16 Juni 2013

Ketika Ruh dan Ragaku Berpisah

Kehidupan manusia di dunia, tak ubahnya sebuah perjalanan yang pasti ada akhirnya. Akhir dari perjalananku di dunia ini, untuk selanjutnya memulai sebuah perjalanan baru ke negeri yang masih asing? Itulah kematian. Kematianlah, akhir kisah hidup di dunia.

Lalu, adakah aku siap menjumpainya ketika malaikat pencabut nyawa sudah datang menjemput? Adakah aku siap ketika kain kafan akan membungkus tubuhku? Adakah aku siap ketika tubuhku akan diturunkan ke liang lahat? Ketika papan-papan menutup jasad, ketika gumpalan tanah menimbun, apakah aku siap? Aku pasti mati. Aku pasti berpisah dengan ibu bapakku. Merekakah yang akan berpulang lebih dulu? Ataukah malah aku yang mendahului mereka? Aku pasti berpisah dengan orang yang aku sayang. Betapapun aku teramat sayang kepadanya, Alloh pasti membuat kematian yang akan mengakhiri segalanya.

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati! Dan sakaratul maut itu sakit sekali, kambing saja yang tidak mempunyai dosa apapun, ketika disembelih, Alloh memperlihatkan kepada kita, betapa sulitnya ia meregang nyawa. Ayam adalah mahluk Alloh yang selalu bertasbih, dan karena itu ia bersih dari dosa. Tetapi, ketika disembelih betapa ia menggelepar-gelepar tanda teramat sakitnya melepas nyawa.

Aku pun demikian halnya. Semakin busuk diriku ketika hidup, mungkin saat-saat tercerabutnya nyawa dari badan akan merupakan saat-saat yang teramat pahit dan menderita. Tubuh ini laksana dibelit kawat berduri yang menghunjam ke setiap bagian otot, kemudian ditarik, sehingga tercabik-cabik dan tercerabut dari tulang.

Aku pasti akan meninggalkan segala yang apa aku cintai. Hanya kain kafan yang menemani. Mungkin saat-saat aku meninggal, orang-orang menangis, tapi mungkin juga sebaliknya, menertawakan. Jasad yang terbujur kaku pun dengan tanpa daya diusung orang menuju liang kubur. Ya, disanalah rumah terakhirku. Tidak ada yang aku bawa.

Aku akan dibaringkan menghadap kiblat. Kain kafan dibuka sedikit pada wajahku agar menyentuh tanah. Papan-papan pun akan mempersempit ruang lahat. Kemudian, pelan-pelan tanah akan menutup dang menghimpit, hingga tak ada sedikit pun ruang yang tersisa. Mungkin yang akan menimbunkan tanah itu justru orang-orang yang paling aku cintai.

Semakin lama semakin gelap dan pekat. Aku tak lagi mempunyai teman, selain amal baik. Harta, pangkat, jabatan, yang mati-matian kita cari sampai tidak ingat shalat, tidak ingat shaum, tidak ingat zakat. Semuanya tidak ada yang mampu menolong kita.

Saat itulah aku akan mempertanggungjawabkan segala apa yang pernah diperbuat di dunia. "Hai dungu," demikian mungkin aku disergah. "Mengapa engkau begitu zhalim kepada dirimu sendiri? Kepalamu tidak pernah kau gunakan untuk bersujud. Yang melingkar-lingkar dalam otakmu hanya urusan dunia belaka. Padahal ternyata semua itu tidak bisa kau bawa. Tanganmu berlumur aniaya, sedang berderma menolong sesama tidak pernah ada. Matamu bergelimang maksiat, sedang Al-Qur'an tidak pernah kau singkap dan kau lihat. Di telingamu hanya berdenging musik sia-sia dan kata-kata penuh maksiat, sedang kebenaran tak sedikit pun kau simak meski sesaat. Kenapa keningmu hanya kau dongakkan penuh keangkuhan, tetapi tidak sekalipun kau letakkan di atas sajadah kepasrahan?"

Mungkin saat itulah aku melolong-lolong menjerit penuh penyesalan. Ketika itulah akan kita rasakan gemeretaknya tulang-belulang di sekujur tubuh hancur luluh dihimpit oleh kubur yang teramat benci kepada jasad yang sarat bergelimang dosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar