23 Agustus 2014

Lodong


Sampai jumpa lagi di halaman lain. Apakah aku harus mengucapkannya?

Dulu, siapa yang menyangka bahwa kita akan bertemu, kenal, saling tertarik, penasaran, peduli, dekat, saling menyukai, jatuh cinta, saling menyayangi, saling tak menyangka satu sama lain, rasa sayang kita semakin dalam, kita berdua saling membenci, mengumpat, kita berdua sering berjanji untuk tak bertemu lagi, berpisah mungkin, tapi selalu ada sesuatu yang mempertemukan kita berdua, cinta kita semakin dekat, bahkan cinta kita menyatu dalam sebuah adegan percintaan suci di atas altar ranjang kewarasan pada malam-malam terlaknat? Apakah semua ini takdir? Apakah takdir itu memang ada? Siapa yang menciptakan takdir kita? Tuhan? Apa Tuhan itu benar-benar ada? Tak perlu bawa-bawa Tuhan, Dia tak ingin ambil bagian dalam percintaan kita, apalagi untuk ikut bercinta di atas ranjang. Ah, tidak, semua yang terjadi dalam hidup ini adalah atas izinnya, atas kehendaknya, begitu pula dengan rasa cinta dan percintaan kita, semua dosa kita, semua itu adalah berkat izin dan kehendak-Nya.

‘Selamat datang di neraka warisanku dan neraka yang kuciptakan sendiri.’ Aku rasa itulah kalimat yang pantas kuucapkan ketika kau bilang bahwa kau mencintaiku. Ya. Dulu aku pernah mengajakmu menikmati neraka, lelah pada neraka, menderita bersama dan saling tolong-menolong satu sama lain. Bukan ‘Aku juga mencintaimu, maukah kau jadi pacarku?’ Sialan! Bahkan pacaran tak diakui oleh Tuhanmu yang jarang kau puja dan sering kau lupakan dan tinggalkan.

Aku ingat bagaimana pertama kita bertemu dan saling menatap. Aku ingat bagaimana pertama kali kita saling menyapa. Apa kau ingat? Lupakan lah! Kita berdua sama-sama tertarik. Aku tertarik padamu karena kau terlihat seperti orang yang selalu ceria dan selalu bisa menikmati hidup ini. Bebas dari masalah? Tidak, kau juga manusia. Bahkan setelah dekat denganmu, ternyata kau adalah anak kecil yang memiliki kehendak cacat. Dan dulu aku ingin belajar padamu bagaimana kau bisa seceria itu. Kita, sebagai orang dewasa keparat yang rumit memang harus belajar tersenyum dan tertawa lepas pada anak ingusan, bermain kala senja hingga lupa akan kekhawatiran dan kemarahan ibu di rumah. Aku ingin belajar bagaimana agar tidak mengumpat-ngumpat hidup ini.

Lalu, mengapa aku mencintaimu? Aku tak tahu. Seperti jawabanmu. Apakah perlu alasan eksplisit? Cinta datang begitu saja, tanpa kita sadari, tanpa kita inginkan, tanpa kita rencanakan, seperti hidup ini? Mengapa hidup ini ada? Darimana asalnya? Apa kau pernah menginginkan dan merencanakan untuk ambil bagian dalam hidup sialan yang kadang absurd ini? Kehidupan manusia yang berawal dari Adam, atau mungkin monyet yang yang tak bertahan hidup dalam keadaan alam pada saat itu dan mengalami evolusi dengan waktu yang sangat lama akibat rangsangan alam dan mutasi gen? Maukah kau mengakui bahwa Adam dan Hawa adalah nenek-moyang kita? Atau monyet, binatang? Jika kau tak mau mengakui binatang sebagai nenek-moyangmu, mengapa kau mengadopsi gaya bercinta binatang seperti gaya bercinta anjing? Oh, anjing-anjing yang bercinta di kamar suci sembari berdiskusi tentang kebenaran eksistensi Tuhan, setan, malaikat, surga, neraka, baik, buruk, realitas, politik, ekonomi, sosial, filsafat, cinta, tidakkah kita sadar bahwa nafsu keingintahuan kita akan kebenaran sedikit demi sedikit telah menyingkap tabir penipuan dengan iming-iming kebahagiaan yang maha dan abadi? Tidak sopan. Ya, mungkin.

Kau harus tahu, aku tak mencintaimu apa adanya. Aku mencintaimu ada apanya. Karena ada sesuatu (ada apanya) dalam dirimu yang belum kuketahui dan begitu kuat membuatku bisa mencintaimu, begitu menyayangimu, dan tulus menjagamu. Untuk keburukan dan kejahatanmu yang memang kau anggap buruk dan jahat, selama itu tak merugikan orang lain, bagiku semua itu adalah baik. Seperti yang kita bicarakan di kamarku, setelah lelah bercinta, orientasi baik dan burukku adalah semua tindakan baik dan tak ada yang lebih baik, kecuali yang merugikan orang lain. Hidup ini bebas. Bebas! Layaknya sebuah kebebasan yang menjadi salah satu dari tindakan hidup, kebebasan juga memiliki konsekuensi. Dan pada kenyataannya kebebasan kita juga tak bisa bertubrukan dengan kebebasan orang lain, dan kita tak boleh melepaskan kebebasan kita lalu merampas kebebasan orang lain. Aku mencintaimu baik, buruk, dan jahatmu. Kau tak perlu khawatir bahwa cintaku akan meredup, atau bahkan lenyap jika aku mengetahui semua keburukan dan kejahatanmu. Bukankah sekarang kita sudah saling mengetahui semua keburukan dan kejahatan masing-masing? Dan kau bisa merasakannya tadi pagi, kita masih selalu saling menyayangi.

Cinta kita berdua tak memerlukan perantara, alat sebagai perantara yang kadang disalah-pahami sebagai wujud konkrit si Tuhan atau tujuan, dan embel-embel lainnya. Seperti patung Budha, patung bunda Maria, Salib Jesus, Ka’bah, yang banyak dikritisi para agamawan dan umat yang kritis karena seringkala orang menuhankan alat bantu yang sebenarnya hanya menjadi jembatan antara Tuhan (jika Tuhan memang ada) dan manusia. Jika kita berdua saling mencintai, kita berdua bisa bercinta. Jika kau mencintai Tuhan, apa kau bisa bercinta dengan Tuhan?

Apa yang telah kita lalui hanya lah masa lalu, yang kita ingat dan kita lupakan, yang kita kenang dan kita buang. Aku tahu aku mencintaimu. Aku tak peduli itu hanya sesaat atau selamanya. Semua yang ada di dunia ini hanya lah fana belaka. Tak ada yang abadi, kecuali perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar