. Karena politik adalah salah satu senjata mutahir
untuk memerangi musuh. Senjata itu telah lama dipakai oleh musuh saya yang juga
musuh sodara-sodara saya. Perbedaan partai politik dengan organisasi terletak
pada keanggotanya. Partai politik dikuasai oleh kelompok-kelompok elit yang
bisa mempengaruhi kebijakan. Namun kelompok-kelompok elit ini hanya ada sekitar
1-5 % saja. Dan anggota-anggota lainnya adalah para partisipans yang berada di
tingkat kedua, lalu citizens dan orang-orang yang apathis. Sedangkan
keanggotaan organisasi sebaliknya dari keanggotaan partai politik, dimana
orang-orang yang masa bodoh hanya sekitar 1-5 % saja, dan banyak dihuni oleh
orang-orang yang aktif terlibat dalam rangka menjalankan organisasi tersebut
demi tercapainya tujuan bersama.
Setelah
para senior memberikan materi, karena waktu sudah menginjak maghrib kami
langsung digiring menuju kamar masing-masing untuk melaksanakan kewjiban seorang
Muslim, itu juga bagi yang memeluk agama Islam. Hari ini aku tak bisa menikmati
panorama yang sudah sekian lama membuatku jatuh cinta padanya. Tak ada
ketenengan yang membawakanku sebungkus kehampaan. Senja jingga kulewatkan
begitu saja, karena setelah istirahat dan melaksanakan ibadah (bagi yang
menjalankan) kami langsung dihadapkan kembali dengan kegiatan. Hhhh.. sang
mentari yang tenggelam dibalik pegunungan yang biasa aku nikmati di sawah di
belakang rumahku tak melihat sesosok manusia aneh yang gemar melamun dibawah
siluet jingga. Dan untungnya dia tidak seperti seorang pacar yang selalu
posesif, padahal belum ada tali ikatan pernikahan resmi. Aku hanya bisa melihat
langit yang sudah berjelaga. Penguasa hitamnya dunia telah mengibarkan jubah
hitamnya.
Pada
malam hari kami disuguhi beberapa rangkaian acara hiburan musik yang telah
dipersiapkan oleh para panitia dan juga
divisi keamanan. Mulai dari Yel-yel setiap kelompok, kreasi musik dari pserta
P3DB, penampilan kakak tingkat, dan juga senior UKM. Tak hanya musik, dancing
juga ada (sumpah euy hayang seuri hahaha). Setelah seharian kami lelah dididik
dan dilatih, pada malam ini kami tertawa riang. Bahkan saking senangnya ada
panitia yang lupa mematiakan rokoknya yang disimpan di atas meja, untunglah
saya dan teman sekelompok saya mengetahuinya. Jika tidak mungkin malam yang
sarat ceria ini akan berubah menjadi malam yang sibuk mematikan api yang
membakar meja, kusen dan mungkin juga bisa merambat ke seluruh ruangan. Pada
sela-sela hiburan acara musik, kakak-kakak senior memperkenalkan dirinya
masing-masing, bahkan ada juga yang membagi-bagi hadiah. Ada yang nembak orang
yang disukainya Setelah acara hiburan selesai kami digiring kembali ke
penginapan untuk beristirahat, karena sudah banyak orang yang membuka lebar
mulutnya, menguap.
Malam
ini aku memutuskan untuk tidak tidur. Buat apa tidur, pukul dua belas malam
nanti akan nada kegiatan lagi. Lebih baik aku mendengarkan musik lewat iPod
yang setiap bepergian kubawa. Teman-teman sekamarku sudah mulai terbaring.
Memejamkan mata, dan mungkin juga sudah tergiur serbuk bunga kematian fana.
Hening. Namun tidak dengan pendengaranku. Forgotten album Tiga Angka Enam setia
membisingi hari yang terlelap. Ada hal yang kupikirkan sejak tadi sampai di lokasi.
Pukul
dua belas malam, ketika teman-teman sekamarku terlelap, namun tidak denganku,
divisi keamanan membangunkan kami semua dengan terburu-buru untuk melaksanakan
kegiatan selanjutnya.
“Bangun..
bangun.. ayo cepat ke bawah dan bawa perlengkapan kalian masing-masing. Cepat..
cepat..” bentak mereka.
Heh..
aku hanya tersenyum. Ternyata amunisi yang kurangkai tadi pagi benar-benar
ampuh. Tetap lah tidur setanku.
Dengan
terburu-buru kami semua pergi ke depan ruangan aula, di bawah penginapan kami.
Semua berbaris. Dan hampir semua terlambat. Ternyata kami adalah para aktivis
kebudayaan Indonesia, terlambat, itu adalah budaya orang Indonesia. Divisi
keamanan memberikan kami hadiah hukuman push
up. Wajah caludih yang dilukis
oleh tidur.
Secara
berurutan setiap kelompok dari kelompok satu sempai kelompokku yang paling
terakhir pergi meninggalkan barisan untuk pergi menerima pendidikan dan
pelatihan dari setia pos. Sebelum semuanya pergi para divisi keamanan
mengetahui ada peserta P3DB yang merokok di penginapan. Lantas mereka menanyai
kami dengan muka galaknya. Ada yang mengaku, tapi mungkin tak semuanya. Di sini
kejujuran dan kebersamaan kami dilatih. Ada hal yang membuatku ingin tertawa.
Seorang divisi keamanan, Kak Ipung, dia mendekati wajahku dengan memasang muka
galaknya. Sangat dekat. Dan aku ingin tertawa, betapa tidak, sudah empat hari
lebih aku tak menggosok gigi. Aku tak tahu apakah dia mencium bau busuk dari
nafasku. Lalu dia menyuruhku untuk mengambil rokok yang tadi aku bawa. Dengan
kecepatan penuh aku pergi ke penginapan untuk membawa rokoku. Satu menit aku
sudah kembali, menyerahkan rokok itu padanya, dan dia bakar unjung rokok itu,
lalu menghisapnya. Pada saat itu aku benar-benar kabita. Lalu A Ipung melakukan hal yang sama yang tadi dia lakukan
padaku, dia mendekatkan wajahnya galaknya pada seorang peserta wanita. Entah
takut atau kenapa wanita itu menangis. A Ipung dan A Ijey bertanya kenapa dia
menangis dan menjelaskan apa yang dillakukannya. Yap, mereka benar, ini P3DB,
bukan rekreasi.
Yang
tersisa hanya tinggal kelompok kami, kelompok yang lain sudah duluan pergi ke
setiap pos. Kali ini giliran kami yang ditanyai dan dicari-cari kesalahannya
oleh para divisi keamanan. Tak ada rasa takut dan benci secuil pun. Jutsru
sebaliknya, aku masih senyam-senyum dan tertawa dalam hati. Sepuluh menit
berlalu dalam suasana yang tidak tegang. Dan sekarang giliran kelompokku untuk
pergi bertempur.
Di
pos pertama kami ditanya tentang organisasi dan kepemimpinan yang kami pelajari
tadi siang. Di pos kedua para senior menguji bakat dan minat kami. Di pos ke
tiga mental dan kebersamaan kami diuji dan di latih. Tak ada kendala. Semua
berjalan seperti suratan yang telah ditulis oleh-Nya. Kami dididik, dilatih,
dan diuji. Bagiku semua bentakan, ketegasan, dan hukuman yang mereka berikan
kepada kami tak ada apa-apanya disbanding keterasingan, kesepian dan penjara
yang ada dalam jiwa ini. Lagipula mereka melakukan itu semua demi kami.
Semua
kelompok telah selesai menerima materi dan praktek dari setiap pos. Kini semua
pserta, panitia, keamanan, dan juga para senior berkumpul di satu ruang dan
waktu yang sama. Setiap peserta mencurahkan isi hati dan kepala mereka tentang
kegiatan ini. Hampir semua curhatan kami semua sama. Namun tidak denganku, aku
hanya berkata ‘semua ini adalah tentang cinta, derita dan kebencian’. Lalu Mas
Aris menjelaskan untuk apa kegiatan ini. Yang kutangkap tak jauh dari namanya,
yaitu untuk mendidik dan melatih sebagai awal dari belajar, berkarya, bermusik
dan berprestasi dengan kebersamaan. Selain itu dia juga meluruskan divisi
keamanan dan senior yang berbelok dengan emosi cintanya.
Kemerduan
adzan subuh dengan lagam khasnya sudah terdengar. Divisi keamanan kembali
menggiring kami untuk beristirahat di penginapan. Namun lagi-lagi aku memutuskan
untuk tidak tidur ketika yang lainnya pulas dengan obat tidur alami yang
bernama lelah yang dikonsumsi mereka. Musik yang penuh distorsi kembali
mengalun menghibur telinga, pikiran, dan hatiku yang masih sibuk dengan pikiran
yang belum lari dari otakku sejak kemarin. Ada hal yang masih aku pikirkan. Aku
masih mencari jawaban. Bukan jawaban dari pertanyaan ‘Hidup ini apa? Untuk
Apa?’. Heh.. persetan dengan kedua pertanyaan itu. Hidup ini terlalu dini dan
terlalu rumit untuk kudefinisikan.
Pukul
tujuh lebih beberapa menit teman-temanku bangun dan bergegas untuk mandi. Namun
lagi-lagi aku melakukan hal yang sama dengan mereka. Malas mandi.
Pagi
ini divisi keamanan tidak bermain-main dengan kegalakannya. Mereka mengumpulkan
kami semua di sepan penginapan. Mempersilahkan kami untuk bermain musik secara
akustik. Teman-temanku menunjukan kemampuannya. Bermain gitar, jimbe dan juga
bernyanyi. Saling menertawakan karena ada adegan-adegan konyol yang disuruh
oleh A Ijey. Aku masih duduk sendiri di pojok teras penginapan. Sibuk
menggrilia dalam dimensi pikiran. Dia dekat dengan jasad yang menjadi wadah
ruhku ini. Siapa dia?
“Mana
si Gema? Gema sini maju ke depan. Nyanyi dan main gitar.” A Ijey memanggilku.
Hah..
Apa? Aku nyanyi dan main gitar? Apa yang bisa aku lakukan? Aku tak bisa
memainkan alat musik. Lalu mengapa aku masuk UKM Seni Musik. Ah, aku juga tak
tahu, aku hanya ingin belajar musik, bermusik, berorganisasi dan mempunyai
keluarga baru. Lalu apa yang bisa aku berikan untuk organisasi ini? Ah, iya,
apa yaa, emmhh, aku bisa memberikan loyalitas, cinta dan kebencianku.
“Saya
gak bisa main alat musik, A, saya juga gak bisa nyanyi.” jelasku.
“Bohong.
Nanti ilmunya hilang. Semalam juga kamu teriak-teriak seperti orang gila. Sok
gancang, ke dibawa maen ku urang.” rayunya.
Dari
mana dia mengetahui saya suka bergelut dalam musik Metal dengan senjata yang
bisa mengacaukan satu negara, mikrofon. Ah, iya, semalam aku disuruh untuk
menyanyikan lagu yang aku sukai. Pastinya salahsatu lagu dari Band kontroversial
asal Bandung, Forgotten. Band yang memiliki seorang monster mutan sastra
Indonesia, seseorang yang gemar menyatakan yang ada dalam pikirannya dengan
argument yang bersifat sarkasme dan juga Multi-tafsir. Malam itu aku
berteriak-teriak seperti orang gila yang mabuk akibat terlalu menyelami kutukan
ini ‘Demi surge yang kau janjikan, tentang satu hidup yang kekal. Demi sebuah
utopia, tentang marahku pada dunia. Untuk benci dan dendam, rayakan
kehancuran’. Resital Apokalips!
“Lah
atuh, A, hoream.” jawabku.
“Eh,
sok gancang.” A Ijey memaksa.
Apa
daya. Aku kembali berteriak-teriak di depan orang-orang. ‘Kan kubangun surge
dari puing neraka, tak menunggu hingga kita tiada. Merakit luka, duka dan dosa.
Marah dendam jadikan senjata’. Satu lagi lagu dari Forgotten kuteriakkan. Aku
tak tahu seperti apa ekspresi orang-orang yang ada di penku. Heh.. persetan.
Aku bukan seorang pemuja berhala yang bernama gengsi. Selesai mengumpat aku
kembali ke tempat yang membuatku nyaman dengan pikiranku. Pojok teras penginapan.
Kembali asik dengan pikiran. Semakin menjadi orang gila saja, selesai
teriak-teriak langsung diam melamun menerawang langit yang saat ini kupandang.
Ada sesuatu yang aku pikirkan, masih aku pikirkan, dan aku masih belum
menemukan jawaban.
Sudah
waktunya untuk sarapan. Kami kembali digiring oleh divisi keamanan menuju ruang
aula untuk pembagian makan. Wes mangan ora udud enek. Yaa, itulah yang aku
rasakan. Melihat para panitia menghisap asap nikotin, meracuni paru hanya untuk
menghilangkan rasa enek, menghembuskan beban yang keluar bersama dengan asap
rokok yang tidak mengalir masuk ke dalam paru-paru. Dan pada akhirnya ada juga
orang yang peduli terhadap para pecandu racun seperti kami. A Lutfi mengijikan
kami untuk merokok, walau hanya satu batang yang harus pas dihabiskan oleh
sekitar dua puluh orang. Walau hanya kebagian satu hisapan yang lumayan panjang
dan dalam, setidaknya paru ini sudah teracuni dan mengurangi sedikit rasa enek,
dan juga mengurangi umur yang katanya setiap umur itu sudah ditetapkan oleh
Tuhan yang menciptakan kita.
Acara
parasmanan berganti dengan acara hiburan, lagi. Sekarang hanya peserta saja
yang memberikan kreasi hiburannya. Yel-yel dan Mars UKM. Dance juga iktu
merangsang saraf tawa kami, terutama saya. Dan kegiatan P3DB pun sudah hampir
mencapai klimaks. Ada konflik antara panitia dan divisi keamanan. Semua terjadi
secara tiba-tiba mengejutkan kami. Apa ini kebetulan? Atau sudah direncanakan
oleh Tuhan? Atau mungkin saja juga sudah direncanakan oleh mereka.
Kami,
para peserta P3DB hanya menonton peserta konflik yang sedang asik bermain
sebuah game nyata. Para panitia tidak mau diatur semena-mena oleh keamanan yang
katanya divisi keamanan pun masih perlu diamankan. Seorang divisi keamanan yang
telat, yang memakai celana pendek, dan yang merorok menjadi sebuah alasan yang
kuat bagi para panitia. Sedangkan divisi keamanan yang merasa paling benar
karena mereka merasa mereka lah yang paling bertanggung jawab dalam kegiatan
ini tidak mau kalah. Seorang panitia lantang bicara kalau yang berhak mengatur
dan bertanggung jawab dalam kegiatan ini adalah ketua pelaksana dan ketua UKM.
Heh.. aku hanya tersenyum melihat sebuah organisasi yang menganjurkan untuk
menumbuhkan rasa kebersamaan kami, sedangkan rasa kebersamaan mereka pun nihil
ketika ada konflik seperti ini. Apa itu kebersamaan? Mana kebersamaan kalian?
Bukan itu masalahnya. Ini semua hanya sekenario Tuhan dan mungkin juga ada
sutradara yang kedua.
Ketua
UKM pun iktu serta bermain.
“Kalian
gak malu sama peserta, hah? Kalian gak menghargai saya sebagai ketua?” teriak A
Lutfi.
“Tuh
hargai ketua UKM.” seorang panitia ngotot ingin menang.
“Kami
bukan tidak menghargaimu sebagai ketua UKM, kami hanya bersuaha untuk
mengamankan kegiatan, dan mereka susah untuk diamankan, bahkan melawan” divisi
keamanan pun tidak mau kalah.
Perdebatan
kata dan kontak fisik yang semu berlangsung sampai ketua UKM memutuskan untuk
meninggalkan ruangan dan konflik. Mengapa seorang ketua malah meninggalkan
konflik yang seharunya dialah yang paling berpengaruh bisa mentralisir masalah
ini. Ah, tidak, ini hanya lah sekenario Tuhan. Atau mungkin juga ada sutradara
kedua.
Selain
ketua UKM, para panitia pun pergi meninggalkan ruangan dan katanya juga akan
pulang untuk meninggalkan kegiatan. Divisi keamanan masih tegak berdiri dengan
angkuhnya di depan. Dan kami sibuk dengan persepsi kami masing-masing apa yang
sebnernya terjadi. Namun tidak denganku. Pikiran itu masih asik berjalan
kesana-kemari di otakku.
Divisi
keamanan memerintahkan kami untuk sementara pergi dulu ke penginapan. Mungkin
mereka ingin mendiskusikan dulu masalah yang mereka hadapi. Kami pergi ke
penginapan tanpa digiring oleh divisi keamanan. Sesampainya di kamar,
teman-temanku sibuk mengoceh tentang konflik yang tadi kami tonton. Semuanya
menyatakan persepsi mereka masing-masing. Apa yang barusan terjadi. Sedangkan
aku hanya diam memperhatikan argumen-argumen mereka. Seorang divisi keamanan
memerikasa setiap kamar agar tidak ada pintu dan jendela yang terbuka, dan
tidak ada peserta yang di luar ruangan. Sekitar sepuluh menit kemudian kami
disuruh untuk keluar kamar dan kami kembali digiring ke suatu tempat. Tempat
dimana klimaks orgasme dari sebuah persenggamaan.
Di
tempat ini divisi keamanan menghukum para peserta yang perlengkapannya tidak
lengkap, dan yang semalam merokok pun dihukum kembali. Mereka juga
mengintrogasi orang-orang yang melawan dan tidak suka kepada mereka. Ada juga
peserta tak konsisten yang berpihak pada mereka. Aku masih diam dan sibuk,
tidak larut dalam kegiatan. Gerombolan panitia kembali terjun pada medan
konflik. Tak hanya panitia, senior pun berdatangan. Tak lupa ketua UKM. Perang
mulut kembali meledak. Satu tangan senior yang sedang mencoba meluruskan
masalah melayang menghantam muka seorang panitia yang terus nyerocos seperti
mesin lokomotif. Divisi keamanan salah. Dan panitia pun salah. Semua tak luput
dari kesalahan. Kita di sini harus bisa saling menghargai dan meluruskan. Bukan
merasa yang paling benar dan berhak. Tunjukan kebersamaan yang selalu kalian
suarakan kepada peserta. Tak ada yang berbicara. Seorang senior akhirnya dapat
meredakan masalah. Walau sampai harus ada wanita yang merengek nangis dan wajah
sebagai lahan sasaran dari telapak tangan.
Konflik
sudah mulai mendingin. Waktunya kami dikukuhkan menjadi anggota resmi UKM Seni
Musik. Salah satu pendiri UKM, Kang Gingin menyampaikan amanatnya,
“Ini
adalah kegiatan terakhir dalam acara P3DB yang sudah kalian tempuh. Terimakasih
kepada panitia dan juga divisi keamanan yang sudah mempersiapkan semuanya. Dan
perlu kalian tahu, semua konflik yang terjadi barusan itu adalah sekenario
kami.” jelas Kang Gingin.
Kami
memberikan tepuk tangan. Ada yang berbicara kalau mereka sudah tahu kalau
konflik ini hanya lah sebuah sekenario. Aku hanya diam, tersenyum. Sekenario
dari Tuhan dan juga ada sutradara kedua yang membuat naskah sekenario konflik
ini. Senior yang tadi melayangkan tangannya kepada panitia meminta maaf. Semua
orang riang.
Satu
persatu pendiri UKM memberikan pidatonya. Seksi dokumentasi sibuk dengan
kameranya. Kami pun tidak semua memperhatikan dan tidak memperhatikan semuanya.
Sampai pendiri UKM mengukuhkan kalau kami sudah resmi menjadi anggota UKM ini.
Tapi aku tidak. Bagiku ini adalah sebuah keluarga baruku.
Upacara
pengukuhan berjalan dengan lancar. Kami, anggota keluarga baru didokumentasikan
bersama kakak-kakak tingkat dan juga senior dengan menggunakan media foto. Tak
ada salahnya bukan bila kita mengabadikan sesuatu yang bisa saja hal itu adalah
yang terakhir kita alami. Semua kembali ke penginapan untuk melakukan persiapan
pulang. Mereka berfoto ria, dengan teman sekelompok, dengan teman dari kelompok
lain juga, dan juga dengan kakak tingkat. Aku hanya duduk menikmati sebatang
rokok kretek dari temanku. Meresapi setiap rasa dari asap beracun alami.
Menikmati setiap rangsangan yang kuterima. Aku masih sibuk dalam dimensi
pikiranku. Mengolah setiap kejadian untuk kemudian mendapatkan konklusi
berdasarkan persepsi dan subjektifitasku.
Hhhh..
aku menarik nafas panjang. Siapa dia? Mengapa dia melakukan itu? Apa yang
sebenarnya terjadi?
Kita
semua telah siap untuk pulang, yang kemudian tidur pulas karena lelah yang
terlahir dari sebuah usaha. Sesampainya di kampus kami kembali diberikan
pengarahan oleh panitia. Tapi sepertinya kami sudah terlalu lelah untuk
mencernanya. Beruntung lah kami, ketua UKM, A Lutfi pengertian terhadap kondisi
kami yang lelah. Dia menyuruh kami untuk segera pulang dan beristirahat.
Ada
sesuatu yang aku pikrikan. Masih. Sejak awal kegiatan tidak ada orang yang
menyorotkan pandangan anehnya pada raga yang diberikan Tuhan padaku untuk
berinteraksi dengan dunia ini. Namun ada satu orang yang selalu
memperhatikanku. Ketika dia dan say berada di satu ruang dan waktu yang sama
dia selalu memandangiku. Saya bukan Tuhan yang mengetahui apa sebenarnya yang
ada dalam hati dan pikiran seseorang. Saya tak tahu apa dia aneh padaku atau
benci. Sejak awal kegiatan kami berdua dipertemukan oleh Sang Perancang takdir
saya merasa dia itu berbeda dari yang lain.
Apa
aku terasing tdiak terasing? Atau malah terasing ketika orang lain tak lagi
menatap aneh diriku, ketika hanya seorang yang menatap tajam hingga pandanganku
menunduk melihat kemisteriusannya? SIapa dia? Jika aku memecahkan tempurungnya
hingga berlubang, apa aku bisa tahu apa yang dia pikirkan ketika melihatku
seperti itu? Jika aku mematahkan tulang rusuknya dan merobek dadanya hingga
menganga, apa aku bisa menemukan dan tahu yang ada dalam hatinya ketika dia
menatapku seperti itu? Dan kenapa juga ketika orang lain tak ada yang ingin
berada di sisiku ketika aku sedang asik menyendiri dengan dimensi pikiran dan
imajinasiku kau malah berada di sampingku hanya untuk sekedar basa-basi yang
sebenarnya aku tak peduli? Bila saja genealogi kemisteriusan itu kutelusuri,
semua berhulu pada hidup yang rumit dan kadang absurd ini. Hidup yang selalu
membuatku tersungkur tak berdaya. Hidup yang aku anggap hanya sebagai kutukan.