23 Agustus 2014

Lodong


Sampai jumpa lagi di halaman lain. Apakah aku harus mengucapkannya?

Dulu, siapa yang menyangka bahwa kita akan bertemu, kenal, saling tertarik, penasaran, peduli, dekat, saling menyukai, jatuh cinta, saling menyayangi, saling tak menyangka satu sama lain, rasa sayang kita semakin dalam, kita berdua saling membenci, mengumpat, kita berdua sering berjanji untuk tak bertemu lagi, berpisah mungkin, tapi selalu ada sesuatu yang mempertemukan kita berdua, cinta kita semakin dekat, bahkan cinta kita menyatu dalam sebuah adegan percintaan suci di atas altar ranjang kewarasan pada malam-malam terlaknat? Apakah semua ini takdir? Apakah takdir itu memang ada? Siapa yang menciptakan takdir kita? Tuhan? Apa Tuhan itu benar-benar ada? Tak perlu bawa-bawa Tuhan, Dia tak ingin ambil bagian dalam percintaan kita, apalagi untuk ikut bercinta di atas ranjang. Ah, tidak, semua yang terjadi dalam hidup ini adalah atas izinnya, atas kehendaknya, begitu pula dengan rasa cinta dan percintaan kita, semua dosa kita, semua itu adalah berkat izin dan kehendak-Nya.

‘Selamat datang di neraka warisanku dan neraka yang kuciptakan sendiri.’ Aku rasa itulah kalimat yang pantas kuucapkan ketika kau bilang bahwa kau mencintaiku. Ya. Dulu aku pernah mengajakmu menikmati neraka, lelah pada neraka, menderita bersama dan saling tolong-menolong satu sama lain. Bukan ‘Aku juga mencintaimu, maukah kau jadi pacarku?’ Sialan! Bahkan pacaran tak diakui oleh Tuhanmu yang jarang kau puja dan sering kau lupakan dan tinggalkan.

Aku ingat bagaimana pertama kita bertemu dan saling menatap. Aku ingat bagaimana pertama kali kita saling menyapa. Apa kau ingat? Lupakan lah! Kita berdua sama-sama tertarik. Aku tertarik padamu karena kau terlihat seperti orang yang selalu ceria dan selalu bisa menikmati hidup ini. Bebas dari masalah? Tidak, kau juga manusia. Bahkan setelah dekat denganmu, ternyata kau adalah anak kecil yang memiliki kehendak cacat. Dan dulu aku ingin belajar padamu bagaimana kau bisa seceria itu. Kita, sebagai orang dewasa keparat yang rumit memang harus belajar tersenyum dan tertawa lepas pada anak ingusan, bermain kala senja hingga lupa akan kekhawatiran dan kemarahan ibu di rumah. Aku ingin belajar bagaimana agar tidak mengumpat-ngumpat hidup ini.

Lalu, mengapa aku mencintaimu? Aku tak tahu. Seperti jawabanmu. Apakah perlu alasan eksplisit? Cinta datang begitu saja, tanpa kita sadari, tanpa kita inginkan, tanpa kita rencanakan, seperti hidup ini? Mengapa hidup ini ada? Darimana asalnya? Apa kau pernah menginginkan dan merencanakan untuk ambil bagian dalam hidup sialan yang kadang absurd ini? Kehidupan manusia yang berawal dari Adam, atau mungkin monyet yang yang tak bertahan hidup dalam keadaan alam pada saat itu dan mengalami evolusi dengan waktu yang sangat lama akibat rangsangan alam dan mutasi gen? Maukah kau mengakui bahwa Adam dan Hawa adalah nenek-moyang kita? Atau monyet, binatang? Jika kau tak mau mengakui binatang sebagai nenek-moyangmu, mengapa kau mengadopsi gaya bercinta binatang seperti gaya bercinta anjing? Oh, anjing-anjing yang bercinta di kamar suci sembari berdiskusi tentang kebenaran eksistensi Tuhan, setan, malaikat, surga, neraka, baik, buruk, realitas, politik, ekonomi, sosial, filsafat, cinta, tidakkah kita sadar bahwa nafsu keingintahuan kita akan kebenaran sedikit demi sedikit telah menyingkap tabir penipuan dengan iming-iming kebahagiaan yang maha dan abadi? Tidak sopan. Ya, mungkin.

Kau harus tahu, aku tak mencintaimu apa adanya. Aku mencintaimu ada apanya. Karena ada sesuatu (ada apanya) dalam dirimu yang belum kuketahui dan begitu kuat membuatku bisa mencintaimu, begitu menyayangimu, dan tulus menjagamu. Untuk keburukan dan kejahatanmu yang memang kau anggap buruk dan jahat, selama itu tak merugikan orang lain, bagiku semua itu adalah baik. Seperti yang kita bicarakan di kamarku, setelah lelah bercinta, orientasi baik dan burukku adalah semua tindakan baik dan tak ada yang lebih baik, kecuali yang merugikan orang lain. Hidup ini bebas. Bebas! Layaknya sebuah kebebasan yang menjadi salah satu dari tindakan hidup, kebebasan juga memiliki konsekuensi. Dan pada kenyataannya kebebasan kita juga tak bisa bertubrukan dengan kebebasan orang lain, dan kita tak boleh melepaskan kebebasan kita lalu merampas kebebasan orang lain. Aku mencintaimu baik, buruk, dan jahatmu. Kau tak perlu khawatir bahwa cintaku akan meredup, atau bahkan lenyap jika aku mengetahui semua keburukan dan kejahatanmu. Bukankah sekarang kita sudah saling mengetahui semua keburukan dan kejahatan masing-masing? Dan kau bisa merasakannya tadi pagi, kita masih selalu saling menyayangi.

Cinta kita berdua tak memerlukan perantara, alat sebagai perantara yang kadang disalah-pahami sebagai wujud konkrit si Tuhan atau tujuan, dan embel-embel lainnya. Seperti patung Budha, patung bunda Maria, Salib Jesus, Ka’bah, yang banyak dikritisi para agamawan dan umat yang kritis karena seringkala orang menuhankan alat bantu yang sebenarnya hanya menjadi jembatan antara Tuhan (jika Tuhan memang ada) dan manusia. Jika kita berdua saling mencintai, kita berdua bisa bercinta. Jika kau mencintai Tuhan, apa kau bisa bercinta dengan Tuhan?

Apa yang telah kita lalui hanya lah masa lalu, yang kita ingat dan kita lupakan, yang kita kenang dan kita buang. Aku tahu aku mencintaimu. Aku tak peduli itu hanya sesaat atau selamanya. Semua yang ada di dunia ini hanya lah fana belaka. Tak ada yang abadi, kecuali perubahan.

23 Desember 2013

Di Sudut Senja



Bersama bayang di balik raga
Menatap kosong pada jingga
Jiwaku menangis tanpa suara
Dalam suang hitam yang hampa

Kucoba berontak menghantam hitam
Diri ini terlilit alpa berduri luka
Lirih perih menghujam dada
Waktu membusuk penuh karat

Gema kebencian dendam terhunus tajam
Menyayat cinta yang tenggelam
Dalam sebongkah ruang menghitam
Kutukan ini sungguh kelam

Jelaga telah hampir tiba
Para malaikat akan terbakar
Dua musuh akan bekerjasama
Dan berpuisi dengan terangnya yang syahdu

Angin berbisik lembut
Dan perlahan jatuhkanku
Sampai di sana, di yang hitam merayu
Buahkan sesal

Aku tak memilih apapun
Bukankah ini hanya selembar surat
Mencoba mencinta neraka
Tak peduli dan meninggalkan surga

Menikmati setiap lembarnya
Dan kuburu dimana kau wahai muara
Karena surga telah lama terbakar neraka di hadapku
Dan aku hanya terpaku menatapnya

Biarkan ku hilang
Bersama gelap luka
Bersama jelaga
Abu dari senja yang kelam

Di sudut senja ini
Kutantang mautku
Dan kutunggu ajalku


*Download mp3-nya di sini, fuckin’ free!

15 Desember 2013

Duhai Vebeu-ku yang Merepotkan



Kuhidupkan motor tuaku setelah empat hari dioperasi dan dirawat di rumah mogok. Semua perbekalan sudah siap. Aku memakai pakian seadanya layaknya seorang manusia biasa yang membenci kehidupan hedonis. Hari ini aku kan kembali berangkat ke Kota Kembang untuk menyaksikan malam perilisan Buku, CD, DVD dan Merchendise official lainnya dari Risa Saraswati dan Bandnya yang bernama Sarasvati. Suara cempreng Vespa merahku memecah pagi di kampungku yang masih hening. Aku pamit kepada kedua orang tuaku untuk berangkat. Aku tak bilang hari ini aku akan ke Bandung.

Gigi perseneleng dari netral beralih ke gigi satu. Menyusuri jalanan kampung yang berlubang yang katanya mau dibangun ulang tapi sampai sekarang belum terlihat adanya proyek yang berjalan. Ban Vespaku mulai berputar menginjak jalanan hotmik. Keluar dari kampung menuju kampusku yang berada kota Tasikmalaya yang katanya Kota Santri tapi tidak sesuai dengan realita dan fakta yang ada untuk menjemput seseorang terlebih dahulu. Kami berdua janjian akan bertemu di kampus. Dan delapan belas menit kemudian aku dan motor tuaku sudah berada di depan kampus. Sudah sejak seminggu yang lalu kami berdua merencanakan akan menghadiri acara Sunyaruri. Namanya adalah Rona Damai.

Dia adalah seorang perempuan yang berbeda dari ribuan permpuan yang pernah aku temui di bumi tua yang sudah diinjak oleh zaman yang gila ini. Tingginya hampir sepadan denganku. Berkulit putih. Rambut sebahu agak ikal. Dan mata yang tak bisa aku selami. Sudah beberapa kali aku mencoba menyelami matanya, tapi aku tak menemukan apa-apa. Semuanya begitu gelap dan hening. Entah pandanganku yang terlalu buta dan telingaku yang terlalu tuli, atau dia lah yang terlalu spesial. Kami berdua jarang bicara satu sama lain. Dia berpakian seadanya layaknya mau menempuh perjalanan jauh. Tanpa ebel-ebel penghias wajah yang tebal yang menodai kemurnian wajah seorang gadis. Darimana aku tahu dia masih gadis? Ah, aku tak peduli dia masih gadis atau bukan. Entah sejak kapan dia menarik ketertarikanku. Caranya menyikapi hidup brengsek yang kadang absurd ini membuatku tertarik.

Setelah salaman dan mempersiapkan pemberangkatan kami langsung melesat menuju Bandung. Bergetar di atas jok Vespaku yang kemarin baru saja aku ganti karena sudah rusak parah. Menyempil diantara kendaraan bermuatan berat yang menyemburkan asap polutan hitam. Untunglah kami berdua mengenakan masker.

“Maaf ya, aku lupa bawa buku ‘Filsafat Sastra’ milikmu.” dia lupa mengembalikan bukuku yang dia pinjam dulu.

“Iya, tidak apa-apa. Santei we.” jawabku, tak masalah.

Sepanjang perjalanan kami berdua tak banyak bicara, basa-basi ini dan itu yang sebenarnya tak penting dan yang tak kupedulikan. Kami hanya terdiam membisu menikmati perjalanan yang kadang menyebalkan dan juga dihiasi oleh kekocakan ketika kami berdua dimarahi oleh seorang bapak-bapak yang tersingkirkan ke pinggir jalan ketika aku menyusul sebuah bus. Aku tertawa dalam hati.

“Kamu mendengarkan musik gak?” tanyaku padanya.

“Enggak.” jawabnya pendek.

“Kalo jenuh dengarkan musik aja. Kamu bawa Headset gak?”

“Enggak. Gak papa kok.”

“Ya udah.”

Bukan aku tak ingin meminjamkannya Headset-ku tapi aku juga sedang asik mendengarkan musik. Setidaknya musik bisa meredam hal-hal yang menyebalkan yang kutemui di perjalanan.

Hari ini ada razia yang dilakukan oleh para polisi di daerah Lewo. Dan beruntungnya aku mempunyai STNK dan SIM sehingga membuatku tak perlu mengeluarkan. Memasuki Lingkar Nagreg sepeti biasa aku selalu menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak. Menenangkan diri. Mengistirahatkan motor tuaku. Dan kami juga mengistirahatkan bokong kami yang sudah merasakan pegal akibat jok motorku yang agak sedikit keras dan juga mungkin getarannya berpengaruh.

“Kamu mau kopi gak?”

“Mau.” Ah, ternyata dia juga suka kopi.

Aku memesan dua gelas kopi. Duduk di bangku yang dilengkapi meja yang sudah disediakan oleh pemilik warung. Kutawari dia rokok.

“Mau rokok?”

“Mau. Hehe.” Sambil tersenyum dia mengambil sebatang rokok.

Aku kaget dan tak menyangka. Satu persatu kegelapan itu mulai menunjukkan terangnya. Awalnya aku hanya bercanda menawarkan dia rokok, tapi ternyata dia juga suka merokok. Tapi dia tidak terlalu kecanduan sepertiku.

“Haaah. Kamu juga suka merokok?” tanyaku kaget.

“Hehe. Iya. Emang kenapa? Kamu kaget ya?” jawabnya sambil menghisap sebatang rokok.

“Iya. Haha. Aku tak menyangka. Sejak kapan kamu suka merokok?”

“Emmmhh. Kapan yah, aku lupa. Hehe..” dia tersenyum dengan gaya yang bagiku terlihat seperti orang bodoh dan konyol.

“Eh, Ren, kamu orang yang egois ya?” aku bertanya santai walau sebenarnya ini serius.

“Egois? Emang kenapa?” tanyanya heran.

“Kamu kan pernah bilang ‘Melakukan apa yang saya suka dan membuatku bahagia itu baru namanya hidup’, berarti kamu egois dong?”

“Emmhh. Enggak juga ah. Tapi kalau dibilang egois iya juga sih, dikit. Hehe. Orang lain kan gak tahu gimana dan apa yang kita rasain dalam hidup ini, jadi lakukan aja apa yang kamu suka dan membuatmu bahagia. Mereka gak tahu seperti apa rasanya hidup kita.” jawabnya sudah mulai agak serius.

“Tapi kita juga harus memperhatikan orang-orang disekitar kita, kita jangan sampai menjadi orang yang egois.”

“Tapi rata-rata orang yang ska musik itu egois ya, Gem?” tanyanya.

“Enggak juga. Banyak yang enggak egois. Salah satunya komunitas musik Ujung Berung Rebel yang sampai saat ini masih hidup dan berkembang. Mereka saling peduli satu sama lain. Mereka juga tak apatis terhadap kehidupan ini.” jelasku.

“Oh, gitu ya.”

“Ren, dulu aku pernah membencimu loh…” mulai serius lagi.

“Loh, benci kenapa?” tanyanya penasaran.

“Kamu dulu suka liatin dan memperhatikanku yah?” aku menatapnya. Aku hanya berpikir dan merasa bahwa dulu dia suka memperhatikan dan melihatku karena fisikku yang aneh. Aku hanya ingin tahu dan menjelaskannya. Agar tak jadi sebuah beban untukku. Aku tak pernah sedikitpun berpikir kalau dia suka padaku. Tak pernah. Yang ada dalam pikiranku dia hanyalah aneh melihatku. Melihat raga yang diberikan Tuhan untuk ruhku berinteraksi dengan dunia fana ini, tapi raga yang diberikan-Nya tak memenuhi standarisasi normal bodoh yang telah dibukukan oleh para manusia. Bahkan dulu aku membencinya. Dan seketika itu pula aku ingin membunuhnya. Dari dulu aku ingin membunuh semua orang yang menatapku aneh. Aku ingin menghancurkan dunia ini beserta semua isinya.

“Enggak ih. Haha. Kamu geer.” tangannya menunjukku sambil berseri dengan senyumnya yang kelihatan seperti orang gublah-gebloh.

Lalu aku menunjukan tangan keriput kurusku yang menampakkan tulang belulang penyanggah daging dan kulitku yang memiliki kelainan kromosom dan agak bersisik atau megar. Mengacungkan tanganku dihadapan wajahnya. Dan aku menatap matanya. Aku mencoba mencari tahu apa yang ada dalam matanya. Tak bisa. Lagi-lagi hanya kegelapan akal.

“Kamu aneh kan melihatku?” tanyaku serius.

“Enggak ih…” jawabnya seperti orang yang ragu.

Aku memandang perbukitan yang ada di depanku.

“Iya juga sih.” sambungnya.

“Hhhhh.. Aku tahu itu. Itu wajar bagiku.”

Setelah pembicaraan serius itu kami berdua bersua tentang masa lalu kami.

“Kamu suka mabuk ya, Ren, atau pernah mungkin?” tanyaku.

“Iya sih pernah. Hehe.”

“Pernah sampai mabuk parah gak, sampai tumbeng gitu?”

“Pernah.”

Hhhhh.. Aku menraik nafas dalam. Tersenyum.

“Kenapa kamu tersenyum?” tanyanya.

“Gak, kok. Aku ingin tertawa aja jika melihat seorang perempuan mabuk parah sampai tumbang. Haha..” jawabku sembari tertawa kecil.

““Kamu tahu aku suka minum waktu malam minggu dulu ya?” tanyaku karena dia tahu aku suka minum ketika dia berkata ‘Nikmati aja hidup ini. Seperti ketika kamu minum Wine. Rasanya pait kan, tapi kamu menikmatinya kan’.

“Hehe, iya. Kamu udah persiapan dari Manonjaya yah. Haha.”

“Ren.. Ren.. dulu ketika pertama kali aku melihatmu aku pikir kamu itu adalah seorang wanita gebloh dan juga manja. Habis kelakuanmu itu selalu bisa membuatku tertawa. Apa lagi ketika kamu tersenyum dan tertawa. Hahaha..” aku tertawa.

“Anjir.. kamu yah. Gebloh gimana sih?” dia mengacungkan kepalan tangannya dan mengarahkannya padaku.

“Hahaha.. contoh ketika kamu tersenyum dan tertawa seperti barusan.”

“Tersenyum dan tertawa gimana? Coba kamu sepertikan.” tersenyum lagi.

“Gak, ah.” jawabku karena aku tidak bisa menyepertikannya.

“Ayo.” suruhnya.

“Gak.”

“Ayo.”

“Gak.”

“Ayo ih, sepertikan.” dia memaksaku.

“Aku gak bisa.” karena aku memang gak bisa menyepertikannya.

Lama kami bercerita tentang cerita kami berdua. Tentang pernahnya aku berhenti mengkonsumsi alkohol, obat-obatan, dan juga cimeng. Tapi aku kembali minum, namun tidak dengan obat-obatan dan cimeng.

Sambil menghisap rokok dia berkata padaku, Entar juga ada waktunya kita berhenti dan bertaubat.”

Aku tak menjawabnya. Lalu kami menyudahi pembicaraan, merokok dan ngopi kami. Bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat kami berdua berfoto terlebih dahulu dengan Vespaku. Dia menyebut Vespaku dengan sebutan ‘VEBEU’ (Vespa Beureum). Memasuki terowongan yang tak jauh dari tempat peristirahatan kami pun berfoto ria lagi. Tak ada salahnya bukan mengabadikan sesuatu yang kita lakukan dan alami, bisa saja itu adalah hal yang terakhir kita lakukan dan alami.

Sekitar kurang lebih dua jam kemudian aku sudah sampai di Bandung. Kemacetan mulai kami jumpai. Udara yang panas mulai membuatku tak nyaman. Bandung tengah hari begitu menyebalkan. Kami akan beristirahat di kontarakan teman SMA-ku, dan sekarang juga masih menjadi temanku. Namanya adalah Viki. Sebelum ke kontrakannya kami mampir dulu ke ITENAS, kampus Viki. Tapi waktu sudah memasuki waktu Dzuhur dia mengajakku untuk pergi ke Mesjid, untuk melaksanakan kewajiban kami sebagai seorang Muslim. Lalu kami pergi ke Mesjid yang tak dekat dengan kontrakan Viki, temanku. Betapa malunya aku, seharusnya seorang laki-laki lah yang mengajak seorang perempuan untuk beribadah.

“Walaupun aku gak pake jilabab, tapi setidaknya aku harus membawa mukena untuk peralatan Sholat, sebuah kewajiban sebagai seorang Muslim atau Muslimah.”

Aku hanya tersenyum menjawabnya. Kesalehan seseorang memang tidak hanya bisa diukur dari tampilan mulut, tulisan dan apalagi pakaian. Sementara dia mengambil air wudhu aku menjaga perbekalan kami. Dan aku mendapatkan SMS dari Viki untuk pergi dulu ke kampusnya.

“Tunggu sebentar ya, Ren, aku pergi dulu ke ITENAS, tolong jagain dulu perbekalan kita ya.” pintaku pada si Rona Damai.

“Ok.”

Tanpa pikir panjang aku langsung melesat ke ITENAS dengan vespaku yang bersuara cempreng. Hanya membutuhkan waktu sekitar tiga menit karena jaraknya tak jauh. Kulihat Viki sedang duduk termangu dan membisu di depan gerbang kampus dengan Smartphone dalam genggamannya. Aku pun menghampirinya.

“Woy, Ki” aku menyapanya.

Kami berdua bersalaman seperti seorang teman yang sudah lama tak bertemu. Padahal ketika kami berdua masih SMA, pertemanan kami berdua tak dekat. Bahkan kami berdua jarang saling menyapa.

“Kamu ke kontarakan aku duluan ya, aku mau masuk dulu sebentar. Entar aku nyusul” dia menyuruhku untuk duluan, mungkin dia akan meminta izin terlebih dahulu.

Aku kembali ke Mesjid. Si Rona Damai masih terpaku ngahuleng. Aku menyuruhnya Sholat duluan. Bergantian menjaga barang-barang kami berdua. Tak lama kemudian Viki datang dan mengajak kami berdua untuk segera pergi ke kontarkannya.

“Maaf ya berantankan, maklum, ini lah kehidupan seorang anak kontarkan. Hehe..” sapa Viki meminta maaf karena kontrakannya yang agak berantakan.

Memang agak berantakan sih. Tapi tak separah kamarku. Bahan-bahan pengerjaan tugas berserak. Satu kotak ilusi berdiri angkuh. Gelas bekas minum. Kertas. Alat-alat untuk melukis. Udara di kontrakannya lumayan sejuk. Untunglah Bandung belum seperti Jakarta. Kami berdua melepas sepatu kami. Duduk dan meletakan perbekalan kami. Si Rona Damai masih sungkan. Viki menjamu nya dengan segelas air putih. Aku menyalakan sebatang rokok.

“Eh maaf lupa, ari si Teteh dipasihan eueut ari si Gema heunteu. Hehe.” si Teteh di sini maksudnya adalah si Rona Damai. Mungkin Viki berpikir kalau si Rona Damai itu lebih tua darinya, padahal seangkatan.

“Udah, Ki, gak usah. Aku bawa minumku kok.” jawabku gak perlu.

Kutawari sang Rona Damai rokok. Sepertinya dia masih malu-malu. Tapi tak lama kemudian diameracuni parunya dengan nikotin.

“Aku juga bawa, kok.” jelasnya kalau dia juga membawa rokok.

Kami bertiga lama berbincang-bincang tentang tentang perjalanan aku dan Rona Damai. Tentang kuliah kami. Tugas yang menyebalkan. Kampus kami. Dan lainnya. Dan sepertinya aku dan Rona Damai mulai dihinggapi oleh rasa kantuk. Kami berdua pun memutuskan untuk tidur di kamar yang telah disediakan oleh Viki. Kami lelah.

Jam tiga sore Viki membangunkanku. Aku pun pergi ke ruang tengah. Sang Rona Damai sudah bangun duluan dan menyeduh segelas kopi yang dibelinya dari warung sebelah.

“Kopi siapa nih? Aku minta ya?” tanyaku.

“Punyaku. Barusan aku beli dari warung. Silahkan.” Rona Damai mempersilahkan.

Ternyata dia adalah pecinta kopi juga. Kucium bau kopinya. Good Day. Kau tahu? Menurutku keadaan yang paling enak untuk merokok dan ngopi adalah ketika bangun tidur dan belum sibeungeut. Ketika pikiran kita belum terjaga sepenuhnya. Ketika mata kita belum terbuka sepenuhnya. Ketika otak masih melayang terbang bebas. Hhhhh. Menghembuskan beban. Meracuni paru yang kadang nyeri dan batuk. Untung lah jantung dan paruku masih bisa meredam efek dari kopi dan rokok.

Sebelum berangkat ke Padepokan Seni Mayang Sunda kami bertiga makan terlebih dahulu. Viki memasak Mie yang dicampur dengan telur. Aku dan Rona Damai hanya diam menikmati kopi dan rokok.

“Ren, bantuan ih si Viki. Kamu kan perempuan.” aku mnyuruhnya untuk membantu Viki memasak.

“Aku gak bisa masak ih.”

“Bantuin dia mempersiapkan piringnya aja atuh, Ren.” suruhku sambil mengajaknya ke dapur.

“Ini, Ki, dibantuin sama Rena, tapi katanya makanannya takut keracunan. Haha...” aku tertawa bercanda.

“Idih. Ini, Ki, katanya Gema mau belajar masak.” dia membalasku.

“Yee. harusnya kan kamu. Tuh liatin. Ini adalah pelajaran buat entar berrumah tangga.” aku tak mau kalah.

“Hahaha. Iya bener, Gema.” Viki memihak padaku.

Dan sang Rona Damai diam tak membalas seranganku. Kami bertiga makan di ruang tengah. Di depan TV. Si Rona Damai mempersiapkan piringnya.

“Dingin….” Rona Damai mengekspresikan rasanya.

“Sini pindah duduknya di atas karpet.”

“Udah ah di sini aja, Gak papa kok.”

“Sini ah entar malah sakit lagi.” aku memaksanya.

Kami bertiga pun makan. Merokok. Aku langsung mandi. Dan Rona Damai dan Viki tak mandi terlebih dahulu karena udara yang dingin. Kami siap berangkat ke Padepokan Seni Mayang Sunda untuk menyaksikan Sunyaruri. Sekitar pukul lima sore lebih kami berangkat.

Tuhan menghiasi perjalanan kami dengan hujan gerimis. Senja tak berjingga, terbunuh oleh para bala tentara awan hitam yang berperang dengan segenggam petir terhunus tajam. Jalanan kota Bandung macet oleh orang-orang yang baru pulang setelah seharian menghamba pada uang  dari tuan kapitalis. Aku menyempil diantara kendaraan lainnya. Menunggu lampu merah menjadi kuning, lalu hijau. Tak lama kemudian berkat bantuan GPS di handphone-ku aku pun sampai di Padepokan Seni Mayang Sunda.

Orang-orang sudah mulai ramai memenuhi padepokan. Dari mulai anak-anak sampai orang tua ada di sini untuk menyaksikan Sunyaruri. Aku tak perlu menceritakan bagaimana acara ini berlangsung. Pokoknya seru pisan deh. Yang gak dateng pasti nyesel :p

Sekitar jam sebelas lebih kami pulang ke kontarkan Viki. Tadinya aku dan Rona Damai mau langsung pulang ke Tasikmalaya tapi Viki tak mengizinkan kami berdua. Dia khawatir takut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan kepada kami berdua. Aku mengiyakannya. Malam ini aku dan Rona Damai akan menginap di kontrakan Viki.

Sekitar dua puluh menit kami diperjalanan akhirnya sampai juga di kontrakan Viki. Sebelum ke kontrakannya aku mampir dulu ke warung untuk membeli sekaleng beer tanpa alkohol, kopi, dan juga sebungkus rokok. Hhhhh. Malam ini lumayan melelahkan juga. Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku tak pernah menyangka, malam ini, aku, Rona Damai dan Viki akan sedekat ini. Viki langsung beranjak tidur karena rasa lelah dan kantuk, dan juga besok dia ada jadwal kuliah pagi. Tidak dengan aku dan Rona Damai. Aku menyuruhnya untuk menyeduh tiga bungkus kopi yang aku beli tadi.

“Aku tidur duluan ya. Entar kalau mau tidur masuk aja ke kamar. Tapi Gema tidurnya dibawah ya, jangan tidur di atas, entar takut terjadi sesuatu. Haha..” suruh Viki kepadaku dan Rona Damai.

“Siap, Ki. Santai we..” jawabku.

Kami berdua memang pecinta kopi dan malam. Begitu nyamannya keheningan malam menghibur telinga kami. Tak banyak bicara. Mulut kami lebih sering digunakan untuk menghisap rokok dan meneguk kopi. Aku memutar lagu menyejukkan dari handphone miliknya. Aku tak menyangka malam ini aku akan terjebak berdua bersama wanita yang pernah aku benci lalu membuatku tertarik hanya karena sebuah jawaban. Jarum jam menunjukan pukul setengah dua pagi. Kami masih terjaga menikmati sisa-sisa malam menuju sekarat.

Masih tak banyak yang kami bicarakan. Kami hanya mendengarkan musik, menikmati nikotin dan kafein, juga berfoto ria. Aku tak bisa bergaya ataupun narsis di depan kamera. Kami berdua bergaya dengan gaya kami masing-masing. Awalnya dia malu-malu untuk difoto sambil merokok, tapi dia bisa menendang jauh-jauh rasa malu itu. Buat apa malu, bukankah kau pernah berkata ‘melakukan apapun yang saya suka dan membuat saya bahagia itu baru namanya hidup’.

“Repeh nya, Gem, ulah dibeja-beja ka batur.” dia memperingatkanku.

“Kalem we. Saya mah bukan orang  seperti itu.” jawabku.

Sesekali kami berdua berkata,

“Duh wajah!” dia berkata sambil melihat hasil jepretan foto di kamera.

Beungeut!” aku menambahkan.

Kami kembali terjebak pada kebuntuan komunikasi. Lama terjebak dalam hening dengan mulut membisu.

“Kamu tidur duluan gih, besok kan kamu bawa motor. Entar malah kenapa-kenapa lagi.” suruhnya padaku.

“Iya bentar. Sebatang lagi. Kalo besok aku lelah bawa motor gantian aja, kamu bawa motor.” jawabku bercanda.

“Hahaha.. aku ga bisa bawa Vespa.”

Sebatang rokok terakhir sebelum terlelap sudah habis. Aku beranjak menuju kamar.

“Aku tidur duluan ya. Kamu juga cepet tidur. Jangan terlalu malam.” sambil berjalan menuju kamar aku menegurnya.

Malam kembali meracuniku dengan serbuk insomnianya. Banyak sekali hal yang aku pikirkan. Aku terpejam dengan satu mata terbuka. Sebenarnya apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Perasaan sakit, gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Perasaan yang namanya suka, cinta, kasih sayang? Bukankah dengan berlalunya waktu semua itu seperti cawan kosong yang berdebu. Hanya seperti itu, begitu-begitu saja, tidak istimewa. Apa itu musuh, pertemanan, sahabat, pacar, dan pernikahan? Apa aku harus menjaga perasaanku dari sang waktu? Atau aku harus menyerahkan semuanya pada yang namanya takdir. Aku tak pernah ingin jatuh cinta, bahkan aku benci pada yang namanya jatuh cinta. Pikiranku hanya habis dipakai untuk memikirkan cinta yang tak pernah pasti. Aku tak memilih apa pun, bukankah ini hanyalah sebuah takdir? Bukankah cinta adalah sebuah anugerah? Atau mungkin sebuah kutukan yang menjelma menjadi sebuah kebencian?

Mungkin kah aku telah jatuh cinta pada seseorang yang pernah aku benci dan ingin aku bunuh? Pada seorang wanita yang dulu bagiku hanya seperti orang bodoh, manja dan konyol? Apa semua ini hanya karena sebuah jawaban yang menghantarkanku lebih dekat pada sebuah jawaban hakiki? Atau apakah karena ada sesuatu yang lain yang tidak aku ketahui? Oh Rona Damai, tetaplah diam di tempatmu. Jangan sampai kau memasuki kegelapanku yang dipenuhi dengan kebencian, yang kemudian kau akan diselimuti dengan kehampaan.

Apakah malam ini aku harus bilang ‘Aku cinta kepadamu. Aku tidak mengharapkan apa pun darimu. Tidak, aku tidak mengharapkan jawaban apa pun. Aku menginginkanmu. Itu benar. Aku teramat menginginkanmu. Maksudku dalam artian positif. Menginginkanmu menjadi teman hidupku. Melalui hari demi hari bersama-sama. Menjejak sudut-sudut kebahagiaan dan mungkin juga pahit getir kehidupan. Tapi aku tidak mengharapkanmu. Aku bersiap melepas  semua perasaan ini kalau kau sebaliknya ternyata tidak menginginkannya, melupakannya meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya, mungkin tidak akan pernah bisa. Kau berhak memutuskan apa yang akan kau tentukan malam ini. Tentu saja, maksudku menentukan nasibku. Aku….. Aku menciantimu’. Apa aku harus bilang seperti itu kepadanya? Dengan metafora-metafora lisan omong kosong. Cinta lebih indah jika cinta sendiri lah yang berbicara, bukan perkataan yang disertai dengan puisi-puisi indah. Dan laki-laki yang luar biasa adalah dia yang membuktikan cinta, dalam kesetiaan, kebahagiaan dan juga kepahitan karena dalam hidup ini tidak hanya ada kebahagiaan, bukan dia yang menyatakan cinta.

Jika memang cinta adalah sebuah anugerah, aku tak akan membuang anugerah ini. Aku akan membiarkannya tumbuh dan menghiasi ruang gelap itu. Biarkan lah waktu dan takdir yang akan mengurusnya. Apakah dia akan terus tumbuh hingga ruhku tak lagi berada dalam raga ini dan Tuhan menulis selembar surat yang mempertemukan dua lembar surat. Dan jika memang cinta itu adalah sebuah kutukan yang menjelma menjadi sebuah kebencian, aku tak akan pernah menyatakan cinta ini padanya. Aku tak akan pernah mau merajut sebuah hubungan yang bernama pacar ataupun pacaran yang jika ada sebuah permasalahan, pertentangan, dan akhirnya hubungan itu patah maka malah akan melahirkan sebuah kebencian. Bukankah tak sedikit orang yang pacaran lalu putus kemudian mereka malah bermusuhan. Bilang mantan itu sampah dan lainnya. Aku tak ingin menjadi orang serendah seperti itu. Lagi pula aku tak ingin menghancurkan cerita pertemanan kami yang baru berjalan sebentar. Dan aku memang tak panatas untuknya. Aku lebih memilih untuk merajut sebuah pertalian yang bernama sahabat. Seorang sahabat yang bertengkar tak akan lama dan akan saling meminta maaf, mengakui kesalahan masing-masing, tak ada yang ditutup-tutupi. Sebuah cinta dalam sebuah persahabatan lebih agung dari sebuah cinta yang tumbuh dalam sebuah hubungan yang bernama pacaran. Oh, Gema, ayolah hidup ini bkan hanya tentang cinta.

Aku tersadar jam setengah lima pagi. Viki dan Rona Damai masih terlelap tidur. Menyalakan sebatang rokok, meneguk segelas kopi sisa semalam. Setelah rokok yang kucapit dengan dua jariku habis aku lekas mandi walau suhu uadara pagi ini sangat dingin.

Rona damai sudah berada di ruang tengah dengan ditemani asap nikotin. Dengan wajahnya yang baru bangun tidur dai terlihat seperti orang yang setres.

“Kita berangkat jam berapa, Gem?”

“Jam enam aja ya, biar ga terlalu macet.”

Viki pun terbangun dan langsung mengerjakan tugasnya yang harus dikumpulkan hari ini. Rona Damai beranjak untuk mandi.

Kami berdua sudah siap untuk berangkat pulang. Pamitan kepada Viki. Menghidupkan si Vebeu dan melesat pulang sambil mencari sabu di pinggir jalan. Kami sarapan bubur dulu di daerah Cicaheum. Setelah perut kami berdua terisi dan sebatang rokok kuhabiskan kami berdua melanjutkan perjalanan pulang.

Seperti perjalanan sebelumnya, sepanjang perjalanan kami berdua tak banyak bicara, basa-basi ini dan itu yang sebenarnya tak penting dan tak kupedulikan. Kami hanya terdiam membisu menikmati perjalanan yang kadang menyebalkan dan juga dihiasi oleh hampirnya kami berdua kecelakaan.

Di pompa bensin di daerah sebelum Ciawi kami berdua bersitirahat dulu. Bokong kami berdua sudah terasa pegal. Tanganku juga sudah pegal. Aku memesan dua gelas kopi. Membeli sebotol air mineral. Kukeluarkan sebungkus rokok filter dari tasku. Kutawari dia rokok. Kopi dan nikotin ini bisa membuat pikiran kami tenang. Menghembuskan beban.

“Kamu sama Viki teman dekat sejak SMA ya, Gem?” dia memulai pembicaraan.

“Enggak. Malah ketika SMA aku sam dia jarang bicara, jarang sling sapa.” jelasku singkat.

“Baru kali ini aku mempunyai teman seorang wanita sedekat ini, seperti kamu. Bahkan aku begitu jujur kepadamu, tak ada yang ditutup-tutupi. Biasanya juka kepada wanita banyak yang aku tutup-tutupi. Seperti ketika aku suka mabuk dan make, tentang ini (aku menunjukan tanganku), dan tentang kekuranganku yang lainnya.” jawabku panjang dan gak lebar.

“Sepertiku gimana? Gublah-gebloh? Hah?” sambil tersenyum dan mengacungkan kepalan tangan ke arah wajahku.

“Hahaha..” aku hanya tertawa.

“Baru kali ini loh aku pergi jarak jauh naik Vespa. Hehe. Gak mogok lagi. Kuat juga ini Vespa yaa.”

“Ke Jakarta juga dulu gak mogok. Kondisi paling parahnya sih kemarin waktu malam minggu. Basa eta gening, anu ajlok-ajlokan. Haha..”

Percakapan kami mulai kerap. Tentang teman. Tentang komunitas Vespa. Tentang tempat-tempat yang ingin kami kunjungi.

“Saya kasih kesempatan satu batang lagi, lalu kita pulang” aku memberikannya sebatang rokok.

Sebelum beranjak pulang. aku melihat tulisan di belakangnya, “TERIMA PIJAT”.

“Terima pijat ya, Bi?” aku bercanda, bertanya padanya sambil menunjunk tulisan yang ada di belakangnya.

“Iya. Sini mau dipijat.” jawabnya dengan tersenyum.

“Pijat my ass.” candaku.

Anjir.. goblog..”

Sejak di rumah Viki kami berdua sudah tak sungkan untuk bercanda.

Kami melanjutkan perjalanan perjalanan. Aku terpaksa menghidupkan Vespaku dengan star jongklok.

Di daerah Rajapolah aku bertanya sesuatu kepadanya,

“Kamu takut mati gak, Ren?” tanyaku sambil tersenyum.

“Hah, takut mati? Emangnya kenapa, kok bertanya seperti itu?”

“Yaaa aku takut kita kecelakaan. Soalnya dari kemarin kan kita sering hampir kecelakaan. Kalau kita kecelakaan kamu takut kati gak?”

“Emhh.. Takut.. Gak, aku gak takut. Hahaha..” masih dengan senyumnya yang keliatan seperti orang gebloh.

“Haha..” aku tersenyum lega.

Memasuki wilayah mitrabatik aku mulai senang. Aku sudah lelah dan ingin segera tidur pulas. Dan sialnya Vespaku malah mogok. Entah apa sebabnya. Munkgin sil-nya yang rusak lagi. Lama aku membongkar bagian mesin yang kutahu. Busi dan spuyer-nya sudah aku bongkar. Tapi tetap dia tak mau hidup. Rona Damai hanya termangu, mungkin dia sudah lelah. Tak lama kemudian Vespaku hidup lagi. Namun tak memiliki tenaga untuk mengangkut kami berdua.

“Gimana sekarang, Ren?”

“Dorong aja, Gem.”

“Dorong gimana? Mau dorong sampai mana? Sampai Cibeber?”

“Hah.. Iya. Haha..”

“Ayo tapi kamu yang dorong.”

“Ayo…”

“Ya udah turun.”

“Ayo..”

“Turun!” nadaku tinggi seperti orang serius.

“Ini serius?” tanyanya.

“Hahaha gak lah.”

Kami berdua berhenti dulu. Mengecek kembali bagian mesin yang kutahu. Kucoba melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh temanku. Tapi tetap tak hidup.

“Kalau kamu mau pulang duluan, pulang aja, Ren, naik angkot. Entar takut lama lagi. Aku gak papa kok.” suruhku karena aku kasian padanya.

“Gak ah. Masa aku ninggalin kamu sendirian di sini. Gak.” jawabnya tidak mau.

“Sepahit apa pun perjalanan ini nikmatilah. Seperti yang kamu bilang, Ren, sepahit apapun wine yang kamu minum, nikmatilah. Hehe.” aku tersenyum.

Aku sudah mulai resah dan rudet. Aku sudah menelepon temanku. Memebeli minum. Tiduran di trotoar pinggir jalan seperti gembel. Hhhhh. Beberapa kali aku menyuruhnya untuk pulang duluan tapi dia tetap tidak mau. Wanita ini benar-benar keras kepala. Dan juga tak gengsi.

Aku kembali mencoba mengutak-atik mesin tua motorku. Mencoba menghidupkannya dengan star jongklok.

“Ayo.. Gema.. Gema..” dia menyemangatiku layaknya seperti seorang chirlider (gimana ya nulisnya?) yang sedang menyemangati timnya main basket.

Inilah yang namanya teman.

Dan tak lama kemudian akhirnya Vespaku hidup kembali.

“Ren, ternyata benar apa yang tertulis dalam Al-Qur’an, jika kita berusaha Alloh akan memberikan kita jalan.”

“Hore.. Gema bersabda.”

“Haha..”

Walau dengan kondisi yang tak normal. Tapi setidaknya tenaganya lebih besar, sedikit. Kami melanjutkan kembali perjalanan kami. Mogok lagi. Hidup lagi. Perjalanan kami tak semulus paha para personil cerrybell dan juga jkt48. Segini juga sudah untung.

“Keresekan wajah, Ren, kalau kamu malu mah. Hahaha.”

“Aku mau gini aja (dia menutup mata kanannya dengan dua jari tangannya). Hehe” masih tersenyum.

Sebelum pergi ke rumahnya kami berdua pergi dulu ke kampus untuk membawa helem yang dia simpan di kampus.

“Kamu pulang duluan aja ya, biar kamu cepet istirahat. Entar aku biar pulang naik angkot.” suruhnya.

Aku langsung melesat menuju rumah. Oh kasur bututku aku rindu membuat pulau di atasmu. Saking tak kuatnya aku ingin cepat-cepat sampai rumah, aku menerobos lampu merah. Dan sialnya ada sebuah mobil truk besar yang mengangkut pasir dengan kecepatan tinggi melaju ke arahku menghantamku dan si Vebeu. Dan seketika itu pula aku mati dengan kondisi jasad tak bernyawa yang sangat mengenaskan.