Sampai jumpa lagi di halaman
lain. Apakah aku harus mengucapkannya?
Dulu, siapa yang menyangka
bahwa kita akan bertemu, kenal, saling tertarik, penasaran, peduli, dekat,
saling menyukai, jatuh cinta, saling menyayangi, saling tak menyangka satu sama
lain, rasa sayang kita semakin dalam, kita berdua saling membenci, mengumpat,
kita berdua sering berjanji untuk tak bertemu lagi, berpisah mungkin, tapi
selalu ada sesuatu yang mempertemukan kita berdua, cinta kita semakin dekat,
bahkan cinta kita menyatu dalam sebuah adegan percintaan suci di atas altar
ranjang kewarasan pada malam-malam terlaknat? Apakah semua ini takdir? Apakah
takdir itu memang ada? Siapa yang menciptakan takdir kita? Tuhan? Apa Tuhan itu
benar-benar ada? Tak perlu bawa-bawa Tuhan, Dia tak ingin ambil bagian dalam
percintaan kita, apalagi untuk ikut bercinta di atas ranjang. Ah, tidak, semua
yang terjadi dalam hidup ini adalah atas izinnya, atas kehendaknya, begitu pula
dengan rasa cinta dan percintaan kita, semua dosa kita, semua itu adalah berkat
izin dan kehendak-Nya.
‘Selamat datang di neraka
warisanku dan neraka yang kuciptakan sendiri.’ Aku rasa itulah kalimat yang
pantas kuucapkan ketika kau bilang bahwa kau mencintaiku. Ya. Dulu aku pernah
mengajakmu menikmati neraka, lelah pada neraka, menderita bersama dan saling
tolong-menolong satu sama lain. Bukan ‘Aku juga mencintaimu, maukah kau jadi
pacarku?’ Sialan! Bahkan pacaran tak diakui oleh Tuhanmu yang jarang kau puja
dan sering kau lupakan dan tinggalkan.
Aku ingat bagaimana pertama
kita bertemu dan saling menatap. Aku ingat bagaimana pertama kali kita saling
menyapa. Apa kau ingat? Lupakan lah! Kita berdua sama-sama tertarik. Aku
tertarik padamu karena kau terlihat seperti orang yang selalu ceria dan selalu
bisa menikmati hidup ini. Bebas dari masalah? Tidak, kau juga manusia. Bahkan
setelah dekat denganmu, ternyata kau adalah anak kecil yang memiliki kehendak
cacat. Dan dulu aku ingin belajar padamu bagaimana kau bisa seceria itu. Kita,
sebagai orang dewasa keparat yang rumit memang harus belajar tersenyum dan
tertawa lepas pada anak ingusan, bermain kala senja hingga lupa akan
kekhawatiran dan kemarahan ibu di rumah. Aku ingin belajar bagaimana agar tidak mengumpat-ngumpat hidup ini.
Lalu, mengapa aku mencintaimu?
Aku tak tahu. Seperti jawabanmu. Apakah perlu alasan eksplisit? Cinta datang
begitu saja, tanpa kita sadari, tanpa kita inginkan, tanpa kita rencanakan,
seperti hidup ini? Mengapa hidup ini ada? Darimana asalnya? Apa kau pernah
menginginkan dan merencanakan untuk ambil bagian dalam hidup sialan yang kadang
absurd ini? Kehidupan manusia yang berawal dari Adam, atau mungkin monyet yang
yang tak bertahan hidup dalam keadaan alam pada saat itu dan mengalami evolusi
dengan waktu yang sangat lama akibat rangsangan alam dan mutasi gen? Maukah kau
mengakui bahwa Adam dan Hawa adalah nenek-moyang kita? Atau monyet, binatang?
Jika kau tak mau mengakui binatang sebagai nenek-moyangmu, mengapa kau
mengadopsi gaya bercinta binatang seperti gaya bercinta anjing? Oh, anjing-anjing
yang bercinta di kamar suci sembari berdiskusi tentang kebenaran eksistensi
Tuhan, setan, malaikat, surga, neraka, baik, buruk, realitas, politik, ekonomi,
sosial, filsafat, cinta, tidakkah kita sadar bahwa nafsu keingintahuan kita
akan kebenaran sedikit demi sedikit telah menyingkap tabir penipuan dengan
iming-iming kebahagiaan yang maha dan abadi? Tidak sopan. Ya, mungkin.
Kau harus tahu, aku tak
mencintaimu apa adanya. Aku mencintaimu ada apanya. Karena ada sesuatu (ada
apanya) dalam dirimu yang belum kuketahui dan begitu kuat membuatku bisa
mencintaimu, begitu menyayangimu, dan tulus menjagamu. Untuk keburukan dan
kejahatanmu yang memang kau anggap buruk dan jahat, selama itu tak merugikan
orang lain, bagiku semua itu adalah baik. Seperti yang kita bicarakan di
kamarku, setelah lelah bercinta, orientasi baik dan burukku adalah semua
tindakan baik dan tak ada yang lebih baik, kecuali yang merugikan orang lain.
Hidup ini bebas. Bebas! Layaknya sebuah kebebasan yang menjadi salah satu dari
tindakan hidup, kebebasan juga memiliki konsekuensi. Dan pada kenyataannya
kebebasan kita juga tak bisa bertubrukan dengan kebebasan orang lain, dan kita
tak boleh melepaskan kebebasan kita lalu merampas kebebasan orang lain. Aku
mencintaimu baik, buruk, dan jahatmu. Kau tak perlu khawatir bahwa cintaku akan
meredup, atau bahkan lenyap jika aku mengetahui semua keburukan dan kejahatanmu.
Bukankah sekarang kita sudah saling mengetahui semua keburukan dan kejahatan
masing-masing? Dan kau bisa merasakannya tadi pagi, kita masih selalu saling
menyayangi.
Cinta
kita berdua tak memerlukan perantara, alat sebagai perantara yang kadang
disalah-pahami sebagai wujud konkrit si Tuhan atau tujuan, dan embel-embel
lainnya. Seperti patung Budha, patung bunda Maria, Salib Jesus, Ka’bah, yang banyak
dikritisi para agamawan dan umat yang kritis karena seringkala orang menuhankan
alat bantu yang sebenarnya hanya menjadi jembatan antara Tuhan (jika Tuhan
memang ada) dan manusia. Jika kita berdua saling mencintai, kita berdua bisa
bercinta. Jika kau mencintai Tuhan, apa kau bisa bercinta dengan Tuhan?
Apa yang telah kita lalui
hanya lah masa lalu, yang kita ingat dan kita lupakan, yang kita kenang dan
kita buang. Aku tahu aku mencintaimu. Aku tak peduli itu hanya sesaat atau selamanya.
Semua yang ada di dunia ini hanya lah fana belaka. Tak ada yang abadi, kecuali
perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar