21 November 2013

Abu Senja



Di sudut senja jiwaku membusuk

Hingga angin enggan merayu dedaunan

Untuk memainkan orkesta simfoninya

Walau hanya sebuah kidung tajam

Siluet mentari tak mampu menerobos gelap hati

Dia melayang di antara asa yang menguap

Aku hanya terdiam menikmati ratapan

Bersama kesetiaan merdu keheningan

Mungkin hati ini terlalu dalam

Hingga sunset pun tak mampu menyelaminya

Hanya tatapan tajammu

Yang mampu menerobos dan menyelaminya

Namun kau gantungkan surgaku di akhir senja

Dan kau hantamkan neraka padaku

Hingga membakar pusara jiwa

Tak ada cahaya dalam api hitam

Bala hening berbisik hampa

Air suci membangun parit

Hilir sungai menghujam genangan

Terciptalah lautan duka

Semesta pun berduka

Awan hitam dengan petir terhunus

Bertarung hingga darah suci tertumpah

Menghapus jingga yang tenggelam oleh luka

Tangisan ini tak pernah berkoar

Lirih hati merintih tanpa suara

Perih ini tak lagi kurasa

Semua hanya lukisan hampa

Engkau pernah menjadi malaikat terbakarku

Engkau pernah menjadi bidadari penghiburku

Dan engkau pernah menjadi setan manisku

Namun pada akhirnya kau adalah pembunuh rasaku

Keluarga Baru

Kesadaranku menyambut mentari yang sedang bersiap melakukan rutinitasnya. Begitu juga aku yang sedang melakukan persiapan untuk pergi bertempur dengan monster yang tertidur pulas dalam diriku. Sebuta pagi ini aku merakit senjata yang masih belum siap karena aku belum menemukan peluru ampuh untuk memenangkan pertempuran yang sudah sekian lama aku menjadi martir dari sisi air. Sebatang rokok filter menjadi amfetamin untuk menstimulasi terciptanya peluru bius yang bisa menidurkan monster yang sedang nyenyak dan juga vaksin untuk melindunginya dari virus yang paling berbahaya di dunia yang fana ini. Monster itu bernama nafsu. Dan virus yang bisa membangunkannya adalah kebencian.

“Sepuuuhhhhhh…” kuhembuskan rokok yang tinggal menyisakan gabus.

Jam enam pagi aku harus sudah berada di kampus. Kubuang rokok tanpa kumatikan terlebih dulu. Tali sepatu yang terbuat dari rapia warna merah dan putih kukencangkan. Bergegas untuk pergi ke medan pertempuran. Kali ini perjalananku tidak dibantu oleh Vespa tua kebanggaanku. Aku diantar oleh pria berkumis tebal yang sudah setia menafkahiku, Ayah. Waktu dunia ini berkurang setengah jam, dan kakiku sudah menyentuh halaman kampus.

“Lari.. lari.. cepat lari..” Salah satu panitia berteriak lewat toa kecil (teu apal ngaranna, nu sok dipake demo gening :D) hasil dari usaha anggota UKM tanpa mengemis rupiah pada yayasan karena puluhan permintaan yang sudah diabaikan. Entah lah, berdasarkan cerita dari ketua UKM, yayasan yang menaungi organisasi ini bersifat diskriminasi.

Laju kakiku merespon dengan lari seperti junior aparat yang diteriaki oleh seniornya.

“Santai.. santai.. Saya berteriak bukan sama kamu. Saya berteriak sama dia.” Telunjuknya mengarah ke panitia yang berjalan di belakangku. “Bagus. Kamu calon anggota yang pertama datang ke sini. Santai. Silahkan simpan tasnya dan duduk dulu di sana. Ini masih sangat pagi.” Dengan senyuman dia menyuruhku duduk di pinggir ruangan Fakultas Teknik.

“Iya, Kak. Siap, laksanakan.” aku meniru gaya militer.

“Eh kela.. kela.. nempo cik potona. Anjir, geulis euy kabogoh maneh.” Salah satu panitia berbadan kekar namun tidak terlalu tinggi ingin melihat salah satu foto di nametagku. A Ijey.

“Sanes,A. Ieu mah sanes kabogoh abi. Doris Yeh ieu mah, A, Bassisna Chthonic.” Salah satu dari puluhan persyaratan untuk mengikuti kegiatan P3DB ini adalah harus memasang foto pacar di nametag. Karena saya tidak mempunyai seorang pacar (tong seuri) jadi saya tempelin aja foto si Doris yang cantik, manis, dan juga seksi (kadang aku suka berpikir kalau dia adalah pemain B***p haha).

Aku duduk di tempat yang diinstruksikan. Menunggu yang lainnya datang. Beberapa menit, tiga orang calon anggota yang akan diospek datang. Dua puluh menit lebih yang lainnya berdatangan lengkap dengan persyaratan yang harus dibawa. Teriakan Kakak-kakak panitia setia mengiringi calon anggota yang berlarian. Dan ternyata masih banyak yang melestarikan budaya orang Indonesia. Terlambat. Banyak yang kesiangan. Mereka mendapatkan hukuman push up. Setiap calon anggota mengecek kembali persyaratannya bersama kelompok masing-masing. Ada yang lengkap, ada juga yang tidak. Ada yang berseragam, ada juga yang tidak.

‘Dengan memikirkan hal lain dan tidak larut dalam kegiatan’. Akhirnya aku menemukan peluru bius sekaligus vaksin untuk monster berbahaya itu.

Sebelum pergi ke lokasi kegiatan dan juga sembari menunggu kendaraan yang akan mengangkut kami ke sana, kami melakukan kegiatan terlebih dahulu. Olah raga. Pemanasan, lari tiga putaran mengelilingi gedung Mandala sambil menyanyikan Mars UKM, dan Pendinginan. Sarapan. Dan upacara pembukaan kegiatan yang diresmikan oleh Pembina UKM, Abah Eki. Pengecekan persyaratan oleh kakak2 panitia.

“Ada yang bawa rokok gak?” Seorang divisi keamanan bertanya dengan memasang muka galak. A Ipung.

Tak ada calon anggota yang berbicara. Tak ada yang membawa rokok, atau mungkin tidak ingin rokoknya diambil.

“Saya bawa, Kak.” Sebungkus rokok filter aku acungkan tanpa rasa takut dimarahi atau dihukum, karena aku sudah menyiapkan sebuah argumen.

“Kenapa kamu bawa rokok? Peraturannya kan sudah jelas. Pserta P3DB tidak boleh merokok pada saat kegiatan.

“Iya, Kak. Saya tahu. Peraturan itu kan menyebutkan pada waktu kegiatan, tapi pada saat pulang kegiatan boleh.” Belaku.

“Ya sudah. Awas nanti kalau kamu merokok.” Air wajahnya semakin galak.

“Hhhhh..” aku menarik nafas. Untung saja rokoknya tidak dirampas.

Tiga mobil bus untuk mengangkut gerombolan hitam sudah siap. Barang-barang untuk kegiatan di sana dipetakeun agar tidak mengurangi lahan untuk duduk.

Ada hal yang aku pikirkan. Hari ini aku benar-benar tidak merasa diasingkan. Tidak ada sorotan mata aneh sialan yang menghujam kepadaku. Semua berjalan seperti mimpi. Seperti harapanku. Meleset dari perkiraan. Hari ini, seorang spesies manusia yang terlahir sebagai bayi prematur dan memiliki kelainan kromosom tidak terasing dalam kumpulan spesisnya.

Selama diperjalanan kami diselimuti perasaan riang karena kami satu bus dengan orang gila yang memiliki mulut seperti lokomotif. Dia terus mengoceh. Tapi ocehannya tidak membuat kami risih, justru malah menghibur kami. “AWEU.. AWEU..” entah apa artinya, begitu lah ocehannya. Beberapa orang ikut serta melawak untuk mewarnai perjalanan kami. Sekitar dua puluh menit akhirnya kami semua sampai di lokasi kegiatan, Rest Area Urug. Tempatnya sangat ramah. Dan yang paling aku suka, belum terjamah oleh modernism. Yaaa, walupun sudah ada listrik, tapi hal itu tidak merusak kealamian tempat ini. Pohon-pohon besar berumur puluhan tahun masih tegak berdiri dengan aura teduhnya. Udara sejuk tanpa campuran zat polutan yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik industry kapitalis sialan yang tak memperdulikan bumi yang sudah tua ini. Bangunan-bangunan tradisional dengan dinding yang terbuat dari bilik menambah kesan ketenangan tempat ini.

Sesampainya di lokasi, kami dibimbing oleh masing-masing pembimbing kelompok untuk pergi ke penginapan yang sudah disiapkan oleh Kakak-kakak panitia. Kami menyimpan segala perbekalan di penginapan. Istirahat sekitar sepuluh menit. Lalu terdengar instruksi dari keamanan untuk pergi ke ruang aula. Kegiatan pertama kami adalah pemberian materi yang akan disampaikan langsung oleh ketua UKM. Seseorang yang ramah dan murah senyum, Kak Lutfi Pamuji. Dia adalah seorang Begundal. Materi yang dipresentasikannya adalah mengenai organisasi. Dengan Ziper Job For A Cowboy hitam yang dikenakannya dan senyuman ramahnya dia menerangkan.

Tidak semua materi yang disampaikannya tertangkap oleh otakku yang bodoh ini. Pikiranku tidak mau diam focus pada satu permasalahan, dia masih saja lari kesana-kemari. Intinya organisasi adalah satu kesatuan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dan memiliki peraturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama. Lalu dia menjelaskan bahwa dalam kegiatan ini kita tidak hanya untuk bersenang-senang. Kita di sini juga untuk dididik, dilatih, dikukuhkan menjadi anggota resmi UKM, dan yang terakhir adalah darma bakti. Walau organisasi ini adalah suatu organisasi legal yang bergerak di bidang Seni Musik, tapi kita bukan lah orang-orang yang apatis terhadap lingkungan sekitar.

Pendidikan dan pelatihan yang kami terima bukan hanya tentang organisasi dan musik. Kedua hal tersebut bukan apa-apa dibanding dengan pendidikan dan pelatihan mental, kebersamaan, kejujuran, dan pertanggung-jawaban yang kami terima, dan yang paling penting bagiku adalah kesabaran. Bisa saja kepalan tanganku melayang menghantam muka galak kakak-kakak divisi keamanan. Tapi untungnya aku sudah menyiapkan amunisi dan vaksin yang aku temukan tadi pagi. Mental kami dididik dan dilatih dengan tegas oleh kakak-kakak bertampang galak dan juga ganteng-ganteng (Heuheu ulah ngamuknya a :D). Selama kegiatan kami dibentak-bentak, dihukum dan mungkin juga dikerjai. Kebersamaan, kejujuran, dan pertanggung-jawaban kami dididik lewat kesalahan-kesalahan yang kami buat. Mulai dari melanggar aturan sampai kesalahan-kesalahan yang dicari oleh divisi keamanan.

Menjelang sore hari giliran senior-senior UKM Seni Musik yang merberikan materi. Kang Guruh, Kang Gingin, dan Mas Aris dengan masing-masing materi yang telah disiapkan oleh mereka. Pada intinya semua materi yang mereka berikan sama, yaitu tentang Organisasi. Dari awal kegiatan sampai sore ini materi yang kami terima yaitu tentang organisasi. Karena memang itu lah yang terpenting. Soal bermusik biarlah kami belajar setelah kami tahu bagaimana berorgasinasi. Dimana di dalam sebuah organisasi kita harus menendang jauh-jauh egoisme yang kita miliki dan pelihara baik-baik rasa kebersamaan.

Di dunia ini ada hal yang bisa kita lakukan dan ada yang tak bisa kita lakukan. Dan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan itu bisa kita lakukan dengan kebersamaan. Sekalipun kualitas kita tidak bisa mencapai kualitas dari apa yang kita cita-citakan, maka kita bisa mengalahkan kualitas itu dengan kuantitas yang besar, yaitu kebersamaan. Dan Kang Guruh juga mengatakan bahwa UKM Seni Musik ini murni dibentuk oleh mahasiswa tanpa campur tangan yayasan apalagi dosen, dan dengan rasa kekeluargaan bersama, tanpa rasa egois. Dia juga menghimbau untuk menghilangkan egoism fakultas dan jurusan.

Materi yang paling menarik buatku adalah materi yang sampaikan oleh Mas Aris, yaitu tentang perbedaan antara organisasi dan partai politik, karena ini ada sangkut-pautnya dengan politik. Saya bukan suka mempelajari politik, tapi saya memang harus belajar politik. Karena politik adalah salah satu senjata mutahir untuk memerangi musuh. Senjata itu telah lama dipakai oleh musuh saya yang juga musuh sodara-sodara saya. Perbedaan partai politik dengan organisasi terletak pada keanggotanya. Partai politik dikuasai oleh kelompok-kelompok elit yang bisa mempengaruhi kebijakan. Namun kelompok-kelompok elit ini hanya ada sekitar 1-5 % saja. Dan anggota-anggota lainnya adalah para partisipans yang berada di tingkat kedua, lalu citizens dan orang-orang yang apathis. Sedangkan keanggotaan organisasi sebaliknya dari keanggotaan partai politik, dimana orang-orang yang masa bodoh hanya sekitar 1-5 % saja, dan banyak dihuni oleh orang-orang yang aktif terlibat dalam rangka menjalankan organisasi tersebut demi tercapainya tujuan bersama.

Setelah para senior memberikan materi, karena waktu sudah menginjak maghrib kami langsung digiring menuju kamar masing-masing untuk melaksanakan kewjiban seorang Muslim, itu juga bagi yang memeluk agama Islam. Hari ini aku tak bisa menikmati panorama yang sudah sekian lama membuatku jatuh cinta padanya. Tak ada ketenengan yang membawakanku sebungkus kehampaan. Senja jingga kulewatkan begitu saja, karena setelah istirahat dan melaksanakan ibadah (bagi yang menjalankan) kami langsung dihadapkan kembali dengan kegiatan. Hhhh.. sang mentari yang tenggelam dibalik pegunungan yang biasa aku nikmati di sawah di belakang rumahku tak melihat sesosok manusia aneh yang gemar melamun dibawah siluet jingga. Dan untungnya dia tidak seperti seorang pacar yang selalu posesif, padahal belum ada tali ikatan pernikahan resmi. Aku hanya bisa melihat langit yang sudah berjelaga. Penguasa hitamnya dunia telah mengibarkan jubah hitamnya.

Pada malam hari kami disuguhi beberapa rangkaian acara hiburan musik yang telah dipersiapkan oleh para  panitia dan juga divisi keamanan. Mulai dari Yel-yel setiap kelompok, kreasi musik dari pserta P3DB, penampilan kakak tingkat, dan juga senior UKM. Tak hanya musik, dancing juga ada (sumpah euy hayang seuri hahaha). Setelah seharian kami lelah dididik dan dilatih, pada malam ini kami tertawa riang. Bahkan saking senangnya ada panitia yang lupa mematiakan rokoknya yang disimpan di atas meja, untunglah saya dan teman sekelompok saya mengetahuinya. Jika tidak mungkin malam yang sarat ceria ini akan berubah menjadi malam yang sibuk mematikan api yang membakar meja, kusen dan mungkin juga bisa merambat ke seluruh ruangan. Pada sela-sela hiburan acara musik, kakak-kakak senior memperkenalkan dirinya masing-masing, bahkan ada juga yang membagi-bagi hadiah. Ada yang nembak orang yang disukainya Setelah acara hiburan selesai kami digiring kembali ke penginapan untuk beristirahat, karena sudah banyak orang yang membuka lebar mulutnya, menguap.

Malam ini aku memutuskan untuk tidak tidur. Buat apa tidur, pukul dua belas malam nanti akan nada kegiatan lagi. Lebih baik aku mendengarkan musik lewat iPod yang setiap bepergian kubawa. Teman-teman sekamarku sudah mulai terbaring. Memejamkan mata, dan mungkin juga sudah tergiur serbuk bunga kematian fana. Hening. Namun tidak dengan pendengaranku. Forgotten album Tiga Angka Enam setia membisingi hari yang terlelap. Ada hal yang kupikirkan sejak tadi sampai di lokasi.

Pukul dua belas malam, ketika teman-teman sekamarku terlelap, namun tidak denganku, divisi keamanan membangunkan kami semua dengan terburu-buru untuk melaksanakan kegiatan selanjutnya.

“Bangun.. bangun.. ayo cepat ke bawah dan bawa perlengkapan kalian masing-masing. Cepat.. cepat..” bentak mereka.

Heh.. aku hanya tersenyum. Ternyata amunisi yang kurangkai tadi pagi benar-benar ampuh. Tetap lah tidur setanku.

Dengan terburu-buru kami semua pergi ke depan ruangan aula, di bawah penginapan kami. Semua berbaris. Dan hampir semua terlambat. Ternyata kami adalah para aktivis kebudayaan Indonesia, terlambat, itu adalah budaya orang Indonesia. Divisi keamanan memberikan kami hadiah hukuman push up. Wajah caludih yang dilukis oleh tidur.

Secara berurutan setiap kelompok dari kelompok satu sempai kelompokku yang paling terakhir pergi meninggalkan barisan untuk pergi menerima pendidikan dan pelatihan dari setia pos. Sebelum semuanya pergi para divisi keamanan mengetahui ada peserta P3DB yang merokok di penginapan. Lantas mereka menanyai kami dengan muka galaknya. Ada yang mengaku, tapi mungkin tak semuanya. Di sini kejujuran dan kebersamaan kami dilatih. Ada hal yang membuatku ingin tertawa. Seorang divisi keamanan, Kak Ipung, dia mendekati wajahku dengan memasang muka galaknya. Sangat dekat. Dan aku ingin tertawa, betapa tidak, sudah empat hari lebih aku tak menggosok gigi. Aku tak tahu apakah dia mencium bau busuk dari nafasku. Lalu dia menyuruhku untuk mengambil rokok yang tadi aku bawa. Dengan kecepatan penuh aku pergi ke penginapan untuk membawa rokoku. Satu menit aku sudah kembali, menyerahkan rokok itu padanya, dan dia bakar unjung rokok itu, lalu menghisapnya. Pada saat itu aku benar-benar kabita. Lalu A Ipung melakukan hal yang sama yang tadi dia lakukan padaku, dia mendekatkan wajahnya galaknya pada seorang peserta wanita. Entah takut atau kenapa wanita itu menangis. A Ipung dan A Ijey bertanya kenapa dia menangis dan menjelaskan apa yang dillakukannya. Yap, mereka benar, ini P3DB, bukan rekreasi.

Yang tersisa hanya tinggal kelompok kami, kelompok yang lain sudah duluan pergi ke setiap pos. Kali ini giliran kami yang ditanyai dan dicari-cari kesalahannya oleh para divisi keamanan. Tak ada rasa takut dan benci secuil pun. Jutsru sebaliknya, aku masih senyam-senyum dan tertawa dalam hati. Sepuluh menit berlalu dalam suasana yang tidak tegang. Dan sekarang giliran kelompokku untuk pergi bertempur.
Di pos pertama kami ditanya tentang organisasi dan kepemimpinan yang kami pelajari tadi siang. Di pos kedua para senior menguji bakat dan minat kami. Di pos ke tiga mental dan kebersamaan kami diuji dan di latih. Tak ada kendala. Semua berjalan seperti suratan yang telah ditulis oleh-Nya. Kami dididik, dilatih, dan diuji. Bagiku semua bentakan, ketegasan, dan hukuman yang mereka berikan kepada kami tak ada apa-apanya disbanding keterasingan, kesepian dan penjara yang ada dalam jiwa ini. Lagipula mereka melakukan itu semua demi kami.

Semua kelompok telah selesai menerima materi dan praktek dari setiap pos. Kini semua pserta, panitia, keamanan, dan juga para senior berkumpul di satu ruang dan waktu yang sama. Setiap peserta mencurahkan isi hati dan kepala mereka tentang kegiatan ini. Hampir semua curhatan kami semua sama. Namun tidak denganku, aku hanya berkata ‘semua ini adalah tentang cinta, derita dan kebencian’. Lalu Mas Aris menjelaskan untuk apa kegiatan ini. Yang kutangkap tak jauh dari namanya, yaitu untuk mendidik dan melatih sebagai awal dari belajar, berkarya, bermusik dan berprestasi dengan kebersamaan. Selain itu dia juga meluruskan divisi keamanan dan senior yang berbelok dengan emosi cintanya.

Kemerduan adzan subuh dengan lagam khasnya sudah terdengar. Divisi keamanan kembali menggiring kami untuk beristirahat di penginapan. Namun lagi-lagi aku memutuskan untuk tidak tidur ketika yang lainnya pulas dengan obat tidur alami yang bernama lelah yang dikonsumsi mereka. Musik yang penuh distorsi kembali mengalun menghibur telinga, pikiran, dan hatiku yang masih sibuk dengan pikiran yang belum lari dari otakku sejak kemarin. Ada hal yang masih aku pikirkan. Aku masih mencari jawaban. Bukan jawaban dari pertanyaan ‘Hidup ini apa? Untuk Apa?’. Heh.. persetan dengan kedua pertanyaan itu. Hidup ini terlalu dini dan terlalu rumit untuk kudefinisikan.

Pukul tujuh lebih beberapa menit teman-temanku bangun dan bergegas untuk mandi. Namun lagi-lagi aku melakukan hal yang sama dengan mereka. Malas mandi.

Pagi ini divisi keamanan tidak bermain-main dengan kegalakannya. Mereka mengumpulkan kami semua di sepan penginapan. Mempersilahkan kami untuk bermain musik secara akustik. Teman-temanku menunjukan kemampuannya. Bermain gitar, jimbe dan juga bernyanyi. Saling menertawakan karena ada adegan-adegan konyol yang disuruh oleh A Ijey. Aku masih duduk sendiri di pojok teras penginapan. Sibuk menggrilia dalam dimensi pikiran. Dia dekat dengan jasad yang menjadi wadah ruhku ini. Siapa dia?

“Mana si Gema? Gema sini maju ke depan. Nyanyi dan main gitar.” A Ijey memanggilku.

Hah.. Apa? Aku nyanyi dan main gitar? Apa yang bisa aku lakukan? Aku tak bisa memainkan alat musik. Lalu mengapa aku masuk UKM Seni Musik. Ah, aku juga tak tahu, aku hanya ingin belajar musik, bermusik, berorganisasi dan mempunyai keluarga baru. Lalu apa yang bisa aku berikan untuk organisasi ini? Ah, iya, apa yaa, emmhh, aku bisa memberikan loyalitas, cinta dan kebencianku.

“Saya gak bisa main alat musik, A, saya juga gak bisa nyanyi.” jelasku.

“Bohong. Nanti ilmunya hilang. Semalam juga kamu teriak-teriak seperti orang gila. Sok gancang, ke dibawa maen ku urang.” rayunya.

Dari mana dia mengetahui saya suka bergelut dalam musik Metal dengan senjata yang bisa mengacaukan satu negara, mikrofon. Ah, iya, semalam aku disuruh untuk menyanyikan lagu yang aku sukai. Pastinya salahsatu lagu dari Band kontroversial asal Bandung, Forgotten. Band yang memiliki seorang monster mutan sastra Indonesia, seseorang yang gemar menyatakan yang ada dalam pikirannya dengan argument yang bersifat sarkasme dan juga Multi-tafsir. Malam itu aku berteriak-teriak seperti orang gila yang mabuk akibat terlalu menyelami kutukan ini ‘Demi surge yang kau janjikan, tentang satu hidup yang kekal. Demi sebuah utopia, tentang marahku pada dunia. Untuk benci dan dendam, rayakan kehancuran’. Resital Apokalips!

“Lah atuh, A, hoream.” jawabku.

“Eh, sok gancang.” A Ijey memaksa.

Apa daya. Aku kembali berteriak-teriak di depan orang-orang. ‘Kan kubangun surge dari puing neraka, tak menunggu hingga kita tiada. Merakit luka, duka dan dosa. Marah dendam jadikan senjata’. Satu lagi lagu dari Forgotten kuteriakkan. Aku tak tahu seperti apa ekspresi orang-orang yang ada di penku. Heh.. persetan. Aku bukan seorang pemuja berhala yang bernama gengsi. Selesai mengumpat aku kembali ke tempat yang membuatku nyaman dengan pikiranku. Pojok teras penginapan. Kembali asik dengan pikiran. Semakin menjadi orang gila saja, selesai teriak-teriak langsung diam melamun menerawang langit yang saat ini kupandang. Ada sesuatu yang aku pikirkan, masih aku pikirkan, dan aku masih belum menemukan jawaban.

Sudah waktunya untuk sarapan. Kami kembali digiring oleh divisi keamanan menuju ruang aula untuk pembagian makan. Wes mangan ora udud enek. Yaa, itulah yang aku rasakan. Melihat para panitia menghisap asap nikotin, meracuni paru hanya untuk menghilangkan rasa enek, menghembuskan beban yang keluar bersama dengan asap rokok yang tidak mengalir masuk ke dalam paru-paru. Dan pada akhirnya ada juga orang yang peduli terhadap para pecandu racun seperti kami. A Lutfi mengijikan kami untuk merokok, walau hanya satu batang yang harus pas dihabiskan oleh sekitar dua puluh orang. Walau hanya kebagian satu hisapan yang lumayan panjang dan dalam, setidaknya paru ini sudah teracuni dan mengurangi sedikit rasa enek, dan juga mengurangi umur yang katanya setiap umur itu sudah ditetapkan oleh Tuhan yang menciptakan kita.

Acara parasmanan berganti dengan acara hiburan, lagi. Sekarang hanya peserta saja yang memberikan kreasi hiburannya. Yel-yel dan Mars UKM. Dance juga iktu merangsang saraf tawa kami, terutama saya. Dan kegiatan P3DB pun sudah hampir mencapai klimaks. Ada konflik antara panitia dan divisi keamanan. Semua terjadi secara tiba-tiba mengejutkan kami. Apa ini kebetulan? Atau sudah direncanakan oleh Tuhan? Atau mungkin saja juga sudah direncanakan oleh mereka.

Kami, para peserta P3DB hanya menonton peserta konflik yang sedang asik bermain sebuah game nyata. Para panitia tidak mau diatur semena-mena oleh keamanan yang katanya divisi keamanan pun masih perlu diamankan. Seorang divisi keamanan yang telat, yang memakai celana pendek, dan yang merorok menjadi sebuah alasan yang kuat bagi para panitia. Sedangkan divisi keamanan yang merasa paling benar karena mereka merasa mereka lah yang paling bertanggung jawab dalam kegiatan ini tidak mau kalah. Seorang panitia lantang bicara kalau yang berhak mengatur dan bertanggung jawab dalam kegiatan ini adalah ketua pelaksana dan ketua UKM. Heh.. aku hanya tersenyum melihat sebuah organisasi yang menganjurkan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan kami, sedangkan rasa kebersamaan mereka pun nihil ketika ada konflik seperti ini. Apa itu kebersamaan? Mana kebersamaan kalian? Bukan itu masalahnya. Ini semua hanya sekenario Tuhan dan mungkin juga ada sutradara yang kedua.

Ketua UKM pun iktu serta bermain.

“Kalian gak malu sama peserta, hah? Kalian gak menghargai saya sebagai ketua?” teriak A Lutfi.

“Tuh hargai ketua UKM.” seorang panitia ngotot ingin menang.

“Kami bukan tidak menghargaimu sebagai ketua UKM, kami hanya bersuaha untuk mengamankan kegiatan, dan mereka susah untuk diamankan, bahkan melawan” divisi keamanan pun tidak mau kalah.

Perdebatan kata dan kontak fisik yang semu berlangsung sampai ketua UKM memutuskan untuk meninggalkan ruangan dan konflik. Mengapa seorang ketua malah meninggalkan konflik yang seharunya dialah yang paling berpengaruh bisa mentralisir masalah ini. Ah, tidak, ini hanya lah sekenario Tuhan. Atau mungkin juga ada sutradara kedua.

Selain ketua UKM, para panitia pun pergi meninggalkan ruangan dan katanya juga akan pulang untuk meninggalkan kegiatan. Divisi keamanan masih tegak berdiri dengan angkuhnya di depan. Dan kami sibuk dengan persepsi kami masing-masing apa yang sebnernya terjadi. Namun tidak denganku. Pikiran itu masih asik berjalan kesana-kemari di otakku.

Divisi keamanan memerintahkan kami untuk sementara pergi dulu ke penginapan. Mungkin mereka ingin mendiskusikan dulu masalah yang mereka hadapi. Kami pergi ke penginapan tanpa digiring oleh divisi keamanan. Sesampainya di kamar, teman-temanku sibuk mengoceh tentang konflik yang tadi kami tonton. Semuanya menyatakan persepsi mereka masing-masing. Apa yang barusan terjadi. Sedangkan aku hanya diam memperhatikan argumen-argumen mereka. Seorang divisi keamanan memerikasa setiap kamar agar tidak ada pintu dan jendela yang terbuka, dan tidak ada peserta yang di luar ruangan. Sekitar sepuluh menit kemudian kami disuruh untuk keluar kamar dan kami kembali digiring ke suatu tempat. Tempat dimana klimaks orgasme dari sebuah persenggamaan.

Di tempat ini divisi keamanan menghukum para peserta yang perlengkapannya tidak lengkap, dan yang semalam merokok pun dihukum kembali. Mereka juga mengintrogasi orang-orang yang melawan dan tidak suka kepada mereka. Ada juga peserta tak konsisten yang berpihak pada mereka. Aku masih diam dan sibuk, tidak larut dalam kegiatan. Gerombolan panitia kembali terjun pada medan konflik. Tak hanya panitia, senior pun berdatangan. Tak lupa ketua UKM. Perang mulut kembali meledak. Satu tangan senior yang sedang mencoba meluruskan masalah melayang menghantam muka seorang panitia yang terus nyerocos seperti mesin lokomotif. Divisi keamanan salah. Dan panitia pun salah. Semua tak luput dari kesalahan. Kita di sini harus bisa saling menghargai dan meluruskan. Bukan merasa yang paling benar dan berhak. Tunjukan kebersamaan yang selalu kalian suarakan kepada peserta. Tak ada yang berbicara. Seorang senior akhirnya dapat meredakan masalah. Walau sampai harus ada wanita yang merengek nangis dan wajah sebagai lahan sasaran dari telapak tangan.

Konflik sudah mulai mendingin. Waktunya kami dikukuhkan menjadi anggota resmi UKM Seni Musik. Salah satu pendiri UKM, Kang Gingin menyampaikan amanatnya,

“Ini adalah kegiatan terakhir dalam acara P3DB yang sudah kalian tempuh. Terimakasih kepada panitia dan juga divisi keamanan yang sudah mempersiapkan semuanya. Dan perlu kalian tahu, semua konflik yang terjadi barusan itu adalah sekenario kami.” jelas Kang Gingin.

Kami memberikan tepuk tangan. Ada yang berbicara kalau mereka sudah tahu kalau konflik ini hanya lah sebuah sekenario. Aku hanya diam, tersenyum. Sekenario dari Tuhan dan juga ada sutradara kedua yang membuat naskah sekenario konflik ini. Senior yang tadi melayangkan tangannya kepada panitia meminta maaf. Semua orang riang.

Satu persatu pendiri UKM memberikan pidatonya. Seksi dokumentasi sibuk dengan kameranya. Kami pun tidak semua memperhatikan dan tidak memperhatikan semuanya. Sampai pendiri UKM mengukuhkan kalau kami sudah resmi menjadi anggota UKM ini. Tapi aku tidak. Bagiku ini adalah sebuah keluarga baruku.

Upacara pengukuhan berjalan dengan lancar. Kami, anggota keluarga baru didokumentasikan bersama kakak-kakak tingkat dan juga senior dengan menggunakan media foto. Tak ada salahnya bukan bila kita mengabadikan sesuatu yang bisa saja hal itu adalah yang terakhir kita alami. Semua kembali ke penginapan untuk melakukan persiapan pulang. Mereka berfoto ria, dengan teman sekelompok, dengan teman dari kelompok lain juga, dan juga dengan kakak tingkat. Aku hanya duduk menikmati sebatang rokok kretek dari temanku. Meresapi setiap rasa dari asap beracun alami. Menikmati setiap rangsangan yang kuterima. Aku masih sibuk dalam dimensi pikiranku. Mengolah setiap kejadian untuk kemudian mendapatkan konklusi berdasarkan persepsi dan subjektifitasku.

Hhhh.. aku menarik nafas panjang. Siapa dia? Mengapa dia melakukan itu? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kita semua telah siap untuk pulang, yang kemudian tidur pulas karena lelah yang terlahir dari sebuah usaha. Sesampainya di kampus kami kembali diberikan pengarahan oleh panitia. Tapi sepertinya kami sudah terlalu lelah untuk mencernanya. Beruntung lah kami, ketua UKM, A Lutfi pengertian terhadap kondisi kami yang lelah. Dia menyuruh kami untuk segera pulang dan beristirahat. 

Ada sesuatu yang aku pikrikan. Masih. Sejak awal kegiatan tidak ada orang yang menyorotkan pandangan anehnya pada raga yang diberikan Tuhan padaku untuk berinteraksi dengan dunia ini. Namun ada satu orang yang selalu memperhatikanku. Ketika dia dan say berada di satu ruang dan waktu yang sama dia selalu memandangiku. Saya bukan Tuhan yang mengetahui apa sebenarnya yang ada dalam hati dan pikiran seseorang. Saya tak tahu apa dia aneh padaku atau benci. Sejak awal kegiatan kami berdua dipertemukan oleh Sang Perancang takdir saya merasa dia itu berbeda dari yang lain.

Apa aku terasing tdiak terasing? Atau malah terasing ketika orang lain tak lagi menatap aneh diriku, ketika hanya seorang yang menatap tajam hingga pandanganku menunduk melihat kemisteriusannya? SIapa dia? Jika aku memecahkan tempurungnya hingga berlubang, apa aku bisa tahu apa yang dia pikirkan ketika melihatku seperti itu? Jika aku mematahkan tulang rusuknya dan merobek dadanya hingga menganga, apa aku bisa menemukan dan tahu yang ada dalam hatinya ketika dia menatapku seperti itu? Dan kenapa juga ketika orang lain tak ada yang ingin berada di sisiku ketika aku sedang asik menyendiri dengan dimensi pikiran dan imajinasiku kau malah berada di sampingku hanya untuk sekedar basa-basi yang sebenarnya aku tak peduli? Bila saja genealogi kemisteriusan itu kutelusuri, semua berhulu pada hidup yang rumit dan kadang absurd ini. Hidup yang selalu membuatku tersungkur tak berdaya. Hidup yang aku anggap hanya sebagai kutukan.

07 November 2013

Persemaian Dosa


Selamat sore. Jarum jam di pergelangan tangan ‘begang’ku menunjukkan pukul lima lebih. Wkatunya sang mentari turun menenggelamkan dirinya di balik ujung pandang laut luas ufuk barat. Waktunya burung-burung untuk terbang pulang ke sarang mereka, mengasuh dan memberi makan anak-anaknya yang lucu setelah seharian sang Ibu mencari makan, karena ayah dari anak-anaknya pergi entah kemana. Hhhhh…. aku menarik nafas panjang. Udara pantai ini benar-benar membuat pikiranku tenang. Pemandangan alam yang indah ini menyejukan hatiku, mentari yang akan membakar langit dan awan, tiupan udara pantai yang dingin, rokok yang kuhisap, dan beer dingin dalam genggamanku yang tadi aku beli di warung-warung yang berjejer di sisi pantai. Tapi ada sesuatu yang sedang aku pikirkan, gadis yang kini sedang duduk membelakangiku di bibir pantai. Dia hanya duduk, pandangan lurus ke depan tanpa memperdulikan yang lain, sepertinya dia juga sedang menikmati panorama indah ini, tau mungkin larut dalam masalahnya.
Kemarin aku mengajaknya untuk pergi ke pantai ini. Dia menghubungiku  lewat telepon seluler, lebih tepatnya pesan elektronik.

“Gema, aku mau curhat”

“Kalau begitu besok aku jemput kamu. Kita akan pergi ke tempat yang bisa membuatku tenang, mungkin juga kau. Persiapkan segala keperluanmu”
Lalu aku menjemput dia ke rumahnya. Dia sudah bersiap dengan perbekalan dan dandanannya yang acuh, tanpa make up dan embel-embel perusak kemurnian raga anggunnya. Aku meminta izin kepada ‘Ibu’nya. Dia mengizinkan kami berdua untuk pergi.
Kami berangkat setelah dzuhur. Jarak yang kami tempuh cukup jauh. Aku tak tahu secara rincinya berapa kilometer. Dengan keadaan motor tuaku yang belum pulih seutuhnya, kami berdua menyusuri jalanan tanpa dibumbui percakapan hangat layaknya sepasang kekasih yang sedang pergi berkencan. Kami berdua hanya membisu menikmati jalanan yang tak mulus. Mendengarkan nada cempreng kenalpot vespaku yang kadang batuk. Sesekali dia bertanya,

“Masih jauh ga?”

“Sebentar lagi kita sampai” aku menjawabnya dengan senyum yang tertutupi syal penutup wajah agar tak tersentuh polusi dari kendaraan bermotor.

Tak lama kemudian kami sampai di pantai Pangandaran. Jam setengah empat. Lumayan lama. Mungkin karena kendaraan yang kami pakai yang tidak sehat. Sesampainya di pantai menikmati sebatang rokok terlebih dahulu, membeli empat botol beer dingin. Gadis itu, dia langsung menyimpan tasnya, dan pergi ke bibir pantai untuk duduk dan menjadi patung. Setelah membeli beberapa botol beer dingin, aku menyiap tenda yang kupinjam dari teman seperbotolan untuk tempat tidur kita berdua malam ini. Ah, tidak, hanya untuknya. Aku akan menghabisi mala mini dengan minum, merokok, dan mendengarkan music di depan api kecil. Sejak kemarin malam aku berharap rembulan muncul kembali malam ini.

“Gema… kadieu…”

Teriakannya memecah lamunanku. Dengan botol beer dalam genggaman tangan kirikuku, dan sebatang rokok yang terbakar di sela-sela jari telunjuk dan ‘jajangkung’ku aku menghampirinya dengan berleha-leha dan pikiran yang sejak tadi berputar-putar dalam otakku.

“Kamu lagi mikirin apa? Dari tadi melamun terus” wajahnya tanpa ekspresi.

Tapi aku bisa melihat suasana hatinya yang terpancar dari bola mata indahnya. Aku terdiam sejenak, menatap lekat matanya.

“Kamu lagi apa? Dari tadi diam terus, kayak patung aja heuheu” aku berikan dia senyuman yang tak pernah aku berikan kepada wanita mana pun.

Dia menjawabnya. Kembali mmemalingkan wajahnya kea rah matahari yang sudah bersiap untuk menhujam pelan lautan.

“Aku…”

“Sssssstttt… kita bicaranya nanti dibawah jubah kekasihku” aku memotong bicaranya.
Malam adalah kekasihku. Dia teramat mencintaiku. Bahakan saking cintanya dia padaku, dia sering memelukku tanpa membiarkan sedetikpun kesadaranku terlelap.

“Kita tidak boleh melewatkan panorama indah ini. Lebih baik kita nikmati anugrah ini dulu, tanpa ada sepatah kata pun! Biarkan alam berpuisi dan kita nikmati ini bersama merdunya keheningan” mata lurus ke depan tanpa memandang wajahnya, aku hanya memandang lurus ke depan, lurus dan tajam, menerawang yang ada dalam pikiranku.

Bahuku menjadi senderan kepalanya. Dia tak menjawabnya. Hanya diam dan menyenderkan kepala sambil memeluk lututnya yang tersentuh angin pantai. Rambutnya yang anggun menyentuh wajahku. Dan upacara keindahan yang sedang kami saksikan sudah hampir mencapai klimaks.
Mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Refleksi setengah tubuhnya bersinar di atas permukaan air laut. Siluet sinarnya yang indah memancar di langit. Dan sunset pun tercipta. Awan dan langit terbakar. Ada keheningan di antara kami berdua. Bala tentara hampa menyelinap diam dari belakang. Bersiap mentranfusikan racunnya pada hati yang sedang kalut. Aku hanya pasrah. Biarkan, biarlah kita berdua merasakan betapa nikmatnya hampa di antara hadapan hari dan malam. Rasakan, rasakanlah pahit dari efek samping berbahayanya racun gerombolan tak berbentuk itu. Pelajari lah, mengerti lah dan pahami lah. Bersama langit berjelaga yang menyisakan banyak arang-arang kecil yang masih menyala, kita berdua terpaku dengan panorama niskala ini. Dan tak terasa air matanya membasahi bajuku. Hhhhhh…. Aku menghela nafas panjang.

“Keluarkan semuanya, menagislah sepuasnya, tapi jangan habiskan air suci itu untuk Yang Menciptakan kita” masih tak memandangnya.

Tangannya perlahan memelukku, erat. Tangisannya kini menghasilkan suara sendu yang syahdu. Aku pun larut bersamanya. Menangis, namun tanpa air mata dan suara. Hatiku menangis. Dan perlahan suaranya mulai menghilang, air matanya perlahan berhenti mengalir. Walau mungkin hatinya masih menangis. Dan mars pun menyapa cahaya sang cermin.

“Udaranya mulai dingin, kita ke tenda yuk. Kita bikin api unggun kecil di depan tenda biar hangat” aku membantunya berdiri.
Tapi tubuhnya tak bisa berdiri. Kakinya tak mimiliki tenaga. Kesemutan. Aku menggendongnya untuk pergi ke tenda. Dia masih tak bersuara.

“Gema, apa menurutmu aku pantas untuk dikasihani?” akhirnya dia berbicara.

“Tidak ada orang yang tak pantas untuk ditolong. Tunggu, ya, aku mau menyalakan dulu api unggunnya” aku meletakkan tubuhnya di atas pasir depan tenda yang menghadap ke pantai.
Kayu yang aku kumpulkan tadi mulai aku nyalakan dengan cricket bergambar abstrak milikku. Walau dengan susah payah karena angin laut yang bertiup kencang akhirnya nyala juga. Hangat. Seperti cahaya pertempuran yang mengandung harapan dan tidur malam yang telah berakhir.

“Musibah dan masalah tak pandang bulu, maka aku juga takkan pandang bulu untuk menolong siapa pun, aku akan berusaha yang kubisa.” Aku tersenyum memandang wajahnya.

Dia mendekatiku, duduk di sampingku, menghadap api yang dulunnya bara api hitam sebesar atom, tapi bisa menghancurkan sebuah gunung. Tangan kami berdua didekatkan pada api.

“Apa kau ingin menjadi penasihatku?”

“Hha.. konyol, apa kau ini presiden? Apa aku ini terlihat seperti orang bijak? Heh.. aku tak mau, karena aku juga bukan orang baik, soleh, pinter, apalagi bijak. Aku hanyalah seorang manusia hina, kotor, dan bodoh yang memiliki kelainan sejak lahir. Kau tahu, bahkan mungkin aku lah yang membutuhkan seorang penasihat bijak, agar aku tidak selalu mengumpat hidup ini. Ah, tapi orang yang paling bijak pun tidak tahu seperti apa akhirnya. Aku tidak mau menjadi seorang penasihat, aku tak mau menjadi orang yang sok bijak menasihati dirimu. Tapi, aku akan selalu ada dan bersedia menjadi orang setara yang akan selalu memberitahumu sesuatu yang kau kau butuhkan.” Awalnya aku tertawa kecil, lalu aku menatapnya dalam, lekat. Tatapan mataku tepat menghujam tenggelam ke dalam bola matanya yang berwarna coklat.

“Yah, terserah kau. Aku butuh solusi. Aku ingin bicara tentang sesuatu yang tak pernah aku bicarakan kepada orang lain. Dan aku…”

“Aku tak akan pernah menceritakan rahasia seseorang kepada orang lain, apalagi kepada orang yang bermulut seperti radio butut.” aku memotong bicaranya. Senyum lebarku meyakinkannnya.

Aku memberikan dia minuman bersoda berukuran besar yang aku beli tadi bersama beberapa botol beer. Satu botol beer aku buka lagi setelah beer yang tadi diteguk habis pada ujung senja. Menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya, dalam. Kuracuni paru malangku.

“Aku ingin berubah.”

Aku batuk akibat tersendak asap rokok yang kuhisap. Memandangnya dengan satu alis ke atas. Tanda tanya.

“Aku ingin berubah. Aku ingin berubah kearah yang lebih baik. Aku tak ingin mempermalukan orang tuaku. Aku tak ingin menjadi wanita yang hina. Apa Tuhan akan memaafkanku? Apa Dia akan menerima perubahanku setelah aku banyak melanggar perintah-Nya?” wajahnya masih memandangi api unggun kecil di depan kami. Sesekali dia menatap mataku.

“Kenapa kau ingin berubah? Aku ingatkan kau, selama kurang lebih seratus tahun Adam menangis bukan untuk mengemis surge yang pernah ia nikmati”

“Aku ingin berubah bukan karena ingin menjadi orang egois yang tak memperdulikan hak orang lain, dan juga bukan karena ingin mengemis sekeping surga dengan saling berpegangan tangan dengan orang-orang pabrikan plagiat yang tak mengindahkan daging. Aku merasa malu dengan Tuhan. Aku ingin melaksanakan perintah-Nya, tapi aku merasa belum siap dan malu karena ragaku ini telah penuh dengan dosa.” matanya berkaca-kaca.

“Kenapa mesti malu? Sudah jelas tertulis dalam kitab suci, Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penerima Perubahan. Seberapa banyak dosamu? Adakah lebih besar dari bumi yang kita pijak ini? Kau tahu, seburuk-buruknya manusia adalah dia yang berdosa, dan sebaik-baiknya yang berdosa adalah dia yang ingin berubah dan meninggalkan kegiatan produksi dosanya.” aku berbicara dengan hati-hati. Aku tak ingin melukai perasaannya.

“Kau tahu, aku sudah tak perawan lagi. Pacarku sering menyetubuhiku. Aku sering melakukan dosa bersama pacarku. Aku ingin berubah. Aku ingin berubah, tapi pacarku tidak menginginkannya. Dia terus mengajakku melakukan sesuatu yang dilarang oleh Tuhan. Sekarang aku harus bagaimana? Aku ingin berubah, tapi aku tidak mau kehilangan pacarku, keperawananku telah direnggut olehnya.” ekspresi wajahnya sudah muncul.
Aku tidak terlalu kaget ketika dia bilang kalu dia sudah bukan perawan.

“Bagiku ini adalah masalah yang cukup simple. Tapi mungkin ini berat bagimu. Kau hanya tinggal memilih. Bukankah banyak orang yang bilang kalau hidup ini adalah pilihan, yaa, walaupun aku tidak sepaham dengan mereka. Tapi pilihlah, pacarmu yang telah membuatmu seperti ini atau Tuhan.” kali ini aku semakin larut dan terbawa emosi.

“Berat. Ini berat, Gema..”

“Setiap perbuatan ada konsekuensinya. Dan kau harus siap dan bisa menanggung setiap konsekuensi itu. Pilihan ini tidak lebih berat dari pilihan yang diberikan Tuhan kepada Ibrahim. Dia menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri. Dan Ibrahim benar-benar melakukannya, dia memilih untuk menuruti perintah Tuhan-nya, karena dia tahu kalau Tuhan-nya adalah Maha Pengasih dan Maha Mengetahui. Dan anaknya digantikan dengan seekor kambing. Darah Ismail tak jadi membasahi tanah. Lalu ketika Nuh yang disuruh untuk meninggalkan anak dan istrinya ketika ada bencana banjir besar. Bukan kah pilihanmu ini lebih ringan? Hanya meninggalkan orang berengsek yang telah menghinakan kehormatanmu!”

“Apa Tuhan benar-benar akan menerima perubahanku?”

“Apa kau masih ingat dengan kisah Musa yang pernah aku cerita dulu?”

“Yaa, aku masih ingat. Tapi jika aku meninggalkan pacarku, aku takut tak ada lagi orang yang mau menerimaku lagi. Sekarang kau tahu kan keadaan aku seperti ini.“

“Puuuhhhh..” kuhembuskan asap rokok yang sudah hampir mencapai gabusnya, lalu aku matikan. Kuteguk beer yang isinya tinggal setengah. Menyalakan kembali sebatang rokok.

“Aku tak tahu siapa orang yang akan menerima keadaanmu. Aku tak tahu apakah ada orang yang akan mau menerima keadaanmu apa adanya” berhenti sejenak. Menghisap rokok. Dan berpikir.

Seperti saat berkendara dengan kecepatan yang lumayan tinggi dan di depanku ada kendaraan yang bisa saja aku tabrak. Aku harus memikirkan solusi dan memutuskan apa yang harus aku lakukan dalam waktu yang sangat sedikit. Dalam beberapa detik aku harus mengolah ribuan informasi dalam otakku.

“Tapi, aku tahu Tuhan pasti mengirimkan seseorang yang bisa menerima keadaanmu apa adanya. Tak peduli kau masih perawan atau tidak. Tak peduli sudah berapa orang yang menyetubuhimu. Tak peduli masa lalumu sekelam apa. Tak peduli telah berapa banyak dosa yang telah kau lakukan. Tak peduli kau ini jelek, bodoh, miskin dan hal-hal lain yang berada dibawah buku standarisasi orang-orang bego. Kelak, calon suami yang akan menjadi pendamping hidupmu, jodoh yang akan dikirimkan Tuhan, tubuh tempat untuk berdiamnya tulang rusuk, dia pasti akan menerimamu apa adanya. Aku jamin itu. Pasti. Dan jika kelak tak ada lelaki yang mau menerima keadaanmu apa adanya, aku… aku… bersedia menjadi pendamping abadimu, aku bersedia menerima keadaanmu dengan apa adanya.” aku menatap matanya dalam.

Dia tak langsung menanggapi perkataanku. Dia hanya memelukku sambil menangis. Matanya berlinang air yang suci. Aku juga menangis haru dalam hati dengan mata yang berkaca-kaca.

“Gema…. aku tak tahu lagi harus bicara apa. Sungguh dan selamanya, terimakasih kau telah mengerti aku. Dan juga te…rima…kasih kau telah mau menerima wanita yang hina ini” bicaranya terpatah-patah. 

Pelukannya semakin erat.

Aku tak menjawab perkataannya dengan kata. Biarlah pelukan tanganku yang menjawab. Aku tak ingin melepaskan pelukannya dari tubuhku. Sesekali aku memandang wajahnya yang terpejam nyaman dalam pelukku. Aura sedihnya tak lagi nampak dari wajahnya yang manis. Meskipun aku tahu, bekas di hatinya tak menhilang begitu saja, tapi aku percaya waktu selalu berbaik hati jika kita pun baik padanya.

Lama dia memelukku. Dia tertidur.

Aku terharu, karenaku, kau membuat parit di atas lesung pipitmu yang manis. Aku bersedia. Aku bersedia mengisi lubang kosong menganga dalam dalam hatiku dengan dirimu. Biar lah langit menjadi saksi dari bibit pohon yang kita tanam. Rembulan mendikte ribuan bintang untuk mencatat detail dari lukisan kita malam ini. Putri duyung bernyanyi merdu di ujung bibir pantai meninabobokanmu.

Mungkin sekarang aku telah menemukan tulang ruusukku yang hilang direnggut Tuhan, dan aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku tak mau kehilanganmu. Dan aku bersumpah, aku akan selalu menjagamu.
Walau tanpa kalimat ‘Aku cinta kamu’, walau tanpa metafora-metafora lisan, puisi-puisi indah untuk menyatakan cinta, pada malam ini, cinta berbicara tanpa kata dan suara. Dari hati ke jantung. Lewat pelukan dan air mata yang suci.  Melalui infeksi dari duri kehidupan yang kucabut dan tertinggal dalam daging. Mulai malam ini kita akan menghadapi hari yang kadang tak jelas dan absurd secara bersama. Berperang melawan naskah Tuhan yang ingin kita tulis ulang. Atau mungkin juga bonar, karena kita kehabisan amunisi dan perbekalan untuk pertempuran tanpa ledakan. Merajut mimpi yang sempat tertunda ataupun yang akan melintas. Menciptakan pertigaan takdir yang semoga tidak lebih pahit dari kita berdua. Dan yang selama ini membuatku terobsesi, aku masih mencarinya, kita akan mencarinya bersama untuk dihadiahkan kepada buah hati kita. Sebuah makna hidup yang hakiki. Aku tahu hidup ini memang berengsek, maka dari itu kita tak boleh diam saja. Kita harus mencarinya. Pasti, kita berdua pasti bisa menemukannya, karena kita adalah persemaian dari dosa dan derita.