23 Desember 2013

Di Sudut Senja



Bersama bayang di balik raga
Menatap kosong pada jingga
Jiwaku menangis tanpa suara
Dalam suang hitam yang hampa

Kucoba berontak menghantam hitam
Diri ini terlilit alpa berduri luka
Lirih perih menghujam dada
Waktu membusuk penuh karat

Gema kebencian dendam terhunus tajam
Menyayat cinta yang tenggelam
Dalam sebongkah ruang menghitam
Kutukan ini sungguh kelam

Jelaga telah hampir tiba
Para malaikat akan terbakar
Dua musuh akan bekerjasama
Dan berpuisi dengan terangnya yang syahdu

Angin berbisik lembut
Dan perlahan jatuhkanku
Sampai di sana, di yang hitam merayu
Buahkan sesal

Aku tak memilih apapun
Bukankah ini hanya selembar surat
Mencoba mencinta neraka
Tak peduli dan meninggalkan surga

Menikmati setiap lembarnya
Dan kuburu dimana kau wahai muara
Karena surga telah lama terbakar neraka di hadapku
Dan aku hanya terpaku menatapnya

Biarkan ku hilang
Bersama gelap luka
Bersama jelaga
Abu dari senja yang kelam

Di sudut senja ini
Kutantang mautku
Dan kutunggu ajalku


*Download mp3-nya di sini, fuckin’ free!

15 Desember 2013

Duhai Vebeu-ku yang Merepotkan



Kuhidupkan motor tuaku setelah empat hari dioperasi dan dirawat di rumah mogok. Semua perbekalan sudah siap. Aku memakai pakian seadanya layaknya seorang manusia biasa yang membenci kehidupan hedonis. Hari ini aku kan kembali berangkat ke Kota Kembang untuk menyaksikan malam perilisan Buku, CD, DVD dan Merchendise official lainnya dari Risa Saraswati dan Bandnya yang bernama Sarasvati. Suara cempreng Vespa merahku memecah pagi di kampungku yang masih hening. Aku pamit kepada kedua orang tuaku untuk berangkat. Aku tak bilang hari ini aku akan ke Bandung.

Gigi perseneleng dari netral beralih ke gigi satu. Menyusuri jalanan kampung yang berlubang yang katanya mau dibangun ulang tapi sampai sekarang belum terlihat adanya proyek yang berjalan. Ban Vespaku mulai berputar menginjak jalanan hotmik. Keluar dari kampung menuju kampusku yang berada kota Tasikmalaya yang katanya Kota Santri tapi tidak sesuai dengan realita dan fakta yang ada untuk menjemput seseorang terlebih dahulu. Kami berdua janjian akan bertemu di kampus. Dan delapan belas menit kemudian aku dan motor tuaku sudah berada di depan kampus. Sudah sejak seminggu yang lalu kami berdua merencanakan akan menghadiri acara Sunyaruri. Namanya adalah Rona Damai.

Dia adalah seorang perempuan yang berbeda dari ribuan permpuan yang pernah aku temui di bumi tua yang sudah diinjak oleh zaman yang gila ini. Tingginya hampir sepadan denganku. Berkulit putih. Rambut sebahu agak ikal. Dan mata yang tak bisa aku selami. Sudah beberapa kali aku mencoba menyelami matanya, tapi aku tak menemukan apa-apa. Semuanya begitu gelap dan hening. Entah pandanganku yang terlalu buta dan telingaku yang terlalu tuli, atau dia lah yang terlalu spesial. Kami berdua jarang bicara satu sama lain. Dia berpakian seadanya layaknya mau menempuh perjalanan jauh. Tanpa ebel-ebel penghias wajah yang tebal yang menodai kemurnian wajah seorang gadis. Darimana aku tahu dia masih gadis? Ah, aku tak peduli dia masih gadis atau bukan. Entah sejak kapan dia menarik ketertarikanku. Caranya menyikapi hidup brengsek yang kadang absurd ini membuatku tertarik.

Setelah salaman dan mempersiapkan pemberangkatan kami langsung melesat menuju Bandung. Bergetar di atas jok Vespaku yang kemarin baru saja aku ganti karena sudah rusak parah. Menyempil diantara kendaraan bermuatan berat yang menyemburkan asap polutan hitam. Untunglah kami berdua mengenakan masker.

“Maaf ya, aku lupa bawa buku ‘Filsafat Sastra’ milikmu.” dia lupa mengembalikan bukuku yang dia pinjam dulu.

“Iya, tidak apa-apa. Santei we.” jawabku, tak masalah.

Sepanjang perjalanan kami berdua tak banyak bicara, basa-basi ini dan itu yang sebenarnya tak penting dan yang tak kupedulikan. Kami hanya terdiam membisu menikmati perjalanan yang kadang menyebalkan dan juga dihiasi oleh kekocakan ketika kami berdua dimarahi oleh seorang bapak-bapak yang tersingkirkan ke pinggir jalan ketika aku menyusul sebuah bus. Aku tertawa dalam hati.

“Kamu mendengarkan musik gak?” tanyaku padanya.

“Enggak.” jawabnya pendek.

“Kalo jenuh dengarkan musik aja. Kamu bawa Headset gak?”

“Enggak. Gak papa kok.”

“Ya udah.”

Bukan aku tak ingin meminjamkannya Headset-ku tapi aku juga sedang asik mendengarkan musik. Setidaknya musik bisa meredam hal-hal yang menyebalkan yang kutemui di perjalanan.

Hari ini ada razia yang dilakukan oleh para polisi di daerah Lewo. Dan beruntungnya aku mempunyai STNK dan SIM sehingga membuatku tak perlu mengeluarkan. Memasuki Lingkar Nagreg sepeti biasa aku selalu menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak. Menenangkan diri. Mengistirahatkan motor tuaku. Dan kami juga mengistirahatkan bokong kami yang sudah merasakan pegal akibat jok motorku yang agak sedikit keras dan juga mungkin getarannya berpengaruh.

“Kamu mau kopi gak?”

“Mau.” Ah, ternyata dia juga suka kopi.

Aku memesan dua gelas kopi. Duduk di bangku yang dilengkapi meja yang sudah disediakan oleh pemilik warung. Kutawari dia rokok.

“Mau rokok?”

“Mau. Hehe.” Sambil tersenyum dia mengambil sebatang rokok.

Aku kaget dan tak menyangka. Satu persatu kegelapan itu mulai menunjukkan terangnya. Awalnya aku hanya bercanda menawarkan dia rokok, tapi ternyata dia juga suka merokok. Tapi dia tidak terlalu kecanduan sepertiku.

“Haaah. Kamu juga suka merokok?” tanyaku kaget.

“Hehe. Iya. Emang kenapa? Kamu kaget ya?” jawabnya sambil menghisap sebatang rokok.

“Iya. Haha. Aku tak menyangka. Sejak kapan kamu suka merokok?”

“Emmmhh. Kapan yah, aku lupa. Hehe..” dia tersenyum dengan gaya yang bagiku terlihat seperti orang bodoh dan konyol.

“Eh, Ren, kamu orang yang egois ya?” aku bertanya santai walau sebenarnya ini serius.

“Egois? Emang kenapa?” tanyanya heran.

“Kamu kan pernah bilang ‘Melakukan apa yang saya suka dan membuatku bahagia itu baru namanya hidup’, berarti kamu egois dong?”

“Emmhh. Enggak juga ah. Tapi kalau dibilang egois iya juga sih, dikit. Hehe. Orang lain kan gak tahu gimana dan apa yang kita rasain dalam hidup ini, jadi lakukan aja apa yang kamu suka dan membuatmu bahagia. Mereka gak tahu seperti apa rasanya hidup kita.” jawabnya sudah mulai agak serius.

“Tapi kita juga harus memperhatikan orang-orang disekitar kita, kita jangan sampai menjadi orang yang egois.”

“Tapi rata-rata orang yang ska musik itu egois ya, Gem?” tanyanya.

“Enggak juga. Banyak yang enggak egois. Salah satunya komunitas musik Ujung Berung Rebel yang sampai saat ini masih hidup dan berkembang. Mereka saling peduli satu sama lain. Mereka juga tak apatis terhadap kehidupan ini.” jelasku.

“Oh, gitu ya.”

“Ren, dulu aku pernah membencimu loh…” mulai serius lagi.

“Loh, benci kenapa?” tanyanya penasaran.

“Kamu dulu suka liatin dan memperhatikanku yah?” aku menatapnya. Aku hanya berpikir dan merasa bahwa dulu dia suka memperhatikan dan melihatku karena fisikku yang aneh. Aku hanya ingin tahu dan menjelaskannya. Agar tak jadi sebuah beban untukku. Aku tak pernah sedikitpun berpikir kalau dia suka padaku. Tak pernah. Yang ada dalam pikiranku dia hanyalah aneh melihatku. Melihat raga yang diberikan Tuhan untuk ruhku berinteraksi dengan dunia fana ini, tapi raga yang diberikan-Nya tak memenuhi standarisasi normal bodoh yang telah dibukukan oleh para manusia. Bahkan dulu aku membencinya. Dan seketika itu pula aku ingin membunuhnya. Dari dulu aku ingin membunuh semua orang yang menatapku aneh. Aku ingin menghancurkan dunia ini beserta semua isinya.

“Enggak ih. Haha. Kamu geer.” tangannya menunjukku sambil berseri dengan senyumnya yang kelihatan seperti orang gublah-gebloh.

Lalu aku menunjukan tangan keriput kurusku yang menampakkan tulang belulang penyanggah daging dan kulitku yang memiliki kelainan kromosom dan agak bersisik atau megar. Mengacungkan tanganku dihadapan wajahnya. Dan aku menatap matanya. Aku mencoba mencari tahu apa yang ada dalam matanya. Tak bisa. Lagi-lagi hanya kegelapan akal.

“Kamu aneh kan melihatku?” tanyaku serius.

“Enggak ih…” jawabnya seperti orang yang ragu.

Aku memandang perbukitan yang ada di depanku.

“Iya juga sih.” sambungnya.

“Hhhhh.. Aku tahu itu. Itu wajar bagiku.”

Setelah pembicaraan serius itu kami berdua bersua tentang masa lalu kami.

“Kamu suka mabuk ya, Ren, atau pernah mungkin?” tanyaku.

“Iya sih pernah. Hehe.”

“Pernah sampai mabuk parah gak, sampai tumbeng gitu?”

“Pernah.”

Hhhhh.. Aku menraik nafas dalam. Tersenyum.

“Kenapa kamu tersenyum?” tanyanya.

“Gak, kok. Aku ingin tertawa aja jika melihat seorang perempuan mabuk parah sampai tumbang. Haha..” jawabku sembari tertawa kecil.

““Kamu tahu aku suka minum waktu malam minggu dulu ya?” tanyaku karena dia tahu aku suka minum ketika dia berkata ‘Nikmati aja hidup ini. Seperti ketika kamu minum Wine. Rasanya pait kan, tapi kamu menikmatinya kan’.

“Hehe, iya. Kamu udah persiapan dari Manonjaya yah. Haha.”

“Ren.. Ren.. dulu ketika pertama kali aku melihatmu aku pikir kamu itu adalah seorang wanita gebloh dan juga manja. Habis kelakuanmu itu selalu bisa membuatku tertawa. Apa lagi ketika kamu tersenyum dan tertawa. Hahaha..” aku tertawa.

“Anjir.. kamu yah. Gebloh gimana sih?” dia mengacungkan kepalan tangannya dan mengarahkannya padaku.

“Hahaha.. contoh ketika kamu tersenyum dan tertawa seperti barusan.”

“Tersenyum dan tertawa gimana? Coba kamu sepertikan.” tersenyum lagi.

“Gak, ah.” jawabku karena aku tidak bisa menyepertikannya.

“Ayo.” suruhnya.

“Gak.”

“Ayo.”

“Gak.”

“Ayo ih, sepertikan.” dia memaksaku.

“Aku gak bisa.” karena aku memang gak bisa menyepertikannya.

Lama kami bercerita tentang cerita kami berdua. Tentang pernahnya aku berhenti mengkonsumsi alkohol, obat-obatan, dan juga cimeng. Tapi aku kembali minum, namun tidak dengan obat-obatan dan cimeng.

Sambil menghisap rokok dia berkata padaku, Entar juga ada waktunya kita berhenti dan bertaubat.”

Aku tak menjawabnya. Lalu kami menyudahi pembicaraan, merokok dan ngopi kami. Bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum berangkat kami berdua berfoto terlebih dahulu dengan Vespaku. Dia menyebut Vespaku dengan sebutan ‘VEBEU’ (Vespa Beureum). Memasuki terowongan yang tak jauh dari tempat peristirahatan kami pun berfoto ria lagi. Tak ada salahnya bukan mengabadikan sesuatu yang kita lakukan dan alami, bisa saja itu adalah hal yang terakhir kita lakukan dan alami.

Sekitar kurang lebih dua jam kemudian aku sudah sampai di Bandung. Kemacetan mulai kami jumpai. Udara yang panas mulai membuatku tak nyaman. Bandung tengah hari begitu menyebalkan. Kami akan beristirahat di kontarakan teman SMA-ku, dan sekarang juga masih menjadi temanku. Namanya adalah Viki. Sebelum ke kontrakannya kami mampir dulu ke ITENAS, kampus Viki. Tapi waktu sudah memasuki waktu Dzuhur dia mengajakku untuk pergi ke Mesjid, untuk melaksanakan kewajiban kami sebagai seorang Muslim. Lalu kami pergi ke Mesjid yang tak dekat dengan kontrakan Viki, temanku. Betapa malunya aku, seharusnya seorang laki-laki lah yang mengajak seorang perempuan untuk beribadah.

“Walaupun aku gak pake jilabab, tapi setidaknya aku harus membawa mukena untuk peralatan Sholat, sebuah kewajiban sebagai seorang Muslim atau Muslimah.”

Aku hanya tersenyum menjawabnya. Kesalehan seseorang memang tidak hanya bisa diukur dari tampilan mulut, tulisan dan apalagi pakaian. Sementara dia mengambil air wudhu aku menjaga perbekalan kami. Dan aku mendapatkan SMS dari Viki untuk pergi dulu ke kampusnya.

“Tunggu sebentar ya, Ren, aku pergi dulu ke ITENAS, tolong jagain dulu perbekalan kita ya.” pintaku pada si Rona Damai.

“Ok.”

Tanpa pikir panjang aku langsung melesat ke ITENAS dengan vespaku yang bersuara cempreng. Hanya membutuhkan waktu sekitar tiga menit karena jaraknya tak jauh. Kulihat Viki sedang duduk termangu dan membisu di depan gerbang kampus dengan Smartphone dalam genggamannya. Aku pun menghampirinya.

“Woy, Ki” aku menyapanya.

Kami berdua bersalaman seperti seorang teman yang sudah lama tak bertemu. Padahal ketika kami berdua masih SMA, pertemanan kami berdua tak dekat. Bahkan kami berdua jarang saling menyapa.

“Kamu ke kontarakan aku duluan ya, aku mau masuk dulu sebentar. Entar aku nyusul” dia menyuruhku untuk duluan, mungkin dia akan meminta izin terlebih dahulu.

Aku kembali ke Mesjid. Si Rona Damai masih terpaku ngahuleng. Aku menyuruhnya Sholat duluan. Bergantian menjaga barang-barang kami berdua. Tak lama kemudian Viki datang dan mengajak kami berdua untuk segera pergi ke kontarkannya.

“Maaf ya berantankan, maklum, ini lah kehidupan seorang anak kontarkan. Hehe..” sapa Viki meminta maaf karena kontrakannya yang agak berantakan.

Memang agak berantakan sih. Tapi tak separah kamarku. Bahan-bahan pengerjaan tugas berserak. Satu kotak ilusi berdiri angkuh. Gelas bekas minum. Kertas. Alat-alat untuk melukis. Udara di kontrakannya lumayan sejuk. Untunglah Bandung belum seperti Jakarta. Kami berdua melepas sepatu kami. Duduk dan meletakan perbekalan kami. Si Rona Damai masih sungkan. Viki menjamu nya dengan segelas air putih. Aku menyalakan sebatang rokok.

“Eh maaf lupa, ari si Teteh dipasihan eueut ari si Gema heunteu. Hehe.” si Teteh di sini maksudnya adalah si Rona Damai. Mungkin Viki berpikir kalau si Rona Damai itu lebih tua darinya, padahal seangkatan.

“Udah, Ki, gak usah. Aku bawa minumku kok.” jawabku gak perlu.

Kutawari sang Rona Damai rokok. Sepertinya dia masih malu-malu. Tapi tak lama kemudian diameracuni parunya dengan nikotin.

“Aku juga bawa, kok.” jelasnya kalau dia juga membawa rokok.

Kami bertiga lama berbincang-bincang tentang tentang perjalanan aku dan Rona Damai. Tentang kuliah kami. Tugas yang menyebalkan. Kampus kami. Dan lainnya. Dan sepertinya aku dan Rona Damai mulai dihinggapi oleh rasa kantuk. Kami berdua pun memutuskan untuk tidur di kamar yang telah disediakan oleh Viki. Kami lelah.

Jam tiga sore Viki membangunkanku. Aku pun pergi ke ruang tengah. Sang Rona Damai sudah bangun duluan dan menyeduh segelas kopi yang dibelinya dari warung sebelah.

“Kopi siapa nih? Aku minta ya?” tanyaku.

“Punyaku. Barusan aku beli dari warung. Silahkan.” Rona Damai mempersilahkan.

Ternyata dia adalah pecinta kopi juga. Kucium bau kopinya. Good Day. Kau tahu? Menurutku keadaan yang paling enak untuk merokok dan ngopi adalah ketika bangun tidur dan belum sibeungeut. Ketika pikiran kita belum terjaga sepenuhnya. Ketika mata kita belum terbuka sepenuhnya. Ketika otak masih melayang terbang bebas. Hhhhh. Menghembuskan beban. Meracuni paru yang kadang nyeri dan batuk. Untung lah jantung dan paruku masih bisa meredam efek dari kopi dan rokok.

Sebelum berangkat ke Padepokan Seni Mayang Sunda kami bertiga makan terlebih dahulu. Viki memasak Mie yang dicampur dengan telur. Aku dan Rona Damai hanya diam menikmati kopi dan rokok.

“Ren, bantuan ih si Viki. Kamu kan perempuan.” aku mnyuruhnya untuk membantu Viki memasak.

“Aku gak bisa masak ih.”

“Bantuin dia mempersiapkan piringnya aja atuh, Ren.” suruhku sambil mengajaknya ke dapur.

“Ini, Ki, dibantuin sama Rena, tapi katanya makanannya takut keracunan. Haha...” aku tertawa bercanda.

“Idih. Ini, Ki, katanya Gema mau belajar masak.” dia membalasku.

“Yee. harusnya kan kamu. Tuh liatin. Ini adalah pelajaran buat entar berrumah tangga.” aku tak mau kalah.

“Hahaha. Iya bener, Gema.” Viki memihak padaku.

Dan sang Rona Damai diam tak membalas seranganku. Kami bertiga makan di ruang tengah. Di depan TV. Si Rona Damai mempersiapkan piringnya.

“Dingin….” Rona Damai mengekspresikan rasanya.

“Sini pindah duduknya di atas karpet.”

“Udah ah di sini aja, Gak papa kok.”

“Sini ah entar malah sakit lagi.” aku memaksanya.

Kami bertiga pun makan. Merokok. Aku langsung mandi. Dan Rona Damai dan Viki tak mandi terlebih dahulu karena udara yang dingin. Kami siap berangkat ke Padepokan Seni Mayang Sunda untuk menyaksikan Sunyaruri. Sekitar pukul lima sore lebih kami berangkat.

Tuhan menghiasi perjalanan kami dengan hujan gerimis. Senja tak berjingga, terbunuh oleh para bala tentara awan hitam yang berperang dengan segenggam petir terhunus tajam. Jalanan kota Bandung macet oleh orang-orang yang baru pulang setelah seharian menghamba pada uang  dari tuan kapitalis. Aku menyempil diantara kendaraan lainnya. Menunggu lampu merah menjadi kuning, lalu hijau. Tak lama kemudian berkat bantuan GPS di handphone-ku aku pun sampai di Padepokan Seni Mayang Sunda.

Orang-orang sudah mulai ramai memenuhi padepokan. Dari mulai anak-anak sampai orang tua ada di sini untuk menyaksikan Sunyaruri. Aku tak perlu menceritakan bagaimana acara ini berlangsung. Pokoknya seru pisan deh. Yang gak dateng pasti nyesel :p

Sekitar jam sebelas lebih kami pulang ke kontarkan Viki. Tadinya aku dan Rona Damai mau langsung pulang ke Tasikmalaya tapi Viki tak mengizinkan kami berdua. Dia khawatir takut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan kepada kami berdua. Aku mengiyakannya. Malam ini aku dan Rona Damai akan menginap di kontrakan Viki.

Sekitar dua puluh menit kami diperjalanan akhirnya sampai juga di kontrakan Viki. Sebelum ke kontrakannya aku mampir dulu ke warung untuk membeli sekaleng beer tanpa alkohol, kopi, dan juga sebungkus rokok. Hhhhh. Malam ini lumayan melelahkan juga. Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Aku tak pernah menyangka, malam ini, aku, Rona Damai dan Viki akan sedekat ini. Viki langsung beranjak tidur karena rasa lelah dan kantuk, dan juga besok dia ada jadwal kuliah pagi. Tidak dengan aku dan Rona Damai. Aku menyuruhnya untuk menyeduh tiga bungkus kopi yang aku beli tadi.

“Aku tidur duluan ya. Entar kalau mau tidur masuk aja ke kamar. Tapi Gema tidurnya dibawah ya, jangan tidur di atas, entar takut terjadi sesuatu. Haha..” suruh Viki kepadaku dan Rona Damai.

“Siap, Ki. Santai we..” jawabku.

Kami berdua memang pecinta kopi dan malam. Begitu nyamannya keheningan malam menghibur telinga kami. Tak banyak bicara. Mulut kami lebih sering digunakan untuk menghisap rokok dan meneguk kopi. Aku memutar lagu menyejukkan dari handphone miliknya. Aku tak menyangka malam ini aku akan terjebak berdua bersama wanita yang pernah aku benci lalu membuatku tertarik hanya karena sebuah jawaban. Jarum jam menunjukan pukul setengah dua pagi. Kami masih terjaga menikmati sisa-sisa malam menuju sekarat.

Masih tak banyak yang kami bicarakan. Kami hanya mendengarkan musik, menikmati nikotin dan kafein, juga berfoto ria. Aku tak bisa bergaya ataupun narsis di depan kamera. Kami berdua bergaya dengan gaya kami masing-masing. Awalnya dia malu-malu untuk difoto sambil merokok, tapi dia bisa menendang jauh-jauh rasa malu itu. Buat apa malu, bukankah kau pernah berkata ‘melakukan apapun yang saya suka dan membuat saya bahagia itu baru namanya hidup’.

“Repeh nya, Gem, ulah dibeja-beja ka batur.” dia memperingatkanku.

“Kalem we. Saya mah bukan orang  seperti itu.” jawabku.

Sesekali kami berdua berkata,

“Duh wajah!” dia berkata sambil melihat hasil jepretan foto di kamera.

Beungeut!” aku menambahkan.

Kami kembali terjebak pada kebuntuan komunikasi. Lama terjebak dalam hening dengan mulut membisu.

“Kamu tidur duluan gih, besok kan kamu bawa motor. Entar malah kenapa-kenapa lagi.” suruhnya padaku.

“Iya bentar. Sebatang lagi. Kalo besok aku lelah bawa motor gantian aja, kamu bawa motor.” jawabku bercanda.

“Hahaha.. aku ga bisa bawa Vespa.”

Sebatang rokok terakhir sebelum terlelap sudah habis. Aku beranjak menuju kamar.

“Aku tidur duluan ya. Kamu juga cepet tidur. Jangan terlalu malam.” sambil berjalan menuju kamar aku menegurnya.

Malam kembali meracuniku dengan serbuk insomnianya. Banyak sekali hal yang aku pikirkan. Aku terpejam dengan satu mata terbuka. Sebenarnya apakah itu perasaan? Keinginan? Rasa memiliki? Perasaan sakit, gelisah, sesak, tidak bisa tidur, kerinduan, kebencian? Perasaan yang namanya suka, cinta, kasih sayang? Bukankah dengan berlalunya waktu semua itu seperti cawan kosong yang berdebu. Hanya seperti itu, begitu-begitu saja, tidak istimewa. Apa itu musuh, pertemanan, sahabat, pacar, dan pernikahan? Apa aku harus menjaga perasaanku dari sang waktu? Atau aku harus menyerahkan semuanya pada yang namanya takdir. Aku tak pernah ingin jatuh cinta, bahkan aku benci pada yang namanya jatuh cinta. Pikiranku hanya habis dipakai untuk memikirkan cinta yang tak pernah pasti. Aku tak memilih apa pun, bukankah ini hanyalah sebuah takdir? Bukankah cinta adalah sebuah anugerah? Atau mungkin sebuah kutukan yang menjelma menjadi sebuah kebencian?

Mungkin kah aku telah jatuh cinta pada seseorang yang pernah aku benci dan ingin aku bunuh? Pada seorang wanita yang dulu bagiku hanya seperti orang bodoh, manja dan konyol? Apa semua ini hanya karena sebuah jawaban yang menghantarkanku lebih dekat pada sebuah jawaban hakiki? Atau apakah karena ada sesuatu yang lain yang tidak aku ketahui? Oh Rona Damai, tetaplah diam di tempatmu. Jangan sampai kau memasuki kegelapanku yang dipenuhi dengan kebencian, yang kemudian kau akan diselimuti dengan kehampaan.

Apakah malam ini aku harus bilang ‘Aku cinta kepadamu. Aku tidak mengharapkan apa pun darimu. Tidak, aku tidak mengharapkan jawaban apa pun. Aku menginginkanmu. Itu benar. Aku teramat menginginkanmu. Maksudku dalam artian positif. Menginginkanmu menjadi teman hidupku. Melalui hari demi hari bersama-sama. Menjejak sudut-sudut kebahagiaan dan mungkin juga pahit getir kehidupan. Tapi aku tidak mengharapkanmu. Aku bersiap melepas  semua perasaan ini kalau kau sebaliknya ternyata tidak menginginkannya, melupakannya meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya, mungkin tidak akan pernah bisa. Kau berhak memutuskan apa yang akan kau tentukan malam ini. Tentu saja, maksudku menentukan nasibku. Aku….. Aku menciantimu’. Apa aku harus bilang seperti itu kepadanya? Dengan metafora-metafora lisan omong kosong. Cinta lebih indah jika cinta sendiri lah yang berbicara, bukan perkataan yang disertai dengan puisi-puisi indah. Dan laki-laki yang luar biasa adalah dia yang membuktikan cinta, dalam kesetiaan, kebahagiaan dan juga kepahitan karena dalam hidup ini tidak hanya ada kebahagiaan, bukan dia yang menyatakan cinta.

Jika memang cinta adalah sebuah anugerah, aku tak akan membuang anugerah ini. Aku akan membiarkannya tumbuh dan menghiasi ruang gelap itu. Biarkan lah waktu dan takdir yang akan mengurusnya. Apakah dia akan terus tumbuh hingga ruhku tak lagi berada dalam raga ini dan Tuhan menulis selembar surat yang mempertemukan dua lembar surat. Dan jika memang cinta itu adalah sebuah kutukan yang menjelma menjadi sebuah kebencian, aku tak akan pernah menyatakan cinta ini padanya. Aku tak akan pernah mau merajut sebuah hubungan yang bernama pacar ataupun pacaran yang jika ada sebuah permasalahan, pertentangan, dan akhirnya hubungan itu patah maka malah akan melahirkan sebuah kebencian. Bukankah tak sedikit orang yang pacaran lalu putus kemudian mereka malah bermusuhan. Bilang mantan itu sampah dan lainnya. Aku tak ingin menjadi orang serendah seperti itu. Lagi pula aku tak ingin menghancurkan cerita pertemanan kami yang baru berjalan sebentar. Dan aku memang tak panatas untuknya. Aku lebih memilih untuk merajut sebuah pertalian yang bernama sahabat. Seorang sahabat yang bertengkar tak akan lama dan akan saling meminta maaf, mengakui kesalahan masing-masing, tak ada yang ditutup-tutupi. Sebuah cinta dalam sebuah persahabatan lebih agung dari sebuah cinta yang tumbuh dalam sebuah hubungan yang bernama pacaran. Oh, Gema, ayolah hidup ini bkan hanya tentang cinta.

Aku tersadar jam setengah lima pagi. Viki dan Rona Damai masih terlelap tidur. Menyalakan sebatang rokok, meneguk segelas kopi sisa semalam. Setelah rokok yang kucapit dengan dua jariku habis aku lekas mandi walau suhu uadara pagi ini sangat dingin.

Rona damai sudah berada di ruang tengah dengan ditemani asap nikotin. Dengan wajahnya yang baru bangun tidur dai terlihat seperti orang yang setres.

“Kita berangkat jam berapa, Gem?”

“Jam enam aja ya, biar ga terlalu macet.”

Viki pun terbangun dan langsung mengerjakan tugasnya yang harus dikumpulkan hari ini. Rona Damai beranjak untuk mandi.

Kami berdua sudah siap untuk berangkat pulang. Pamitan kepada Viki. Menghidupkan si Vebeu dan melesat pulang sambil mencari sabu di pinggir jalan. Kami sarapan bubur dulu di daerah Cicaheum. Setelah perut kami berdua terisi dan sebatang rokok kuhabiskan kami berdua melanjutkan perjalanan pulang.

Seperti perjalanan sebelumnya, sepanjang perjalanan kami berdua tak banyak bicara, basa-basi ini dan itu yang sebenarnya tak penting dan tak kupedulikan. Kami hanya terdiam membisu menikmati perjalanan yang kadang menyebalkan dan juga dihiasi oleh hampirnya kami berdua kecelakaan.

Di pompa bensin di daerah sebelum Ciawi kami berdua bersitirahat dulu. Bokong kami berdua sudah terasa pegal. Tanganku juga sudah pegal. Aku memesan dua gelas kopi. Membeli sebotol air mineral. Kukeluarkan sebungkus rokok filter dari tasku. Kutawari dia rokok. Kopi dan nikotin ini bisa membuat pikiran kami tenang. Menghembuskan beban.

“Kamu sama Viki teman dekat sejak SMA ya, Gem?” dia memulai pembicaraan.

“Enggak. Malah ketika SMA aku sam dia jarang bicara, jarang sling sapa.” jelasku singkat.

“Baru kali ini aku mempunyai teman seorang wanita sedekat ini, seperti kamu. Bahkan aku begitu jujur kepadamu, tak ada yang ditutup-tutupi. Biasanya juka kepada wanita banyak yang aku tutup-tutupi. Seperti ketika aku suka mabuk dan make, tentang ini (aku menunjukan tanganku), dan tentang kekuranganku yang lainnya.” jawabku panjang dan gak lebar.

“Sepertiku gimana? Gublah-gebloh? Hah?” sambil tersenyum dan mengacungkan kepalan tangan ke arah wajahku.

“Hahaha..” aku hanya tertawa.

“Baru kali ini loh aku pergi jarak jauh naik Vespa. Hehe. Gak mogok lagi. Kuat juga ini Vespa yaa.”

“Ke Jakarta juga dulu gak mogok. Kondisi paling parahnya sih kemarin waktu malam minggu. Basa eta gening, anu ajlok-ajlokan. Haha..”

Percakapan kami mulai kerap. Tentang teman. Tentang komunitas Vespa. Tentang tempat-tempat yang ingin kami kunjungi.

“Saya kasih kesempatan satu batang lagi, lalu kita pulang” aku memberikannya sebatang rokok.

Sebelum beranjak pulang. aku melihat tulisan di belakangnya, “TERIMA PIJAT”.

“Terima pijat ya, Bi?” aku bercanda, bertanya padanya sambil menunjunk tulisan yang ada di belakangnya.

“Iya. Sini mau dipijat.” jawabnya dengan tersenyum.

“Pijat my ass.” candaku.

Anjir.. goblog..”

Sejak di rumah Viki kami berdua sudah tak sungkan untuk bercanda.

Kami melanjutkan perjalanan perjalanan. Aku terpaksa menghidupkan Vespaku dengan star jongklok.

Di daerah Rajapolah aku bertanya sesuatu kepadanya,

“Kamu takut mati gak, Ren?” tanyaku sambil tersenyum.

“Hah, takut mati? Emangnya kenapa, kok bertanya seperti itu?”

“Yaaa aku takut kita kecelakaan. Soalnya dari kemarin kan kita sering hampir kecelakaan. Kalau kita kecelakaan kamu takut kati gak?”

“Emhh.. Takut.. Gak, aku gak takut. Hahaha..” masih dengan senyumnya yang keliatan seperti orang gebloh.

“Haha..” aku tersenyum lega.

Memasuki wilayah mitrabatik aku mulai senang. Aku sudah lelah dan ingin segera tidur pulas. Dan sialnya Vespaku malah mogok. Entah apa sebabnya. Munkgin sil-nya yang rusak lagi. Lama aku membongkar bagian mesin yang kutahu. Busi dan spuyer-nya sudah aku bongkar. Tapi tetap dia tak mau hidup. Rona Damai hanya termangu, mungkin dia sudah lelah. Tak lama kemudian Vespaku hidup lagi. Namun tak memiliki tenaga untuk mengangkut kami berdua.

“Gimana sekarang, Ren?”

“Dorong aja, Gem.”

“Dorong gimana? Mau dorong sampai mana? Sampai Cibeber?”

“Hah.. Iya. Haha..”

“Ayo tapi kamu yang dorong.”

“Ayo…”

“Ya udah turun.”

“Ayo..”

“Turun!” nadaku tinggi seperti orang serius.

“Ini serius?” tanyanya.

“Hahaha gak lah.”

Kami berdua berhenti dulu. Mengecek kembali bagian mesin yang kutahu. Kucoba melakukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh temanku. Tapi tetap tak hidup.

“Kalau kamu mau pulang duluan, pulang aja, Ren, naik angkot. Entar takut lama lagi. Aku gak papa kok.” suruhku karena aku kasian padanya.

“Gak ah. Masa aku ninggalin kamu sendirian di sini. Gak.” jawabnya tidak mau.

“Sepahit apa pun perjalanan ini nikmatilah. Seperti yang kamu bilang, Ren, sepahit apapun wine yang kamu minum, nikmatilah. Hehe.” aku tersenyum.

Aku sudah mulai resah dan rudet. Aku sudah menelepon temanku. Memebeli minum. Tiduran di trotoar pinggir jalan seperti gembel. Hhhhh. Beberapa kali aku menyuruhnya untuk pulang duluan tapi dia tetap tidak mau. Wanita ini benar-benar keras kepala. Dan juga tak gengsi.

Aku kembali mencoba mengutak-atik mesin tua motorku. Mencoba menghidupkannya dengan star jongklok.

“Ayo.. Gema.. Gema..” dia menyemangatiku layaknya seperti seorang chirlider (gimana ya nulisnya?) yang sedang menyemangati timnya main basket.

Inilah yang namanya teman.

Dan tak lama kemudian akhirnya Vespaku hidup kembali.

“Ren, ternyata benar apa yang tertulis dalam Al-Qur’an, jika kita berusaha Alloh akan memberikan kita jalan.”

“Hore.. Gema bersabda.”

“Haha..”

Walau dengan kondisi yang tak normal. Tapi setidaknya tenaganya lebih besar, sedikit. Kami melanjutkan kembali perjalanan kami. Mogok lagi. Hidup lagi. Perjalanan kami tak semulus paha para personil cerrybell dan juga jkt48. Segini juga sudah untung.

“Keresekan wajah, Ren, kalau kamu malu mah. Hahaha.”

“Aku mau gini aja (dia menutup mata kanannya dengan dua jari tangannya). Hehe” masih tersenyum.

Sebelum pergi ke rumahnya kami berdua pergi dulu ke kampus untuk membawa helem yang dia simpan di kampus.

“Kamu pulang duluan aja ya, biar kamu cepet istirahat. Entar aku biar pulang naik angkot.” suruhnya.

Aku langsung melesat menuju rumah. Oh kasur bututku aku rindu membuat pulau di atasmu. Saking tak kuatnya aku ingin cepat-cepat sampai rumah, aku menerobos lampu merah. Dan sialnya ada sebuah mobil truk besar yang mengangkut pasir dengan kecepatan tinggi melaju ke arahku menghantamku dan si Vebeu. Dan seketika itu pula aku mati dengan kondisi jasad tak bernyawa yang sangat mengenaskan.





11 Desember 2013

Surga Berdiri Di Atas Neraka


Seperti biasa pagi-pagi saya selalu bikin kopi dan meracuni paru dengan nikotin. Dan pagi ini saya packing barang-barang. Hari ini saya akan berangkat ke Bandung, karena besok ada event Bandung Open Air, tentunya ada Band monster Deathmetal sekaligus Sastra, Forgotten.

Saya tidak langsung berangkat ke Bandung. Mampir dulu ke rumah teman seperbotolan hanya untuk sekedar ngopi, merokok dan bersua tentang lagu yang tempo hari kami track recording. Hari ini lagu itu sudah selesai melewati proses mixing, dan telah menunggu untuk kami jemput.

Lagu yang kami ciptakan bukan lagu Metal, Punk, Hardcore atau musik-musik yang selalu dianggap Underground oleh orang-orang. Kami mencoba memadukan antara Musikalisasi Puisi, Alternatif, dan juga Metalcore. Soal respon dari masyarakat kami sudah tak memperdulikannya lagi. Kami bermusik untuk diri kami sendiri. Kami menciptakan lagu untuk kami dengarkan sendiri. Tak peduli apa kata orang-orang yang merasa paling pintar dan paling benar. Tak peduli pada kontra yang terjadi dalam sebuah korelasi. Kami puas, karena lagu itu nyaman di telinga kami. Dan jika kalian ingin mendengarkan sebuah karya dari kami, kalian bisa mendownloadnya di sini.

Rokok sudah menjadi abu, hanya menysiakan gabus filter. Kopi hanya menyisakan ampas hitam. Aku pamit untuk berangkat kuliah terlebih dahulu. Hari ini aku ada mata kuliah Algoritma dan Pemrograman. Walau aku sudah muak kuliah di jurusan Teknik Informatika, aku tetap masuk. Di satu sisi aku sudah muak dan penat kuliah di jurusan ini dan di satu sisi aku juga ingin membahagiakan orang tua dengan menuruti kemauannya. Aku ingin pindah jurusan ke Sastra Indonesia atau Filsafat, tapi aku belum tahu bagaimana caranya bicara pada orang tuaku agar mereka mengerti. Setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Dan aku terlalu bodoh untuk kuliah di jurusan Teknik Informatika. Setiap hari hanya menghitung menggunakan rumus yang usianya sudah beberapa tahun, dan mungkin juga puluhan tahun. Monoton. Sungguh membosankan.

Aku tak mempunyai keinginan untuk melakukan sesuatu dengan teknologi di dunia ini. Aku hanya ingin melakukan sesuatu dengan hidupku, dengan kehidupan ini, menggunakan Sastra dan Filasafat. Teknologi secanggih apa pun takkan pernah bisa mempengaruhi cara berpikir seseorang dan bagaimana cara seseorang menyikapi hidup ini. Aku ingin merubah semua standarisasi bodoh yang sudah dibukukan oleh kebanyakan manusia.

Bagaimana kuliahku hari ini? Seperti hari-hari sebelumnya. Hanya menghitung dan memahami rumus yang monoton. Aku termasuk orang yang bodoh dan benci terhadap perhitungan dan rumus. Lalu kenapa aku masuk jurusan Teknik Informatika? Hanya sebuah paksaan orang tua. Mereka berhak.

Tapi sekarang aku sudah mulai penat kuliah di jurusan Teknik Informatika yang mereka suruh. Ini bukan perlawanan pada orang tua, ini soal hidupku sendiri, lihat jadinya jika aku terlalu menuruti semua yang kalian mau, lihat jadinya seperti apa aku sekarang. Aku bukan tidak ingin berterimakasih, justru aku sangat berterimakasih pada kalian yang sedalam-dalamnya, kalian sudah membesarkanku, memberi kasih sayang padaku. Tapi sekarng aku harus buat keputusan soal hidupku sendiri. Yang aku butuhkan bukan kemarahan dan emosi kalian yang tidak ada habisnya, dan juga semua kemauan-kamuan kalian yang harus selalu aku turuti. Aku butuh suport dan dukungan dari kalian. Coba lah mengerti anak kalian ini. Sekarang anak kalian ini sudah besar. Percaya lah padaku. Aku sudah tahu sekarng aku harus bagaimana, aku sudah tahu fungsiku apa, aku mau nulis, aku mau nulis semua yang ada di kepalaku, di hatiku, apa yang terjadi di negara ini, apa yang terjadi di dunia, pokoknya aku mau nulis semuanya. Jika nanti semua itu tak ada gunanya buat kalian, mudah-mudahan ada gunanya buatku dan juga orang lain. Ah, sudah lah.

Hari ini aku tak bepergian bersama Vespa bututku. Dia sedang sakit dan dirawat di rumah mogok. Sepertinya mesinnya harus dioperasi. Aku berangkat menunggangi motor matic-ku yang sekarang suka dipakai adikku. Setelah seleasi kuliah yang membosankan aku bergegas menuju studio recording untuk menjemput puisi pertamaku yang aku tungkan ke dalam sebuah bentuk mp3. Cukup memuaskan. Sepanjang jalan menuju Bandung aku terus mendengarkan puisi atau juga lagu kami dengan pengaturan repeat. Puisi atau lagu ini kurang tepat bila disebut sebuah karya. Puisi atau lagu ini lebih tepatnya sebuah curahan jiwaku sendiri.

Di awal perjalanan Tuhan menaungiku dengan langit berawan hitam, lalu membasahiku dengan hujan. Sedikit menyebalkan karena kadang jalanan yang licin membuat ban belakang motorku tergelincir dan hampir tabrakan dengan orang lain. Dan anehnya hari ini, sepanjang perjalanan ini aku takut mati. Seumur hidupku ini, baru kali ini aku takut pada yang namanya kematian. Entah apa yang mentranfusikan rasa takut itu.

Memasuki Lingkar Nagreg aku beristirahat sejenak, memesan kopi di warung-warung pinggir jalan dan menikmati beberapa batang rokok dan pemandangan perbukitan, karena aku sudah mulai merasa lelah menyusul mobil-mobil besar pengangkut industri kapitalis yang sangat menyebalkan. Asap mesinnya yang bisa mencemari udara dan merusak lapisan ozon atmosfer planet ini. Mengapa industri pabrik dan kendaraan bermotor yang bisa merusak lapisan ozon tidak dilirang? Padahal asapnya bisa merusak lapisan ozon, bagaimana jika asap itu masuk ke dalam tubuh kita? Tapi rokok yang tidak bisa merusak lapisan ozon dan gampang terkikis oleh oksigen dilarang? Begitu banyaknya aku jumpai tulisan dan simbol anti asap rokok. Apa karena industri pabrik dan kendaraan bermotor itu aset perusahaan luar negeri? Apa pemereintah sudah bisa disuap dan berpihak pada mereka? Padahal tembakau itu adalah aset budaya negara ini. Mengapa pemerintah ingin menyingkirkan budaya bangsanya sendiri. Ini semua kamuflase, vroh. Orang zaman dulu, kakek, buyut dan leluhurku bertaun-taun merokok, dan umurnya tetap lama. Berbagai penyakit dan umur yang pendek zaman sekarang ini bukan disebabkan oleh asap rokok. Tapi makanan dan minuman yang sudah dicampur bahan-bahan yang berbahaya seperti bahan kimia. Dan yang harus kialian ketahui, umur kita ini sudah ditentukan sebelum kita merasakan menghirup udara dunia fana ini. Asap rokok tidak akan pernah bisa melawan dan merubah ketentuan-Nya. Dan yang selalu membuatku ingin tertawa yaitu jika aku menemukan tulisan “Matikan lah rokokmu sebelum rokok itu mematikanmu”. Sepertinya tugas malaikat pencabut nyawa sudah digantikan oleh sebuah asap rokok. Mungkin malaikat pencabut nyawa itu sudah lelah melaksanakan tugasnya dan memilih untuk menjadi seorang pengangguran.

Tetes terakhir dari kopi yang kupesan sudah menyentuh lidahku. Hisapan terakhir dari sebatang rokok sudah masuk ke dalam paruku yang kadang nyeri dan batuk. Kulanjutkan perjalananku. Soundtrack yang mengalun di telingaku masih sama, ‘Di Sudut Senja’, puisi dan lagu dari curahan jiwa. Satu jam kemudian aku sudah memasuki Kota Kembang yang sudah ternodai oleh kotornya modernisme. Suasana macet yang membuatku urung untuk kuliah di Bandung mulai menghiasi perjalananku.

Sebelum aku ke rumah sodara seperlaknatanku aku memutuskan untuk mampir ke rumah teman SMA-ku yang kuliah di ITENAS. Rencanannya hari kamis besok kami akan menghadiri perilisan album, buku, dan dvd dari Sarasvati. Setelah mampir aku langsung meluncur ke rumah sodara seperlaknatanku. Aku disuruh menunggu di kantor kecamatan tempat Bapaknya bekerja.

Aku memutuskan untuk duduk di trotoar, di luar gerbang. Mengambil air mineral yang kubawa, haus. Kembali menyalakan sebatang rokok. Hhhhh. Bandung sudah tak alami. Kuambil pena hitamku dan kubuka buku catatan jiwaku. Sembari menunggu temanku, di tengah-tengah kebisingan kendaraan kota Bandung, kututupi telingaku dengan headset yang mengalunkan sebuah musik merdu dan menyayat rasa. Mengguratkan pena pada sebuah lembar kertas putih yang suci, berpuisi. Awan hitam yang menggenggam petir terhunus kembali berperang. Darah mereka yang suci pun kembali tumpah membasahi wajah bumi yang sudah tua dan diracuni oleh berbagai polutan. Kegiatan berpuisiku terpaksa berpindah dan sampai pada warung kopi yang tak jauh dari sana. Memesan segelas kopi. Tiga bait puisi kelam tertulis dan menodai kertas suci. Air kopi yang mengisi gelas sudah habis setengahnya. Beberapa menit kemudian seseorang menepuk bahuku yang telah asik berpuisi di syahdunya suasana hujan. Dia lah sodara seperlaknatanku, Gema. Namanya adalah Gema Hamzah Qomarudin.

Aku mengenal Gema dari Sosial Media Facebook. Ketika orang lain sibuk mencari orang untuk dijadikan seorang pacar, aku sibuk mencari seorang teman. Entah bagaimana akun facebook-ku bisa terhubung dengannya. Bukkankah tak ada yang namanya kebetulan. Dulu kami pernah bertemu sekali. Banyak kesamaan di antara kami berdua. Namanya sama dengan namaku, ‘Gema’. Dia juga seorang fans dari neraka yang mengagumi seorang Addy Gembel dan Bandnya Forgotten. Seorang perokok aktif. Dan tentunya dia juga sama denganku, yaitu seorang TERLAKNAT. Postur tubuhnya tinggi dan kering akibat dari efek obat-obatan.

“Woy, Gem, aku kira siapa. Kesini hujan-hujanan?” sapaku.

“Iya, hehe. Aku kasian kamu nungguin aku lama.” jawabnya.

Sebenarnya aku tak bosan menunggunya. Bahkan aku asik sendiri berpuisi.

Kami berdua bersalaman. Saling menanyakan kabar. Kuberi dia sebatang rokok dan kopi hangat. Aku kasian melihatnya basah kuyup kedinginan demi seseorang sepertiku. Mungkin ini lah yang namanya seorang teman. Berani berkorban demi temannya. Kemudian dia mengajakku ke kantor kecamatan tempat Bapaknya bekerja.

“Tunggu sebentar ya, Gem, aku mandi dulu.” suruhnya dengan badan yang menggigil.

“Siap, Gem.” Jawabku.

Kadang aku suka tertawa dalam hati ketika kami berdua saling panggil dengan panggilan yang sama, ‘Gem’.

Kembali meracuni paru. Mengambil pena dan buku, berpuisi. Satu bait bertambah. Gema, temanku sudah selesai mandi. Dia langsung menyeduh dua gelas kopi untuk kami berdua. Aku kembali menawarkan rokok padanya agar tidak terlalu kedinginan. Dan kubuka pembicaraanku dengan sebuah pertanyaan,

“Bagimu hidup ini masih kutukan, Gem?” tanyaku sambil menghembuskan asap rokok.

“Hehe, iya, Gem.” Jawabnya dengan tersenyum.

Lama kami berbincang-bincang. Tentang perjalananku. Tentang Forgotten dan Addy Gembel. Dan juga tentang pertanyaan yang selalu mengiang di otakku, ‘Hidup ini apa? Dan untuk apa?’. Aku juga bercerita tentang wanita yang belum lama aku kenal. Bahkan pertama kami berdia bertemu aku membencinya. Tapi karena cara menyikapi hidupnya yang berbeda dengan orang lain, aku menjadi tertarik padanya.

“Kau tahu, Gem, ada seorang wanita yang belum lama aku kenal yang membuatku tertarik. Dia tak bisa menjawab pertanyaanku, ‘Hidup ini apa? Dan untuk apa?’ tapi dia bilang ‘Hidup atau mati. Diam atau bergerak. Melakukan apa yang saya suka dan membuatku bahagia itu baru namanya hidup. Dan untuk apa hidup ini? Biarkan semuanya mengalir.’ Jawabannya yang tak menjawab pertanyaanku membuatku tertarik, karena dia sudah sedikit membawaku kepada makna hakiki.” ceritaku tanpa menyebutkan nama wanita itu sambil menyambung nyawa dengan beberapa rokok dan meneguk kopi.

Tak lama kemudian dia meminta izin kepadaku untuk menjemput pacarnya. Lalu dia pergi meninggalkan ruangan. Dan aku kembali menyalakan rokok, meneguk kopi, berpuisi kembali dembari mendengarkan musik lewat headset yang tersambung ke iPodku.

Sekitar sepuluh menit dia sudah kembali bersama pacarnya. Aku sudah mengenal pacarnya. Dulu kami juga sudah sekali bertemu. Ada yang tak beres. Kunci gerbang kantor kecamatannya hilang. Aku tak bisa mengeluarkan motorku. Malam ini aku akan tidur di rumahnya. Dengan terpaksa saya dan Gema harus mengeluarkan motor lewat pintu kecil di belakang kantor dengan mengangkatnya karena tempat yang kami lewati lumayan tinggi.

“Maaf ya, Gem, jadi merepotkan.” sambil mengangkat motorku dia meminta maaf.

“Ah, tak apa. Santai we.” jawabku.

“Ekstrim ya, tdiak apa lah sekali-sekali ya, Gem. Mungkin Addy Gembel juga jika sedang Off-Road suka mengalami hal seperti ini.” Bicaranya.

“Haha, iya.” Sahutku sambil mengangkat bagian belakang motor.

Setelah kami berhasil mengeluarkan motorku, kami langsung bergegas pergi ke rumahnya. Tidak, kami berdua mengantarkan pacarnya terlebih dahulu.

Kami berdua memasuki gang-gang yang sempit. Lalu berhenti di depan sebuah rumah kecil yang berdempetan dengan rumah di sebelahnya. Aku sudah sampai di rumahnya. Sebelum beristirahat kami mengamankan motor kami terlebih dahulu. Rumahnya tidak terlalu besar dan tidak mewah. Namun semua ini sudah cukup untuk kami berdua tidur dan berteduh dari hujan dan panas.

Lagi, dia kembali menjamuku dengan segelas kopi. Kopi hitam pekat. Mataku menyapu setiap sudut rumahnya. Berantakan seperti tak terurus. Sebuah poster besar yang terbuat dari bahan spanduk bergambar seorang anak kecil terpampang di dinding berwarna kuning. Beberapa stiker bergambar Band idola kami berdua menempel di pintu lemari yang jadi sandaran duduknya. Sebuah surround speaker berwarna hitam dikeluarkannya dari lemari kecil tempat berdirinya kotak ilusi. Lalu ku putar sebuah lagu dari Forgotten lewat iPod yang tersambung dengan Surround speaker-nya.

“Begini nih, Gem, kalau punya pacar itu ribet.” dia memulai pembicaraan.

“Hahaha.” aku hanya tertawa. Mungkin dia merasa tidak enak membuatku untuk menunggu dia menjemput pacarnya. Padahal aku tak merasa keberatan. Aku asik dengan puisi yang kugurat di atas buku catatanku.

Lama kami berbincang tentang berbagai hal. Tentang obat-obatan yang pernah kami salah gunakan. Tentang berbagai jenis minuman dan narkotika yang pernah kami konsumsi. Tentang seringnya kami berdua disebut kafir oleh orang lain. Kami berdua sudah lelah menjelaskan panjang lebar tentang berbagai argumentasi yang pernah kami lontarkan, tentang penggalan-penggalan kata yang tertulis di baju kami, tentang lirik-lirik lagu yang suka kami dengar dan nyanyikan, tentang buku yang suka kami baca, dan apapun yang menyebabkan kami disebut kafir, kami lelah. Terserah orang lain mau berkata apa. Mereka takkan pernah tau seperti apa jiwa kami. Mereka hanya lah orang-orang yang malas berpikir. Namun ada beberapa pembicaraan membuatku bercerita panjang dan tidak lebar.

“Kamu sudah pernah pacaran belum, Gem?” dia bertanya padaku.

Aku tertawa dalam hati. Bibirku diam beberapa detik.

“Belum hahaha.” jawabku dengan mata yang tak menatapnya.

“Tapi pernah jatuh cinta kan?” tanyanya lagi.

“Layaknya seorang manusia. Ketika aku menduduki bangku kelas empat SD, aku pernah jatuh cinta pada seorang wanita. Bahkan masih. Sampai saat ini rasa itu masih ada, walalu mulai semu dan menipis” jawabku.

Kami terdiam sejenak. Mendengarkan suara Addy Gembel mengalun merdu menyanyikan lagu ‘Resital Apokalips’ bersama Forgotten.

“Aku hanya jatuh cinta kepada wanita yang memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi hidup ini. Seperti wanita yang tadi aku ceitakan. Akhir-akhir ini dia berhasil menarik hatiku. Hhhhh.” menarik nafas sejenak.

“Aku selalu banyak bertanya pada wanita yang berhasil membuatku tertarik. Hidup ini apa? Dan untuk apa? Mengapa kita dilahirkan? Kurasa aku tak pernah meminta untuk dilahirkan. Apa alasanmu dihalirkan? Mengapa kau lahir dari rahim ibumu sekarang? Gem, mengapa kau dilahirkan ke dunia ini?” jelasku. Dan diakhir ceritaku aku bertanya padanya.

“Tidak tahu. Hehehe.” jawabnya.

“Untuk sebuah alasan. Jika kau tak ada malam ini aku akan tidur dimana? Siapa yang akan memberikan poster dan stiker Forgotten ini? Jika kau tak dilahirkan kehidupan ini akan kacau. Banyak ‘sebab-akibat’ yang hilang. Memang bukan sesuatu yang susah bagi Tuhan untuk mengatur hidup ini walau tanpa sebab-akibat. Tapi bagaimana dengan manusia? Manusia yang kebanyakan percaya pada sesuatu yang rasional. Aku pasti kebingungan jika kau tak ada, Gem. Siapa yang memberikanku stiker dan poster ini. Mengapa aku bisa ada di rumah orang yang tidak berpenghuni ini. Jika seorang Addy Gembel tak ada mungkin sekarang aku masih menjadi orang bodoh yang apatis terhadap hidup ini.” Jelasku panjang dan tidak lebar.

Sudah tengah malam. Kami berdua memutuskan untuk tidur. Besok akan menjadi hari yang melelahkan.

Pukul setengah enam pagi aku terbangun. Bergegas untuk mandi. Tapi lupa gosok gigi. Dan habis mandi aku tak menolong ibu membersihkan tempat tidurku. Selesai aku mandi, Gema sudah terbangun dan bergegas mandi. Aku teringat dengan mimpiku semalam.

Sudah empat hari berturut-turut aku terus bermimpi wanita yang akhir-akhir ini membuatku tertarik. Rona damai lah namanya.

Kami berdua, Aku dan Gema berpakaian seadanya layaknya seorang Metalhead. Sebelum berangkat ke Lanud Sulaiman dia menjemput pacarnya. Kurang lebih lima belas menit aku menunggu sambil mendengarkan musik yang sarat dengan distorsi dan bising dia tiba dengan seorang wanita cantik berambut panjang memakai baju putih dan jaket levis, namanya Yulia. Menyuruhku untuk berangkat bersama adik-sepupunya. Aku tak keberatan.

Kami berangkat menuju medan peperangan terhadap hawa nafsu. Menyusuri gang-gang sempit. Menunggu lampu merah hingga beranjak kuning, lalu hijau. Menjemput adik-sepupunya. Namanya Aril. Tapi Aril tak jadi berangkat denganku. Kami melanjutkan perjalanan kami. Menyempil di antara kemacetan kota Bandung yang sangat menyebalkan. Menyusul angkutan-angkutan umum. Melewati jalan yang sedang dibangun sehingga sedikit menghambat perjalanan kami. Orang-orang yang berbaju hitam sudah mulai tampak di jalan yang kami lewati. Juga orang-orang yang berpakaian seperti yang mau main bola dan meronda. Sekitar lima belas menit kami sudah sampai di lokasi digelarnya Bandung Open Air.

Gerbang peperangan kami lewati. Menuju parkiran. Mengamankan kendaraan. Lekas pergi untuk segera memasuki kawasan peperangan dengan melewati pemeriksaan tiket dan senjata tajam. Tampak dua buah panggung berdiri angkuh di atas wajah bumi yang terselimuti oleh rumput hijau. Pembawa acara dari kedua panggung terdengar sedang ngabudah untuk mengisi waktu ketika Band yang akan tampil melakukan cecksound. Orang-orang berbaju hitam memenuhi bibr panggung Stage 1. Dan bibir panggung Stage 2 dipenuhi orleh orang-orang berambut Mohawk, tegak berdiri, anak-anak Punk. Begitu banyak berserak orang dewasa dan anak-anak korban mode yang katanya mereka itu anak Beatdown.

Kami, Saya, Gema, dan Yulia tak langsung pergi ke bibir panggung. Kami harus mengisi perut kami terlebih dulu dengan sarapan. Stand yang menjual nasi goreng kami masuki. Harganya Rp. 10.000. Semua dibayar oleh Gema, sodara seperlaknatanku. Betapa beruntungnya aku mempunyai teman sebaik dia. Setelah selesai makan, rokok kretek kami bakar dan hisap dalam untuk menghilangkan rasa enek. Bergegas menuju Stage 1. Kami bertiga tak berdiam tepat di bibir panggung. Agak jauh. Duduk menikmati asap nikotin menunggu Band yang kami sukai tampil.

“Ke depan yuk, Gem. Kita pemanasan dulu.” ajak Gema ketika salah satu Band Punk menghajar Stage 1.

“Gak ah. Kamu aja. Aku males. Entar aku nungguin Dajjal main.” jawabku menolak.

Dengan gagah berani Gema memasuki area Moshpit. Aku hanya duduk menunggu dengan pacarnya. Rokok kretek yang meminimalisir rasa enek di lidahku kubuang tanpa kumatikan terlebih dahulu. Menyambung nyawa. Kubakar sebatang rokok lagi. Kuhisap dalam. Menghembuskan beban.

Gema sudah kembali dari medan peperangan. Kami pergi ke belakang untuk menunggu Dajjar perfom. Tak lama kemudian segelas setelah menghabiskan satu gelas es cincau Dajjal pun main. Kami maju ke depan. Ternyata Band yang kutunggu tak sesuai harapanku. Soundsystem terdengar bagus. Namun suara vokalnya tak terdengar dengan jelas. Yang menarik dari Band ini adalah sang vokalis yang memakai kostum mirip Aligator. Bahkan ada orang yang menyebutnya sepeti Bagong. Aksi panggungnya pun bisa disebut edan.

“Turun.. turun.. turun..” teriak para penonton kepada sang vokalis.

Bukan karena performance mereka. Tapi karena ketika main sang vokalis selalu turun ke area Moshpit dan menyeruduk para para peserta Moshing.

Setelah sang vokalis turun aku memutuskan untuk mencari tempat yang teduh. Menunggu kembali Band-band yang kami sukai menghajar panggung. Walau aku tahu hari ini akan turun hujan, siang ini matahari begitu terik menyinari bumi Bandung. Aku benar-benar terkapar kepanasan merasakan neraka baru. Bumi yang dulunya begitu dingin beku tak peduli, sekarang dia murka terhadap manusia. Manusia yang merusaknya, mencoba menciptakan neraka-neraka baru. Orang-orang yang menebang pepohonan hanya demi untuk sebuah lahan bisnis. Aku heran, apakah mereka tak butuh udara?

Lama sudah kami hanya duduk termangu menunggu terik panas sinar mentari memudar. Menunggu Band-band yang kami sukai tampil. Gerombolan awan hitam tanpa senjata petir terhunus akhirnya memulai pertarungan mereka. Gerimis pun jatuh membasahi Bandung Open Air. Adik-sepupu Gema dan datang bersama dua temannya. Dua gelas kopi menemani kami menunggu di sebuah bangunan yang terdapat warung kopi dan nasi. Saya berkenalan dengan adik-sepupunya, namanya Aril. Dengan dua temannya.

Aril, seorang anak yang duduk dibangku kelas tiga SMP. Dia adalah seorang anak yatim. Kata Gema dia juga lihai bermain musik. Dan sekarang mempunyai sebuah Band bergenre Pure Punk.

“Eh, Gem, kita maju ke depan lagi yuk. Kalau di sini terus entar malah ngantuk lagi.” ajak Gema padaku.

Aku dan kawan-kawan pun maju ke depan. Beberapa Band kami lewati dengan hanya duduk dan merokok. Billfold, Outright, dan Band-band lainnya. Ketika Outright menghajar Stage 1, para ronggeng monyet pun beraksi. Dengan gaya berpakaian seperti pemain bola dan orang yang mau meronda mereka berjoget dengan gaya mereka sendiri. Sungguh menyebalkan. Saya bukan rasis. Ini hanya lah masalah selera. Saya hanya berdemokrasi. Bebas menyuarakan pendapat kalau mereka itu adalah ronggeng monyet usuman yang terseret oleh arus zaman. Sekali lagi saya tegaskan, ini bukan rasis. Ini adalah demokrasi.

Sekitar pukul empat sore Band yang saya tunggu pun akhirnya tampil. Lima orang memakai pakaian serba putih. Tiga dari wajah personil mereka menggunakan corpse paint, dan dua personil lagi menggunakan topeng. Mereka berpenampilan seperti setan, dan mereka juga mengakuinya bahwa itu adalah penampilan setan. Dalam setiap diri manusia itu memang terdapat setan-setan yang harus keliatan real. Mereka mengawali penampilannya dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum”. Siapa lagi kalau bukan Purgatory. Sebuah Band metal asal Jakarta yang mensuport dakwah lewat Musik. Aku memutus untuk masuk ke medan peperangan. Headbeng, saling menubrukan badan dengan Metalhead lainnya dan bernyanyi bersama. Ada yang menarik di sini. Orang-orang begitu antusias menyambut Band ini. Kami membuat dua lingkaran besar di bibir panggung. Saling berbagi rasa sakit.

“Selamat sore Bandung Open Air. Metalhead Bandung memang pada keren. Luar biasa.” puji sang vokalis.

“Jangan pernah malu untuk menjadi seorang Metalhead, sekaligus seorang Muslim yang taat. Kalau kalian mau Sholat, Sholat aja. Tidak usah malu. Bahkan kalau bisa ajak teman-teman kalian.” seru vokalis Purgatory.

Hebat. Ketika omongan para ustadz dan kiyai sudah tak didengar, mungkin orang-orang akan mendengarkan seruan dari seorang Musisi Metal. Mereka mengajak para Metalhead untuk bertakbir. Dan setelah membawakan lagu ‘MOGSAW’ mereka mengajak kami semua untuk bersolawat. Karena antusias dari para peserta Moshing panitia menyuruh mereka untuk membawakan satu lagu lagi. Mereka menutup performance mereka dengan mengucapkan kembali “Assalamu’alaikum”.

Aku keluar dari area Moshpit. Mencari keberadaan Gema dan Yulia. Berkeliling mencari keberadaan mereka tapi aku tak kunjung menemukannya. Dan tak tahunya mereka sedang berdiri berdua di pinggir stand kameramen menonton penampilan dari Revenge The Fate. Hhhhh. Akhirnya ketemu juga.

Waktu sudah menginjak Maghrib. Senja dihiasi awan kelabu. Acara dihentikan sejenak untuk menghargai kewajiban seorang Muslim.

“Sok nu ek istirahat, istirahat. Nu ek Sholat, Sholat. Nu ek dahar, gera dahar. Nu ek nginum arak, aing menta.” dengan nada keras MC Stage 2 menghentikan dulu acara.

“Istirahat di tempat gerak!” dia memberi komando.

Kami pun beristirahat sejenak. Menikmati beberapa batang rokok. Dan maju lagi ke depan ketika Burgerkill menghajar telinga para Metalhead. Mata kami mulai sulit untuk dikendalikan. Rasa kantuk mulai menyerang kami setelah semalam bersua tentang banyak hal sampai jam dua belas malam lebih. Kami, aku dan Gema sedang menunggu Band idola kami. Ketika Undergod tampil, Gema menepuk bahuku.

“Gem.. gem.. Lihat itu, Addy Gembel.” mendengar dia menyebutkan nama Addy Gembel rasa ngantuk yang hinggap di tubuhku sontak langsung hilang.

Kusapu setiap sudut dengan pandangan remang-remangku. Lalu Gema mengarahkan tangannya pada suatu tempat. Terlihat sesosok lelaki bertubuh tinggi dan buncit dengan rambut panjang yang diikat mengenakan jaket lekbong berwarna biru dan cargo hitam bergandengan tangan dengan seorang wanita bule. Addy Gembel. Dia juga ternyata ingin menonton penampilan Band-band lainnya.

“Eh minta foto bareng yuk, Gem.” responku ketika melihat dia ada di tengah-tengah penonton.

Kami pun dengan cepat berdiri dan menghampirinya. Gema bersalaman dengan Om Gembel.

“Kang ngiring foto bareng.” pinta Gema dengan wajah tersenyum.

“Sok, mangga.” jawab Om Gembel dengan wajah yang tersenyum pula.

Kami berfoto bareng dengannya. Sebenarnya aku kasian juga ketika ada orang yang ingin meminta berfoto dengannya, istrinya selalu mundur ke belakang, menjauhi Om Gembel untuk memberi ruang kepada Metalhead yang ingin berfoto dengan Om Gembel.

“Terimakasih, Kang.” ucap teman-temanku sambil bersalaman.

Setelah selesai berfoto ria aku tidak langsung pergi. Aku ingin bertanya terlebih dahulu kepada Om Gembel.

“Om, saya mau bertanya nih.” tanyaku.

“Apa? Mau tanya apa?” jawabnya.

“Maksud dari Sayap Hitam yang Enam Ke Dua dalam buku Tiga Angka Enam itu apa sih, Om? Saya tidak mengerti.” tanyaku. Karena sampai saat ini belum tahu apa sebenarnya yang ingin disampai oleh seorang Addy Gembel dari Bab ini.

“Hehe.. Jangan mengerti. Kalau mengerti kamu gak bakalan mikir.” jawabnya singkat dengan bibir tersenyum dan tangan yang menpuk bahuku.

Dengan tersenyum aku pun pamit dan sun tangan padanya. Dia masih tersenyum padaku.

Aku kembali ke teman-temanku. Mereka bertanya apa yang aku bicarakan dengan Om Gembel. Aku dan Gema belum puas, kami berdua ingin berfoto lagi dengannya. Kami pun kembali mendatangi Om Gembel.

“Om.. om.. boleh minta foto lagi gak? Sekali lagi aja. Bersama dua Gema, Om. Hehe..” pintaku memohon.

“Boleh.. boleh.. bawa tukang fotonya kemari.” jawab Addy Gembel masih dengan bibir tersenyum.

“Boleh pelukan gak, Om?” pintaku dengan wajah mengharap.

Dia mengiyakan permintaanku. Aku pun memeluknya dan dia memelukku dengan satu tangan yang mengacungkan simbol Metal Finger.

Kami pun foto bareng lagi dengannya. Seorang Addy Gembel kini diapit oleh dua orang Gema. Setelah selesai foto bareng kami kembali ke tempat tadi kami duduk. Melihat hasil foto kami bertiga. Walau hasilnya kurang memuaskan, aku senang malam ini aku bisa foto bareng, berpelukan dan ngobrol dengan Om Gembel, walau hanya sepatah dua patah kata. Aku senang. Aku bahagia. Inikah rasanya berpelukan dan ngobrol dengan seorang idola?

Kami mulai jenuh, tapi untung lah ketika jenuh hinggap, Mesin Tempur tampil dengan segala kekonyolannya yang bisa membuatku cenghar lagi.

“Sia barudak hardcore, anying? Letakan tah bool aing.” itu lah pembicaraan sang vokalis yang paling membuatku tertawa.

Seebelum Band idolaku, Forgotten tampil di atas panggung, sebuah Band yang mempelopori akulturasi antara budaya lokal dengan Musik Metal, Jasad, menghibur kami dengan kebisingan drumnya seperi senjata mesin. Man sebagai vokalis memberikan sedikit orasi tentang lagunya yang menceritakan budaya sunda, ajaran leluhur, dan juga tentang kebangkitan bangsa Sunda. Ditengah-tengah para Metalhead yang menyaksikan penampilan Jasad, Addy Gembel dan istrinya, Irina masih berada di bawah panggung. Aku menghampirinya.

“Forgotten gak jadi main ya Om?” tanyaku serius yang sempat kecewa karena aku pikir Forgotten gak jadi main.

“Jadi.” jawabnya.

“Kok masih di sini, Om, mainnya setelah Jasad kan?” tanyaku lagi.

“Iya. Saya nyanyi di sini. Hehehe..” dia bercanda sambil tertawa kecil dan memperagakan sedang nyanyi.

“Hahaha…” aku tertawa melihatnya.

Agak lama kami bertiga, aku, Om Gembel dan istrinya menyaksikan penampilan Jasad. Dan tak lama kemudian OM Gembel permisi kepadaku untuk pergi ke Stage 1 untuk melakukan persiapan. Aku pun tersenyum mempersilahkan. Tak perlu menunggu lagi, aku langsung maju menuju area Moshpit. Mununggu Forgotten melakukan cecksound.

Kujumpai puluhan Terlaknat semangat menunggu penampilan Band idola kami. Kuambil sebatang rokok dari kantung celana chargo-ku. Shit, korek gasku hilang. Meminjam api kepada seorang Terlaknat yang tepat berada di depanku. Tak lama kemudian para personil Forgotten mulai naik ke atas panggung. Aku merapat ke pagar pembatas pemisah antara area panggung dan Moshpit.

Gesekan tarawangsa dan petikan jentreng menyayat menghantarkan alam transidental yang mistis. Dufa bekas performance Jasad masih belum habis. Ada sehelai kekhusuan terbang melayang menyelinap pelan begitu dalam menghujam. Track ‘Bubuka’ menjadi Intro pembuka mereka tampil. Addy Gembel muncul daru kegelapan.

“Selamat malam Bandung Open Air.” teriaknya dengan semangat.

Kami pun berteriak dan memberikan aplaus penyambutan. Lagu pertama yang mereka mainkan adalah ‘Tuhan Profane’. Kami semua berteriak ikut bernyanyi. Mengeluarkan semua emosi dan energi negatif lewat sebuah teriakan. Malam ini mereka membawakan empat buah lagu. Dan sepanjang penampilan mereka kami berteriak semangat. Bahkan saking bahagianya aku bisa bernyanyi bersama berteriak lantang paling depan aku naik ke pagar pembatas dan disuruh turun oleh orang entah seorang crew atau bukan. Diakhir penampilan mereka aku naik ke pagar pembatas dan berteriak “I LOVE YOU OM GEMBEL”.

Malam ini aku sungguh puas. Setelah penampilan Forgotten selesai aku langsung pulang menginap di rumah Gema. Dan besoknya aku pulang ke rumahku di Tasikmalaya. Walau iPodku hilang, korek gasku hilang, uang tinggal sedikit, aku puas. Tak sebanding dengan apa yang ku alami. Aku bisa foto barng dengan Om Addy Gembel, berpelukan, ngobrol, dan teriak-teriak nyanyi bersama Forgotten dan para Terlaknat. Dan sekarang aku tahu mengapa Om Gembel jika menulis buku itu suka berbelit-belit sehingga membuat kita susah untuk memahaminya, dia ingin agar kita tak malas untuk berpikir. Agar kita mau berpikir untuk memahami sebuah tulisan. Jangan hanya ingin disuguhi oleh tulisan yang mudah dipahamai, yang hanya tinggal kita baca. Seperti aforismenya Nietzsche yang memerlukan lompatan logika dan pikiran yang luas.

Malam ini aku sungguh bahagia. Ketika langit tak dihiasi oleh para malaikat yang terbakar dan dua musuh yang bekerja sama. Ketika kabut hitam menyelimuti jubah hitam. Surga berdiri di atas neraka.