Kuhidupkan motor tuaku setelah
empat hari dioperasi dan dirawat di rumah mogok. Semua perbekalan sudah siap.
Aku memakai pakian seadanya layaknya seorang manusia biasa yang membenci
kehidupan hedonis. Hari ini aku kan kembali berangkat ke Kota Kembang untuk
menyaksikan malam perilisan Buku, CD, DVD dan Merchendise official lainnya dari Risa Saraswati dan Bandnya yang
bernama Sarasvati. Suara cempreng Vespa merahku memecah pagi di kampungku yang
masih hening. Aku pamit kepada kedua orang tuaku untuk berangkat. Aku tak
bilang hari ini aku akan ke Bandung.
Gigi perseneleng dari netral
beralih ke gigi satu. Menyusuri jalanan kampung yang berlubang yang katanya mau
dibangun ulang tapi sampai sekarang belum terlihat adanya proyek yang berjalan.
Ban Vespaku mulai berputar menginjak jalanan hotmik. Keluar dari kampung menuju kampusku yang berada kota
Tasikmalaya yang katanya Kota Santri tapi tidak sesuai dengan realita dan fakta
yang ada untuk menjemput seseorang terlebih dahulu. Kami berdua janjian akan
bertemu di kampus. Dan delapan belas menit kemudian aku dan motor tuaku sudah
berada di depan kampus. Sudah sejak seminggu yang lalu kami berdua merencanakan
akan menghadiri acara Sunyaruri. Namanya adalah Rona Damai.
Dia adalah seorang perempuan
yang berbeda dari ribuan permpuan yang pernah aku temui di bumi tua yang sudah
diinjak oleh zaman yang gila ini. Tingginya hampir sepadan denganku. Berkulit
putih. Rambut sebahu agak ikal. Dan mata yang tak bisa aku selami. Sudah beberapa
kali aku mencoba menyelami matanya, tapi aku tak menemukan apa-apa. Semuanya
begitu gelap dan hening. Entah pandanganku yang terlalu buta dan telingaku yang
terlalu tuli, atau dia lah yang terlalu spesial. Kami berdua jarang bicara satu
sama lain. Dia berpakian seadanya layaknya mau menempuh perjalanan jauh. Tanpa
ebel-ebel penghias wajah yang tebal yang menodai kemurnian wajah seorang gadis.
Darimana aku tahu dia masih gadis? Ah, aku tak peduli dia masih gadis atau
bukan. Entah sejak kapan dia menarik ketertarikanku. Caranya menyikapi hidup
brengsek yang kadang absurd ini membuatku tertarik.
Setelah salaman dan
mempersiapkan pemberangkatan kami langsung melesat menuju Bandung. Bergetar di
atas jok Vespaku yang kemarin baru saja aku ganti karena sudah rusak parah.
Menyempil diantara kendaraan bermuatan berat yang menyemburkan asap polutan
hitam. Untunglah kami berdua mengenakan masker.
“Maaf ya, aku lupa bawa buku
‘Filsafat Sastra’ milikmu.” dia lupa mengembalikan bukuku yang dia pinjam dulu.
“Iya, tidak apa-apa. Santei we.” jawabku, tak masalah.
Sepanjang perjalanan kami
berdua tak banyak bicara, basa-basi ini dan itu yang sebenarnya tak penting dan
yang tak kupedulikan. Kami hanya terdiam membisu menikmati perjalanan yang
kadang menyebalkan dan juga dihiasi oleh kekocakan ketika kami berdua dimarahi
oleh seorang bapak-bapak yang tersingkirkan ke pinggir jalan ketika aku
menyusul sebuah bus. Aku tertawa dalam hati.
“Kamu mendengarkan musik gak?”
tanyaku padanya.
“Enggak.” jawabnya pendek.
“Kalo jenuh dengarkan musik
aja. Kamu bawa Headset gak?”
“Enggak. Gak papa kok.”
“Ya udah.”
Bukan aku tak ingin
meminjamkannya Headset-ku tapi aku
juga sedang asik mendengarkan musik. Setidaknya musik bisa meredam hal-hal yang
menyebalkan yang kutemui di perjalanan.
Hari ini ada razia yang
dilakukan oleh para polisi di daerah Lewo. Dan beruntungnya aku mempunyai STNK
dan SIM sehingga membuatku tak perlu mengeluarkan. Memasuki Lingkar Nagreg
sepeti biasa aku selalu menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak. Menenangkan
diri. Mengistirahatkan motor tuaku. Dan kami juga mengistirahatkan bokong kami
yang sudah merasakan pegal akibat jok motorku yang agak sedikit keras dan juga
mungkin getarannya berpengaruh.
“Kamu mau kopi gak?”
“Mau.” Ah, ternyata dia juga
suka kopi.
Aku memesan dua gelas kopi.
Duduk di bangku yang dilengkapi meja yang sudah disediakan oleh pemilik warung.
Kutawari dia rokok.
“Mau rokok?”
“Mau. Hehe.” Sambil tersenyum
dia mengambil sebatang rokok.
Aku kaget dan tak menyangka.
Satu persatu kegelapan itu mulai menunjukkan terangnya. Awalnya aku hanya
bercanda menawarkan dia rokok, tapi ternyata dia juga suka merokok. Tapi dia
tidak terlalu kecanduan sepertiku.
“Haaah. Kamu juga suka
merokok?” tanyaku kaget.
“Hehe. Iya. Emang kenapa? Kamu
kaget ya?” jawabnya sambil menghisap sebatang rokok.
“Iya. Haha. Aku tak menyangka.
Sejak kapan kamu suka merokok?”
“Emmmhh. Kapan yah, aku lupa.
Hehe..” dia tersenyum dengan gaya yang bagiku terlihat seperti orang bodoh dan
konyol.
“Eh, Ren, kamu orang yang
egois ya?” aku bertanya santai walau sebenarnya ini serius.
“Egois? Emang kenapa?”
tanyanya heran.
“Kamu kan pernah bilang
‘Melakukan apa yang saya suka dan membuatku bahagia itu baru namanya hidup’,
berarti kamu egois dong?”
“Emmhh. Enggak juga ah. Tapi
kalau dibilang egois iya juga sih, dikit. Hehe. Orang lain kan gak tahu gimana
dan apa yang kita rasain dalam hidup ini, jadi lakukan aja apa yang kamu suka
dan membuatmu bahagia. Mereka gak tahu seperti apa rasanya hidup kita.”
jawabnya sudah mulai agak serius.
“Tapi kita juga harus
memperhatikan orang-orang disekitar kita, kita jangan sampai menjadi orang yang
egois.”
“Tapi rata-rata orang yang ska
musik itu egois ya, Gem?” tanyanya.
“Enggak juga. Banyak yang
enggak egois. Salah satunya komunitas musik Ujung Berung Rebel yang sampai saat
ini masih hidup dan berkembang. Mereka saling peduli satu sama lain. Mereka
juga tak apatis terhadap kehidupan ini.” jelasku.
“Oh, gitu ya.”
“Ren, dulu aku pernah
membencimu loh…” mulai serius lagi.
“Loh, benci kenapa?” tanyanya
penasaran.
“Kamu dulu suka liatin dan
memperhatikanku yah?” aku menatapnya. Aku hanya berpikir dan merasa bahwa dulu
dia suka memperhatikan dan melihatku karena fisikku yang aneh. Aku hanya ingin tahu
dan menjelaskannya. Agar tak jadi sebuah beban untukku. Aku tak pernah
sedikitpun berpikir kalau dia suka padaku. Tak pernah. Yang ada dalam pikiranku
dia hanyalah aneh melihatku. Melihat raga yang diberikan Tuhan untuk ruhku
berinteraksi dengan dunia fana ini, tapi raga yang diberikan-Nya tak memenuhi
standarisasi normal bodoh yang telah dibukukan oleh para manusia. Bahkan dulu
aku membencinya. Dan seketika itu pula aku ingin membunuhnya. Dari dulu aku
ingin membunuh semua orang yang menatapku aneh. Aku ingin menghancurkan dunia
ini beserta semua isinya.
“Enggak ih. Haha. Kamu geer.”
tangannya menunjukku sambil berseri dengan senyumnya yang kelihatan seperti
orang gublah-gebloh.
Lalu aku menunjukan tangan
keriput kurusku yang menampakkan tulang belulang penyanggah daging dan kulitku
yang memiliki kelainan kromosom dan agak bersisik atau megar. Mengacungkan
tanganku dihadapan wajahnya. Dan aku menatap matanya. Aku mencoba mencari tahu
apa yang ada dalam matanya. Tak bisa. Lagi-lagi hanya kegelapan akal.
“Kamu aneh kan melihatku?”
tanyaku serius.
“Enggak ih…” jawabnya seperti
orang yang ragu.
Aku memandang perbukitan yang
ada di depanku.
“Iya juga sih.” sambungnya.
“Hhhhh.. Aku tahu itu. Itu
wajar bagiku.”
Setelah pembicaraan serius itu
kami berdua bersua tentang masa lalu kami.
“Kamu suka mabuk ya, Ren, atau
pernah mungkin?” tanyaku.
“Iya sih pernah. Hehe.”
“Pernah sampai mabuk parah
gak, sampai tumbeng gitu?”
“Pernah.”
Hhhhh.. Aku menraik nafas
dalam. Tersenyum.
“Kenapa kamu tersenyum?”
tanyanya.
“Gak, kok. Aku ingin tertawa aja
jika melihat seorang perempuan mabuk parah sampai tumbang. Haha..” jawabku
sembari tertawa kecil.
““Kamu tahu aku suka minum
waktu malam minggu dulu ya?” tanyaku karena dia tahu aku suka minum ketika dia
berkata ‘Nikmati aja hidup ini. Seperti ketika kamu minum Wine. Rasanya pait
kan, tapi kamu menikmatinya kan’.
“Hehe, iya. Kamu udah
persiapan dari Manonjaya yah. Haha.”
“Ren.. Ren.. dulu ketika
pertama kali aku melihatmu aku pikir kamu itu adalah seorang wanita gebloh dan juga manja. Habis kelakuanmu
itu selalu bisa membuatku tertawa. Apa lagi ketika kamu tersenyum dan tertawa.
Hahaha..” aku tertawa.
“Anjir.. kamu yah. Gebloh gimana sih?” dia mengacungkan
kepalan tangannya dan mengarahkannya padaku.
“Hahaha.. contoh ketika kamu
tersenyum dan tertawa seperti barusan.”
“Tersenyum dan tertawa gimana?
Coba kamu sepertikan.” tersenyum lagi.
“Gak, ah.” jawabku karena aku
tidak bisa menyepertikannya.
“Ayo.” suruhnya.
“Gak.”
“Ayo.”
“Gak.”
“Ayo ih, sepertikan.” dia memaksaku.
“Aku gak bisa.” karena aku
memang gak bisa menyepertikannya.
Lama kami bercerita tentang
cerita kami berdua. Tentang pernahnya aku berhenti mengkonsumsi alkohol,
obat-obatan, dan juga cimeng. Tapi
aku kembali minum, namun tidak dengan obat-obatan dan cimeng.
Sambil menghisap rokok dia
berkata padaku, “Entar juga ada
waktunya kita berhenti dan bertaubat.”
Aku tak menjawabnya. Lalu kami
menyudahi pembicaraan, merokok dan ngopi kami. Bersiap untuk melanjutkan
perjalanan. Sebelum berangkat kami berdua berfoto terlebih dahulu dengan
Vespaku. Dia menyebut Vespaku dengan sebutan ‘VEBEU’ (Vespa Beureum). Memasuki
terowongan yang tak jauh dari tempat peristirahatan kami pun berfoto ria lagi.
Tak ada salahnya bukan mengabadikan sesuatu yang kita lakukan dan alami, bisa
saja itu adalah hal yang terakhir kita lakukan dan alami.
Sekitar kurang lebih dua jam
kemudian aku sudah sampai di Bandung. Kemacetan mulai kami jumpai. Udara yang
panas mulai membuatku tak nyaman. Bandung tengah hari begitu menyebalkan. Kami
akan beristirahat di kontarakan teman SMA-ku, dan sekarang juga masih menjadi
temanku. Namanya adalah Viki. Sebelum ke kontrakannya kami mampir dulu ke
ITENAS, kampus Viki. Tapi waktu sudah memasuki waktu Dzuhur dia mengajakku
untuk pergi ke Mesjid, untuk melaksanakan kewajiban kami sebagai seorang
Muslim. Lalu kami pergi ke Mesjid yang tak dekat dengan kontrakan Viki,
temanku. Betapa malunya aku, seharusnya seorang laki-laki lah yang mengajak
seorang perempuan untuk beribadah.
“Walaupun aku gak pake
jilabab, tapi setidaknya aku harus membawa mukena untuk peralatan Sholat,
sebuah kewajiban sebagai seorang Muslim atau Muslimah.”
Aku hanya tersenyum
menjawabnya. Kesalehan seseorang memang tidak hanya bisa diukur dari tampilan
mulut, tulisan dan apalagi pakaian. Sementara dia mengambil air wudhu aku
menjaga perbekalan kami. Dan aku mendapatkan SMS dari Viki untuk pergi dulu ke kampusnya.
“Tunggu sebentar ya, Ren, aku
pergi dulu ke ITENAS, tolong jagain dulu perbekalan kita ya.” pintaku pada si
Rona Damai.
“Ok.”
Tanpa pikir panjang aku
langsung melesat ke ITENAS dengan vespaku yang bersuara cempreng. Hanya
membutuhkan waktu sekitar tiga menit karena jaraknya tak jauh. Kulihat Viki
sedang duduk termangu dan membisu di depan gerbang kampus dengan Smartphone dalam genggamannya. Aku pun
menghampirinya.
“Woy, Ki” aku menyapanya.
Kami berdua bersalaman seperti
seorang teman yang sudah lama tak bertemu. Padahal ketika kami berdua masih
SMA, pertemanan kami berdua tak dekat. Bahkan kami berdua jarang saling
menyapa.
“Kamu ke kontarakan aku duluan
ya, aku mau masuk dulu sebentar. Entar aku nyusul” dia menyuruhku untuk duluan,
mungkin dia akan meminta izin terlebih dahulu.
Aku kembali ke Mesjid. Si Rona
Damai masih terpaku ngahuleng. Aku
menyuruhnya Sholat duluan. Bergantian menjaga barang-barang kami berdua. Tak
lama kemudian Viki datang dan mengajak kami berdua untuk segera pergi ke
kontarkannya.
“Maaf ya berantankan, maklum,
ini lah kehidupan seorang anak kontarkan. Hehe..” sapa Viki meminta maaf karena
kontrakannya yang agak berantakan.
Memang agak berantakan sih.
Tapi tak separah kamarku. Bahan-bahan pengerjaan tugas berserak. Satu kotak
ilusi berdiri angkuh. Gelas bekas minum. Kertas. Alat-alat untuk melukis. Udara
di kontrakannya lumayan sejuk. Untunglah Bandung belum seperti Jakarta. Kami
berdua melepas sepatu kami. Duduk dan meletakan perbekalan kami. Si Rona Damai
masih sungkan. Viki menjamu nya dengan segelas air putih. Aku menyalakan
sebatang rokok.
“Eh maaf lupa, ari si Teteh
dipasihan eueut ari si Gema heunteu. Hehe.” si Teteh di sini maksudnya adalah
si Rona Damai. Mungkin Viki berpikir kalau si Rona Damai itu lebih tua darinya,
padahal seangkatan.
“Udah, Ki, gak usah. Aku bawa
minumku kok.” jawabku gak perlu.
Kutawari sang Rona Damai
rokok. Sepertinya dia masih malu-malu. Tapi tak lama kemudian diameracuni
parunya dengan nikotin.
“Aku juga bawa, kok.” jelasnya
kalau dia juga membawa rokok.
Kami bertiga lama
berbincang-bincang tentang tentang perjalanan aku dan Rona Damai. Tentang
kuliah kami. Tugas yang menyebalkan. Kampus kami. Dan lainnya. Dan sepertinya
aku dan Rona Damai mulai dihinggapi oleh rasa kantuk. Kami berdua pun
memutuskan untuk tidur di kamar yang telah disediakan oleh Viki. Kami lelah.
Jam tiga sore Viki
membangunkanku. Aku pun pergi ke ruang tengah. Sang Rona Damai sudah bangun
duluan dan menyeduh segelas kopi yang dibelinya dari warung sebelah.
“Kopi siapa nih? Aku minta
ya?” tanyaku.
“Punyaku. Barusan aku beli
dari warung. Silahkan.” Rona Damai mempersilahkan.
Ternyata dia adalah pecinta
kopi juga. Kucium bau kopinya. Good Day. Kau
tahu? Menurutku keadaan yang paling enak untuk merokok dan ngopi adalah ketika
bangun tidur dan belum sibeungeut.
Ketika pikiran kita belum terjaga sepenuhnya. Ketika mata kita belum terbuka
sepenuhnya. Ketika otak masih melayang terbang bebas. Hhhhh. Menghembuskan
beban. Meracuni paru yang kadang nyeri dan batuk. Untung lah jantung dan paruku
masih bisa meredam efek dari kopi dan rokok.
Sebelum berangkat ke Padepokan
Seni Mayang Sunda kami bertiga makan terlebih dahulu. Viki memasak Mie yang
dicampur dengan telur. Aku dan Rona Damai hanya diam menikmati kopi dan rokok.
“Ren, bantuan ih si Viki. Kamu
kan perempuan.” aku mnyuruhnya untuk membantu Viki memasak.
“Aku gak bisa masak ih.”
“Bantuin dia mempersiapkan
piringnya aja atuh, Ren.” suruhku sambil mengajaknya ke dapur.
“Ini, Ki, dibantuin sama Rena,
tapi katanya makanannya takut keracunan. Haha...” aku tertawa bercanda.
“Idih. Ini, Ki, katanya Gema
mau belajar masak.” dia membalasku.
“Yee. harusnya kan kamu. Tuh
liatin. Ini adalah pelajaran buat entar berrumah tangga.” aku tak mau kalah.
“Hahaha. Iya bener, Gema.”
Viki memihak padaku.
Dan sang Rona Damai diam tak
membalas seranganku. Kami bertiga makan di ruang tengah. Di depan TV. Si Rona
Damai mempersiapkan piringnya.
“Dingin….” Rona Damai
mengekspresikan rasanya.
“Sini pindah duduknya di atas
karpet.”
“Udah ah di sini aja, Gak papa
kok.”
“Sini ah entar malah sakit
lagi.” aku memaksanya.
Kami bertiga pun makan.
Merokok. Aku langsung mandi. Dan Rona Damai dan Viki tak mandi terlebih dahulu
karena udara yang dingin. Kami siap berangkat ke Padepokan Seni Mayang Sunda
untuk menyaksikan Sunyaruri. Sekitar pukul lima sore lebih kami berangkat.
Tuhan menghiasi perjalanan
kami dengan hujan gerimis. Senja tak berjingga, terbunuh oleh para bala tentara
awan hitam yang berperang dengan segenggam petir terhunus tajam. Jalanan kota
Bandung macet oleh orang-orang yang baru pulang setelah seharian menghamba pada
uang dari tuan kapitalis. Aku menyempil
diantara kendaraan lainnya. Menunggu lampu merah menjadi kuning, lalu hijau. Tak
lama kemudian berkat bantuan GPS di
handphone-ku aku pun sampai di Padepokan Seni Mayang Sunda.
Orang-orang sudah mulai ramai
memenuhi padepokan. Dari mulai anak-anak sampai orang tua ada di sini untuk
menyaksikan Sunyaruri. Aku tak perlu menceritakan bagaimana acara ini berlangsung.
Pokoknya seru pisan deh. Yang gak dateng pasti nyesel :p
Sekitar jam sebelas lebih kami
pulang ke kontarkan Viki. Tadinya aku dan Rona Damai mau langsung pulang ke
Tasikmalaya tapi Viki tak mengizinkan kami berdua. Dia khawatir takut terjadi
sesuatu yang tidak diharapkan kepada kami berdua. Aku mengiyakannya. Malam ini
aku dan Rona Damai akan menginap di kontrakan Viki.
Sekitar dua puluh menit kami
diperjalanan akhirnya sampai juga di kontrakan Viki. Sebelum ke kontrakannya
aku mampir dulu ke warung untuk membeli sekaleng beer tanpa alkohol, kopi, dan
juga sebungkus rokok. Hhhhh. Malam ini lumayan melelahkan juga. Jarum jam
menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku tak pernah menyangka, malam
ini, aku, Rona Damai dan Viki akan sedekat ini. Viki langsung beranjak tidur
karena rasa lelah dan kantuk, dan juga besok dia ada jadwal kuliah pagi. Tidak
dengan aku dan Rona Damai. Aku menyuruhnya untuk menyeduh tiga bungkus kopi
yang aku beli tadi.
“Aku tidur duluan ya. Entar
kalau mau tidur masuk aja ke kamar. Tapi Gema tidurnya dibawah ya, jangan tidur
di atas, entar takut terjadi sesuatu. Haha..” suruh Viki kepadaku dan Rona
Damai.
“Siap, Ki. Santai we..”
jawabku.
Kami berdua memang pecinta
kopi dan malam. Begitu nyamannya keheningan malam menghibur telinga kami. Tak
banyak bicara. Mulut kami lebih sering digunakan untuk menghisap rokok dan
meneguk kopi. Aku memutar lagu menyejukkan dari handphone miliknya. Aku tak menyangka malam ini aku akan terjebak
berdua bersama wanita yang pernah aku benci lalu membuatku tertarik hanya
karena sebuah jawaban. Jarum jam menunjukan pukul setengah dua pagi. Kami masih
terjaga menikmati sisa-sisa malam menuju sekarat.
Masih tak banyak yang kami
bicarakan. Kami hanya mendengarkan musik, menikmati nikotin dan kafein, juga
berfoto ria. Aku tak bisa bergaya ataupun narsis di depan kamera. Kami berdua
bergaya dengan gaya kami masing-masing. Awalnya dia malu-malu untuk difoto
sambil merokok, tapi dia bisa menendang jauh-jauh rasa malu itu. Buat apa malu,
bukankah kau pernah berkata ‘melakukan apapun yang saya suka dan membuat saya
bahagia itu baru namanya hidup’.
“Repeh nya, Gem, ulah
dibeja-beja ka batur.” dia memperingatkanku.
“Kalem we. Saya mah bukan
orang seperti itu.” jawabku.
Sesekali kami berdua berkata,
“Duh wajah!” dia berkata
sambil melihat hasil jepretan foto di kamera.
“Beungeut!” aku menambahkan.
Kami kembali terjebak pada
kebuntuan komunikasi. Lama terjebak dalam hening dengan mulut membisu.
“Kamu tidur duluan gih, besok
kan kamu bawa motor. Entar malah kenapa-kenapa lagi.” suruhnya padaku.
“Iya bentar. Sebatang lagi.
Kalo besok aku lelah bawa motor gantian aja, kamu bawa motor.” jawabku
bercanda.
“Hahaha.. aku ga bisa bawa
Vespa.”
Sebatang rokok terakhir
sebelum terlelap sudah habis. Aku beranjak menuju kamar.
“Aku tidur duluan ya. Kamu
juga cepet tidur. Jangan terlalu malam.” sambil berjalan menuju kamar aku
menegurnya.
Malam kembali meracuniku
dengan serbuk insomnianya. Banyak sekali hal yang aku pikirkan. Aku terpejam
dengan satu mata terbuka. Sebenarnya apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa
memiliki? Perasaan sakit, gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan,
kebencian? Perasaan yang namanya suka, cinta, kasih sayang? Bukankah dengan
berlalunya waktu semua itu seperti cawan kosong yang berdebu. Hanya seperti
itu, begitu-begitu saja, tidak istimewa. Apa itu musuh, pertemanan, sahabat,
pacar, dan pernikahan? Apa aku harus menjaga perasaanku dari sang waktu? Atau
aku harus menyerahkan semuanya pada yang namanya takdir. Aku tak pernah ingin
jatuh cinta, bahkan aku benci pada yang namanya jatuh cinta. Pikiranku hanya
habis dipakai untuk memikirkan cinta yang tak pernah pasti. Aku tak memilih apa
pun, bukankah ini hanyalah sebuah takdir? Bukankah cinta adalah sebuah anugerah?
Atau mungkin sebuah kutukan yang menjelma menjadi sebuah kebencian?
Mungkin kah aku telah jatuh
cinta pada seseorang yang pernah aku benci dan ingin aku bunuh? Pada seorang
wanita yang dulu bagiku hanya seperti orang bodoh, manja dan konyol? Apa semua
ini hanya karena sebuah jawaban yang menghantarkanku lebih dekat pada sebuah
jawaban hakiki? Atau apakah karena ada sesuatu yang lain yang tidak aku
ketahui? Oh Rona Damai, tetaplah diam di tempatmu. Jangan sampai kau memasuki
kegelapanku yang dipenuhi dengan kebencian, yang kemudian kau akan diselimuti
dengan kehampaan.
Apakah malam ini aku harus
bilang ‘Aku cinta kepadamu. Aku tidak mengharapkan apa pun darimu. Tidak, aku
tidak mengharapkan jawaban apa pun. Aku menginginkanmu. Itu benar. Aku teramat
menginginkanmu. Maksudku dalam artian positif. Menginginkanmu menjadi teman
hidupku. Melalui hari demi hari bersama-sama. Menjejak sudut-sudut kebahagiaan dan
mungkin juga pahit getir kehidupan. Tapi aku tidak mengharapkanmu. Aku bersiap
melepas semua perasaan ini kalau kau
sebaliknya ternyata tidak menginginkannya, melupakannya meskipun aku tidak tahu
bagaimana caranya, mungkin tidak akan pernah bisa. Kau berhak memutuskan apa
yang akan kau tentukan malam ini. Tentu saja, maksudku menentukan nasibku. Aku…..
Aku menciantimu’. Apa aku harus bilang seperti itu kepadanya? Dengan
metafora-metafora lisan omong kosong. Cinta lebih indah jika cinta sendiri lah
yang berbicara, bukan perkataan yang disertai dengan puisi-puisi indah. Dan
laki-laki yang luar biasa adalah dia yang membuktikan cinta, dalam kesetiaan,
kebahagiaan dan juga kepahitan karena dalam hidup ini tidak hanya ada
kebahagiaan, bukan dia yang menyatakan cinta.
Jika memang cinta adalah
sebuah anugerah, aku tak akan membuang anugerah ini. Aku akan membiarkannya
tumbuh dan menghiasi ruang gelap itu. Biarkan lah waktu dan takdir yang akan
mengurusnya. Apakah dia akan terus tumbuh hingga ruhku tak lagi berada dalam
raga ini dan Tuhan menulis selembar surat yang mempertemukan dua lembar surat. Dan
jika memang cinta itu adalah sebuah kutukan yang menjelma menjadi sebuah kebencian,
aku tak akan pernah menyatakan cinta ini padanya. Aku tak akan pernah mau
merajut sebuah hubungan yang bernama pacar ataupun pacaran yang jika ada sebuah
permasalahan, pertentangan, dan akhirnya hubungan itu patah maka malah akan
melahirkan sebuah kebencian. Bukankah tak sedikit orang yang pacaran lalu putus
kemudian mereka malah bermusuhan. Bilang mantan itu sampah dan lainnya. Aku tak
ingin menjadi orang serendah seperti itu. Lagi pula aku tak ingin menghancurkan
cerita pertemanan kami yang baru berjalan sebentar. Dan aku memang tak panatas
untuknya. Aku lebih memilih untuk merajut sebuah pertalian yang bernama
sahabat. Seorang sahabat yang bertengkar tak akan lama dan akan saling meminta
maaf, mengakui kesalahan masing-masing, tak ada yang ditutup-tutupi. Sebuah
cinta dalam sebuah persahabatan lebih agung dari sebuah cinta yang tumbuh dalam
sebuah hubungan yang bernama pacaran. Oh, Gema, ayolah hidup ini bkan hanya
tentang cinta.
Aku tersadar jam setengah lima
pagi. Viki dan Rona Damai masih terlelap tidur. Menyalakan sebatang rokok,
meneguk segelas kopi sisa semalam. Setelah rokok yang kucapit dengan dua jariku
habis aku lekas mandi walau suhu uadara pagi ini sangat dingin.
Rona damai sudah berada di
ruang tengah dengan ditemani asap nikotin. Dengan wajahnya yang baru bangun
tidur dai terlihat seperti orang yang setres.
“Kita berangkat jam berapa,
Gem?”
“Jam enam aja ya, biar ga
terlalu macet.”
Viki pun terbangun dan
langsung mengerjakan tugasnya yang harus dikumpulkan hari ini. Rona Damai
beranjak untuk mandi.
Kami berdua sudah siap untuk
berangkat pulang. Pamitan kepada Viki. Menghidupkan si Vebeu dan melesat pulang
sambil mencari sabu di pinggir jalan. Kami sarapan bubur dulu di daerah
Cicaheum. Setelah perut kami berdua terisi dan sebatang rokok kuhabiskan kami
berdua melanjutkan perjalanan pulang.
Seperti perjalanan sebelumnya,
sepanjang perjalanan kami berdua tak banyak bicara, basa-basi ini dan itu yang
sebenarnya tak penting dan tak kupedulikan. Kami hanya terdiam membisu menikmati
perjalanan yang kadang menyebalkan dan juga dihiasi oleh hampirnya kami berdua
kecelakaan.
Di pompa bensin di daerah
sebelum Ciawi kami berdua bersitirahat dulu. Bokong kami berdua sudah terasa
pegal. Tanganku juga sudah pegal. Aku memesan dua gelas kopi. Membeli sebotol
air mineral. Kukeluarkan sebungkus rokok filter dari tasku. Kutawari dia rokok.
Kopi dan nikotin ini bisa membuat pikiran kami tenang. Menghembuskan beban.
“Kamu sama Viki teman dekat
sejak SMA ya, Gem?” dia memulai pembicaraan.
“Enggak. Malah ketika SMA aku
sam dia jarang bicara, jarang sling sapa.” jelasku singkat.
“Baru kali ini aku mempunyai
teman seorang wanita sedekat ini, seperti kamu. Bahkan aku begitu jujur
kepadamu, tak ada yang ditutup-tutupi. Biasanya juka kepada wanita banyak yang
aku tutup-tutupi. Seperti ketika aku suka mabuk dan make, tentang ini (aku
menunjukan tanganku), dan tentang kekuranganku yang lainnya.” jawabku panjang
dan gak lebar.
“Sepertiku gimana? Gublah-gebloh? Hah?” sambil tersenyum
dan mengacungkan kepalan tangan ke arah wajahku.
“Hahaha..” aku hanya tertawa.
“Baru kali ini loh aku pergi
jarak jauh naik Vespa. Hehe. Gak mogok lagi. Kuat juga ini Vespa yaa.”
“Ke Jakarta juga dulu gak
mogok. Kondisi paling parahnya sih kemarin waktu malam minggu. Basa eta gening, anu ajlok-ajlokan.
Haha..”
Percakapan kami mulai kerap.
Tentang teman. Tentang komunitas Vespa. Tentang tempat-tempat yang ingin kami
kunjungi.
“Saya kasih kesempatan satu
batang lagi, lalu kita pulang” aku memberikannya sebatang rokok.
Sebelum beranjak pulang. aku
melihat tulisan di belakangnya, “TERIMA PIJAT”.
“Terima pijat ya, Bi?” aku
bercanda, bertanya padanya sambil menunjunk tulisan yang ada di belakangnya.
“Iya. Sini mau dipijat.”
jawabnya dengan tersenyum.
“Pijat my ass.” candaku.
“Anjir.. goblog..”
Sejak di rumah Viki kami
berdua sudah tak sungkan untuk bercanda.
Kami melanjutkan perjalanan
perjalanan. Aku terpaksa menghidupkan Vespaku dengan star jongklok.
Di daerah Rajapolah aku
bertanya sesuatu kepadanya,
“Kamu takut mati gak, Ren?”
tanyaku sambil tersenyum.
“Hah, takut mati? Emangnya
kenapa, kok bertanya seperti itu?”
“Yaaa aku takut kita
kecelakaan. Soalnya dari kemarin kan kita sering hampir kecelakaan. Kalau kita
kecelakaan kamu takut kati gak?”
“Emhh.. Takut.. Gak, aku gak
takut. Hahaha..” masih dengan senyumnya yang keliatan seperti orang gebloh.
“Haha..” aku tersenyum lega.
Memasuki wilayah mitrabatik
aku mulai senang. Aku sudah lelah dan ingin segera tidur pulas. Dan sialnya
Vespaku malah mogok. Entah apa sebabnya. Munkgin sil-nya yang rusak lagi. Lama aku membongkar bagian mesin yang
kutahu. Busi dan spuyer-nya sudah aku
bongkar. Tapi tetap dia tak mau hidup. Rona Damai hanya termangu, mungkin dia
sudah lelah. Tak lama kemudian Vespaku hidup lagi. Namun tak memiliki tenaga
untuk mengangkut kami berdua.
“Gimana sekarang, Ren?”
“Dorong aja, Gem.”
“Dorong gimana? Mau dorong
sampai mana? Sampai Cibeber?”
“Hah.. Iya. Haha..”
“Ayo tapi kamu yang dorong.”
“Ayo…”
“Ya udah turun.”
“Ayo..”
“Turun!” nadaku tinggi seperti
orang serius.
“Ini serius?” tanyanya.
“Hahaha gak lah.”
Kami berdua berhenti dulu.
Mengecek kembali bagian mesin yang kutahu. Kucoba melakukan sesuatu seperti
yang dilakukan oleh temanku. Tapi tetap tak hidup.
“Kalau kamu mau pulang duluan,
pulang aja, Ren, naik angkot. Entar takut lama lagi. Aku gak papa kok.” suruhku
karena aku kasian padanya.
“Gak ah. Masa aku ninggalin
kamu sendirian di sini. Gak.” jawabnya tidak mau.
“Sepahit apa pun perjalanan
ini nikmatilah. Seperti yang kamu bilang, Ren, sepahit apapun wine yang kamu
minum, nikmatilah. Hehe.” aku tersenyum.
Aku sudah mulai resah dan rudet. Aku sudah menelepon temanku.
Memebeli minum. Tiduran di trotoar pinggir jalan seperti gembel. Hhhhh.
Beberapa kali aku menyuruhnya untuk pulang duluan tapi dia tetap tidak mau.
Wanita ini benar-benar keras kepala. Dan juga tak gengsi.
Aku kembali mencoba
mengutak-atik mesin tua motorku. Mencoba menghidupkannya dengan star jongklok.
“Ayo.. Gema.. Gema..” dia
menyemangatiku layaknya seperti seorang chirlider
(gimana ya nulisnya?) yang sedang menyemangati timnya main basket.
Inilah yang namanya teman.
Dan tak lama kemudian akhirnya
Vespaku hidup kembali.
“Ren, ternyata benar apa yang
tertulis dalam Al-Qur’an, jika kita berusaha Alloh akan memberikan kita jalan.”
“Hore.. Gema bersabda.”
“Haha..”
Walau dengan kondisi yang tak
normal. Tapi setidaknya tenaganya lebih besar, sedikit. Kami melanjutkan kembali
perjalanan kami. Mogok lagi. Hidup lagi. Perjalanan kami tak semulus paha para
personil cerrybell dan juga jkt48. Segini juga sudah untung.
“Keresekan wajah, Ren, kalau
kamu malu mah. Hahaha.”
“Aku mau gini aja (dia menutup
mata kanannya dengan dua jari tangannya). Hehe” masih tersenyum.
Sebelum pergi ke rumahnya kami
berdua pergi dulu ke kampus untuk membawa helem yang dia simpan di kampus.
“Kamu pulang duluan aja ya,
biar kamu cepet istirahat. Entar aku biar pulang naik angkot.” suruhnya.
Aku langsung melesat menuju
rumah. Oh kasur bututku aku rindu membuat pulau di atasmu. Saking tak kuatnya
aku ingin cepat-cepat sampai rumah, aku menerobos lampu merah. Dan sialnya ada
sebuah mobil truk besar yang mengangkut pasir dengan kecepatan tinggi melaju ke
arahku menghantamku dan si Vebeu. Dan seketika itu pula aku mati dengan kondisi jasad tak bernyawa yang sangat mengenaskan.