Seperti biasa pagi-pagi saya
selalu bikin kopi dan meracuni paru dengan nikotin. Dan pagi ini saya packing barang-barang. Hari ini saya akan
berangkat ke Bandung, karena besok ada event Bandung Open Air, tentunya ada
Band monster Deathmetal sekaligus Sastra, Forgotten.
Saya tidak langsung berangkat
ke Bandung. Mampir dulu ke rumah teman seperbotolan hanya untuk sekedar ngopi,
merokok dan bersua tentang lagu yang tempo hari kami track recording. Hari ini lagu itu sudah selesai melewati proses mixing, dan telah menunggu untuk kami
jemput.
Lagu yang kami ciptakan bukan
lagu Metal, Punk, Hardcore atau musik-musik yang selalu dianggap Underground oleh orang-orang. Kami
mencoba memadukan antara Musikalisasi Puisi, Alternatif, dan juga Metalcore.
Soal respon dari masyarakat kami sudah tak memperdulikannya lagi. Kami bermusik
untuk diri kami sendiri. Kami menciptakan lagu untuk kami dengarkan sendiri.
Tak peduli apa kata orang-orang yang merasa paling pintar dan paling benar. Tak
peduli pada kontra yang terjadi dalam sebuah korelasi. Kami puas, karena lagu
itu nyaman di telinga kami. Dan jika kalian ingin mendengarkan sebuah karya
dari kami, kalian bisa mendownloadnya di sini.
Rokok sudah menjadi abu, hanya
menysiakan gabus filter. Kopi hanya menyisakan ampas hitam. Aku pamit untuk
berangkat kuliah terlebih dahulu. Hari ini aku ada mata kuliah Algoritma dan
Pemrograman. Walau aku sudah muak kuliah di jurusan Teknik Informatika, aku
tetap masuk. Di satu sisi aku sudah muak dan penat kuliah di jurusan ini dan di
satu sisi aku juga ingin membahagiakan orang tua dengan menuruti kemauannya.
Aku ingin pindah jurusan ke Sastra Indonesia atau Filsafat, tapi aku belum tahu
bagaimana caranya bicara pada orang tuaku agar mereka mengerti. Setiap orang
mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap orang mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda. Dan aku terlalu bodoh untuk kuliah di jurusan
Teknik Informatika. Setiap hari hanya menghitung menggunakan rumus yang usianya
sudah beberapa tahun, dan mungkin juga puluhan tahun. Monoton. Sungguh
membosankan.
Aku tak mempunyai keinginan
untuk melakukan sesuatu dengan teknologi di dunia ini. Aku hanya ingin melakukan
sesuatu dengan hidupku, dengan kehidupan ini, menggunakan Sastra dan Filasafat.
Teknologi secanggih apa pun takkan pernah bisa mempengaruhi cara berpikir
seseorang dan bagaimana cara seseorang menyikapi hidup ini. Aku ingin merubah
semua standarisasi bodoh yang sudah dibukukan oleh kebanyakan manusia.
Bagaimana kuliahku hari ini?
Seperti hari-hari sebelumnya. Hanya menghitung dan memahami rumus yang monoton.
Aku termasuk orang yang bodoh dan benci terhadap perhitungan dan rumus. Lalu
kenapa aku masuk jurusan Teknik Informatika? Hanya sebuah paksaan orang tua.
Mereka berhak.
Tapi sekarang aku sudah mulai penat kuliah di jurusan Teknik Informatika yang mereka suruh. Ini bukan
perlawanan pada orang tua, ini soal hidupku sendiri, lihat jadinya jika aku
terlalu menuruti semua yang kalian mau, lihat jadinya seperti apa aku sekarang.
Aku bukan tidak ingin berterimakasih, justru aku sangat berterimakasih pada
kalian yang sedalam-dalamnya, kalian sudah membesarkanku, memberi kasih sayang
padaku. Tapi sekarng aku harus buat keputusan soal hidupku sendiri. Yang aku
butuhkan bukan kemarahan dan emosi kalian yang tidak ada habisnya, dan juga
semua kemauan-kamuan kalian yang harus selalu aku turuti. Aku butuh suport dan
dukungan dari kalian. Coba lah mengerti anak kalian ini. Sekarang anak kalian
ini sudah besar. Percaya lah padaku. Aku sudah tahu sekarng aku harus
bagaimana, aku sudah tahu fungsiku apa, aku mau nulis, aku mau nulis semua yang
ada di kepalaku, di hatiku, apa yang terjadi di negara ini, apa yang terjadi di
dunia, pokoknya aku mau nulis semuanya. Jika nanti semua itu tak ada gunanya
buat kalian, mudah-mudahan ada gunanya buatku dan juga orang lain. Ah, sudah
lah.
Hari ini aku tak bepergian
bersama Vespa bututku. Dia sedang sakit dan dirawat di rumah mogok. Sepertinya
mesinnya harus dioperasi. Aku berangkat menunggangi motor matic-ku yang sekarang suka dipakai adikku. Setelah seleasi kuliah
yang membosankan aku bergegas menuju studio recording untuk menjemput puisi
pertamaku yang aku tungkan ke dalam sebuah bentuk mp3. Cukup memuaskan. Sepanjang jalan menuju Bandung aku terus
mendengarkan puisi atau juga lagu kami dengan pengaturan repeat. Puisi atau lagu ini kurang tepat bila disebut sebuah karya.
Puisi atau lagu ini lebih tepatnya sebuah curahan jiwaku sendiri.
Di awal perjalanan Tuhan
menaungiku dengan langit berawan hitam, lalu membasahiku dengan hujan. Sedikit
menyebalkan karena kadang jalanan yang licin membuat ban belakang motorku
tergelincir dan hampir tabrakan dengan orang lain. Dan anehnya hari ini,
sepanjang perjalanan ini aku takut mati. Seumur hidupku ini, baru kali ini aku
takut pada yang namanya kematian. Entah apa yang mentranfusikan rasa takut itu.
Memasuki Lingkar Nagreg aku
beristirahat sejenak, memesan kopi di warung-warung pinggir jalan dan menikmati
beberapa batang rokok dan pemandangan perbukitan, karena aku sudah mulai merasa
lelah menyusul mobil-mobil besar pengangkut industri kapitalis yang sangat
menyebalkan. Asap mesinnya yang bisa mencemari udara dan merusak lapisan ozon atmosfer
planet ini. Mengapa industri pabrik dan kendaraan bermotor yang bisa merusak
lapisan ozon tidak dilirang? Padahal asapnya bisa merusak lapisan ozon,
bagaimana jika asap itu masuk ke dalam tubuh kita? Tapi rokok yang tidak bisa
merusak lapisan ozon dan gampang terkikis oleh oksigen dilarang? Begitu
banyaknya aku jumpai tulisan dan simbol anti asap rokok. Apa karena industri
pabrik dan kendaraan bermotor itu aset perusahaan luar negeri? Apa pemereintah
sudah bisa disuap dan berpihak pada mereka? Padahal tembakau itu adalah aset
budaya negara ini. Mengapa pemerintah ingin menyingkirkan budaya bangsanya
sendiri. Ini semua kamuflase, vroh. Orang zaman dulu, kakek, buyut dan
leluhurku bertaun-taun merokok, dan umurnya tetap lama. Berbagai penyakit dan
umur yang pendek zaman sekarang ini bukan disebabkan oleh asap rokok. Tapi
makanan dan minuman yang sudah dicampur bahan-bahan yang berbahaya seperti
bahan kimia. Dan yang harus kialian ketahui, umur kita ini sudah ditentukan
sebelum kita merasakan menghirup udara dunia fana ini. Asap rokok tidak akan
pernah bisa melawan dan merubah ketentuan-Nya. Dan yang selalu membuatku ingin
tertawa yaitu jika aku menemukan tulisan “Matikan lah rokokmu sebelum rokok itu
mematikanmu”. Sepertinya tugas malaikat pencabut nyawa sudah digantikan oleh
sebuah asap rokok. Mungkin malaikat pencabut nyawa itu sudah lelah melaksanakan
tugasnya dan memilih untuk menjadi seorang pengangguran.
Tetes terakhir dari kopi yang
kupesan sudah menyentuh lidahku. Hisapan terakhir dari sebatang rokok sudah
masuk ke dalam paruku yang kadang nyeri dan batuk. Kulanjutkan perjalananku.
Soundtrack yang mengalun di telingaku masih sama, ‘Di Sudut Senja’, puisi dan
lagu dari curahan jiwa. Satu jam kemudian aku sudah memasuki Kota Kembang yang
sudah ternodai oleh kotornya modernisme. Suasana macet yang membuatku urung
untuk kuliah di Bandung mulai menghiasi perjalananku.
Sebelum aku ke rumah sodara
seperlaknatanku aku memutuskan untuk mampir ke rumah teman SMA-ku yang kuliah
di ITENAS. Rencanannya hari kamis besok kami akan menghadiri perilisan album,
buku, dan dvd dari Sarasvati. Setelah mampir aku langsung meluncur ke rumah
sodara seperlaknatanku. Aku disuruh menunggu di kantor kecamatan tempat
Bapaknya bekerja.
Aku memutuskan untuk duduk di
trotoar, di luar gerbang. Mengambil air mineral yang kubawa, haus. Kembali
menyalakan sebatang rokok. Hhhhh. Bandung sudah tak alami. Kuambil pena hitamku
dan kubuka buku catatan jiwaku. Sembari menunggu temanku, di tengah-tengah
kebisingan kendaraan kota Bandung, kututupi telingaku dengan headset yang
mengalunkan sebuah musik merdu dan menyayat rasa. Mengguratkan pena pada sebuah
lembar kertas putih yang suci, berpuisi. Awan hitam yang menggenggam petir
terhunus kembali berperang. Darah mereka yang suci pun kembali tumpah membasahi
wajah bumi yang sudah tua dan diracuni oleh berbagai polutan. Kegiatan
berpuisiku terpaksa berpindah dan sampai pada warung kopi yang tak jauh dari
sana. Memesan segelas kopi. Tiga bait puisi kelam tertulis dan menodai kertas
suci. Air kopi yang mengisi gelas sudah habis setengahnya. Beberapa menit
kemudian seseorang menepuk bahuku yang telah asik berpuisi di syahdunya suasana
hujan. Dia lah sodara seperlaknatanku, Gema. Namanya adalah Gema Hamzah
Qomarudin.
Aku mengenal Gema dari Sosial Media Facebook. Ketika orang lain sibuk
mencari orang untuk dijadikan seorang pacar, aku sibuk mencari seorang teman.
Entah bagaimana akun facebook-ku bisa
terhubung dengannya. Bukkankah tak ada yang namanya kebetulan. Dulu kami pernah
bertemu sekali. Banyak kesamaan di antara kami berdua. Namanya sama dengan
namaku, ‘Gema’. Dia juga seorang fans dari neraka yang mengagumi seorang Addy
Gembel dan Bandnya Forgotten. Seorang perokok aktif. Dan tentunya dia juga sama
denganku, yaitu seorang TERLAKNAT. Postur tubuhnya tinggi dan kering akibat
dari efek obat-obatan.
“Woy, Gem, aku kira siapa.
Kesini hujan-hujanan?” sapaku.
“Iya, hehe. Aku kasian kamu
nungguin aku lama.” jawabnya.
Sebenarnya aku tak bosan
menunggunya. Bahkan aku asik sendiri berpuisi.
Kami berdua bersalaman. Saling
menanyakan kabar. Kuberi dia sebatang rokok dan kopi hangat. Aku kasian
melihatnya basah kuyup kedinginan demi seseorang sepertiku. Mungkin ini lah
yang namanya seorang teman. Berani berkorban demi temannya. Kemudian dia
mengajakku ke kantor kecamatan tempat Bapaknya bekerja.
“Tunggu sebentar ya, Gem, aku
mandi dulu.” suruhnya dengan badan yang menggigil.
“Siap, Gem.” Jawabku.
Kadang aku suka tertawa dalam
hati ketika kami berdua saling panggil dengan panggilan yang sama, ‘Gem’.
Kembali meracuni paru.
Mengambil pena dan buku, berpuisi. Satu bait bertambah. Gema, temanku sudah
selesai mandi. Dia langsung menyeduh dua gelas kopi untuk kami berdua. Aku
kembali menawarkan rokok padanya agar tidak terlalu kedinginan. Dan kubuka
pembicaraanku dengan sebuah pertanyaan,
“Bagimu hidup ini masih
kutukan, Gem?” tanyaku sambil menghembuskan asap rokok.
“Hehe, iya, Gem.” Jawabnya
dengan tersenyum.
Lama kami berbincang-bincang.
Tentang perjalananku. Tentang Forgotten dan Addy Gembel. Dan juga tentang
pertanyaan yang selalu mengiang di otakku, ‘Hidup ini apa? Dan untuk apa?’. Aku
juga bercerita tentang wanita yang belum lama aku kenal. Bahkan pertama kami
berdia bertemu aku membencinya. Tapi karena cara menyikapi hidupnya yang
berbeda dengan orang lain, aku menjadi tertarik padanya.
“Kau tahu, Gem, ada seorang
wanita yang belum lama aku kenal yang membuatku tertarik. Dia tak bisa menjawab
pertanyaanku, ‘Hidup ini apa? Dan untuk apa?’ tapi dia bilang ‘Hidup atau mati.
Diam atau bergerak. Melakukan apa yang saya suka dan membuatku bahagia itu baru
namanya hidup. Dan untuk apa hidup ini? Biarkan semuanya mengalir.’ Jawabannya
yang tak menjawab pertanyaanku membuatku tertarik, karena dia sudah sedikit
membawaku kepada makna hakiki.” ceritaku tanpa menyebutkan nama wanita itu sambil
menyambung nyawa dengan beberapa rokok dan meneguk kopi.
Tak lama kemudian dia meminta
izin kepadaku untuk menjemput pacarnya. Lalu dia pergi meninggalkan ruangan.
Dan aku kembali menyalakan rokok, meneguk kopi, berpuisi kembali dembari
mendengarkan musik lewat headset yang tersambung ke iPodku.
Sekitar sepuluh menit dia
sudah kembali bersama pacarnya. Aku sudah mengenal pacarnya. Dulu kami juga
sudah sekali bertemu. Ada yang tak beres. Kunci gerbang kantor kecamatannya
hilang. Aku tak bisa mengeluarkan motorku. Malam ini aku akan tidur di
rumahnya. Dengan terpaksa saya dan Gema harus mengeluarkan motor lewat pintu
kecil di belakang kantor dengan mengangkatnya karena tempat yang kami lewati lumayan
tinggi.
“Maaf ya, Gem, jadi
merepotkan.” sambil mengangkat motorku dia meminta maaf.
“Ah, tak apa. Santai we.”
jawabku.
“Ekstrim ya, tdiak apa lah
sekali-sekali ya, Gem. Mungkin Addy Gembel juga jika sedang Off-Road suka mengalami hal seperti ini.”
Bicaranya.
“Haha, iya.” Sahutku sambil
mengangkat bagian belakang motor.
Setelah kami berhasil
mengeluarkan motorku, kami langsung bergegas pergi ke rumahnya. Tidak, kami
berdua mengantarkan pacarnya terlebih dahulu.
Kami berdua memasuki gang-gang
yang sempit. Lalu berhenti di depan sebuah rumah kecil yang berdempetan dengan
rumah di sebelahnya. Aku sudah sampai di rumahnya. Sebelum beristirahat kami
mengamankan motor kami terlebih dahulu. Rumahnya tidak terlalu besar dan tidak
mewah. Namun semua ini sudah cukup untuk kami berdua tidur dan berteduh dari
hujan dan panas.
Lagi, dia kembali menjamuku
dengan segelas kopi. Kopi hitam pekat. Mataku menyapu setiap sudut rumahnya.
Berantakan seperti tak terurus. Sebuah poster besar yang terbuat dari bahan
spanduk bergambar seorang anak kecil terpampang di dinding berwarna kuning.
Beberapa stiker bergambar Band idola kami berdua menempel di pintu lemari yang
jadi sandaran duduknya. Sebuah surround speaker berwarna hitam
dikeluarkannya dari lemari kecil tempat berdirinya kotak ilusi. Lalu ku putar
sebuah lagu dari Forgotten lewat iPod yang tersambung dengan Surround speaker-nya.
“Begini nih, Gem, kalau punya pacar itu ribet.” dia
memulai pembicaraan.
“Hahaha.” aku hanya tertawa. Mungkin dia merasa tidak enak
membuatku untuk menunggu dia menjemput pacarnya. Padahal aku tak merasa
keberatan. Aku asik dengan puisi yang kugurat di atas buku catatanku.
Lama kami berbincang tentang berbagai hal. Tentang
obat-obatan yang pernah kami salah gunakan. Tentang berbagai jenis minuman dan
narkotika yang pernah kami konsumsi. Tentang seringnya kami berdua disebut
kafir oleh orang lain. Kami berdua sudah lelah menjelaskan panjang lebar
tentang berbagai argumentasi yang pernah kami lontarkan, tentang
penggalan-penggalan kata yang tertulis di baju kami, tentang lirik-lirik lagu
yang suka kami dengar dan nyanyikan, tentang buku yang suka kami baca, dan
apapun yang menyebabkan kami disebut kafir, kami lelah. Terserah orang lain mau
berkata apa. Mereka takkan pernah tau seperti apa jiwa kami. Mereka hanya lah
orang-orang yang malas berpikir. Namun ada beberapa pembicaraan membuatku
bercerita panjang dan tidak lebar.
“Kamu sudah pernah pacaran belum, Gem?” dia bertanya
padaku.
Aku tertawa dalam hati. Bibirku diam beberapa detik.
“Belum hahaha.” jawabku dengan mata yang tak menatapnya.
“Tapi pernah jatuh cinta kan?” tanyanya lagi.
“Layaknya seorang manusia. Ketika aku menduduki bangku
kelas empat SD, aku pernah jatuh cinta pada seorang wanita. Bahkan masih. Sampai
saat ini rasa itu masih ada, walalu mulai semu dan menipis” jawabku.
Kami terdiam sejenak. Mendengarkan suara Addy Gembel
mengalun merdu menyanyikan lagu ‘Resital Apokalips’ bersama Forgotten.
“Aku hanya jatuh cinta kepada wanita yang memiliki cara
yang berbeda dalam menyikapi hidup ini. Seperti wanita yang tadi aku ceitakan.
Akhir-akhir ini dia berhasil menarik hatiku. Hhhhh.” menarik nafas sejenak.
“Aku selalu banyak bertanya pada wanita yang berhasil
membuatku tertarik. Hidup ini apa? Dan untuk apa? Mengapa kita dilahirkan?
Kurasa aku tak pernah meminta untuk dilahirkan. Apa alasanmu dihalirkan?
Mengapa kau lahir dari rahim ibumu sekarang? Gem, mengapa kau dilahirkan ke
dunia ini?” jelasku. Dan diakhir ceritaku aku bertanya padanya.
“Tidak tahu. Hehehe.” jawabnya.
“Untuk sebuah alasan. Jika kau tak ada malam ini aku akan
tidur dimana? Siapa yang akan memberikan poster dan stiker Forgotten ini? Jika
kau tak dilahirkan kehidupan ini akan kacau. Banyak ‘sebab-akibat’ yang hilang.
Memang bukan sesuatu yang susah bagi Tuhan untuk mengatur hidup ini walau tanpa
sebab-akibat. Tapi bagaimana dengan manusia? Manusia yang kebanyakan percaya
pada sesuatu yang rasional. Aku pasti kebingungan jika kau tak ada, Gem. Siapa
yang memberikanku stiker dan poster ini. Mengapa aku bisa ada di rumah orang
yang tidak berpenghuni ini. Jika seorang Addy Gembel tak ada mungkin sekarang
aku masih menjadi orang bodoh yang apatis terhadap hidup ini.” Jelasku panjang
dan tidak lebar.
Sudah tengah malam. Kami
berdua memutuskan untuk tidur. Besok akan menjadi hari yang melelahkan.
Pukul setengah enam pagi aku
terbangun. Bergegas untuk mandi. Tapi lupa gosok gigi. Dan habis mandi aku tak
menolong ibu membersihkan tempat tidurku. Selesai aku mandi, Gema sudah
terbangun dan bergegas mandi. Aku teringat dengan mimpiku semalam.
Sudah empat hari
berturut-turut aku terus bermimpi wanita yang akhir-akhir ini membuatku
tertarik. Rona damai lah namanya.
Kami berdua, Aku dan Gema
berpakaian seadanya layaknya seorang Metalhead.
Sebelum berangkat ke Lanud Sulaiman dia menjemput pacarnya. Kurang lebih lima
belas menit aku menunggu sambil mendengarkan musik yang sarat dengan distorsi
dan bising dia tiba dengan seorang wanita cantik berambut panjang memakai baju
putih dan jaket levis, namanya Yulia. Menyuruhku untuk berangkat bersama
adik-sepupunya. Aku tak keberatan.
Kami berangkat menuju medan
peperangan terhadap hawa nafsu. Menyusuri gang-gang sempit. Menunggu lampu
merah hingga beranjak kuning, lalu hijau. Menjemput adik-sepupunya. Namanya
Aril. Tapi Aril tak jadi berangkat denganku. Kami melanjutkan perjalanan kami.
Menyempil di antara kemacetan kota Bandung yang sangat menyebalkan. Menyusul
angkutan-angkutan umum. Melewati jalan yang sedang dibangun sehingga sedikit
menghambat perjalanan kami. Orang-orang yang berbaju hitam sudah mulai tampak
di jalan yang kami lewati. Juga orang-orang yang berpakaian seperti yang mau
main bola dan meronda. Sekitar lima belas menit kami sudah sampai di lokasi
digelarnya Bandung Open Air.
Gerbang peperangan kami lewati.
Menuju parkiran. Mengamankan kendaraan. Lekas pergi untuk segera memasuki
kawasan peperangan dengan melewati pemeriksaan tiket dan senjata tajam. Tampak
dua buah panggung berdiri angkuh di atas wajah bumi yang terselimuti oleh
rumput hijau. Pembawa acara dari kedua panggung terdengar sedang ngabudah untuk mengisi waktu ketika Band
yang akan tampil melakukan cecksound. Orang-orang
berbaju hitam memenuhi bibr panggung Stage
1. Dan bibir panggung Stage 2 dipenuhi
orleh orang-orang berambut Mohawk,
tegak berdiri, anak-anak Punk. Begitu
banyak berserak orang dewasa dan anak-anak korban mode yang katanya mereka itu
anak Beatdown.
Kami, Saya, Gema, dan Yulia
tak langsung pergi ke bibir panggung. Kami harus mengisi perut kami terlebih
dulu dengan sarapan. Stand yang menjual nasi goreng kami masuki. Harganya Rp.
10.000. Semua dibayar oleh Gema, sodara seperlaknatanku. Betapa beruntungnya
aku mempunyai teman sebaik dia. Setelah selesai makan, rokok kretek kami bakar
dan hisap dalam untuk menghilangkan rasa enek. Bergegas menuju Stage 1. Kami bertiga tak berdiam tepat
di bibir panggung. Agak jauh. Duduk menikmati asap nikotin menunggu Band yang
kami sukai tampil.
“Ke depan yuk, Gem. Kita
pemanasan dulu.” ajak Gema ketika salah satu Band Punk menghajar Stage 1.
“Gak ah. Kamu aja. Aku males.
Entar aku nungguin Dajjal main.” jawabku menolak.
Dengan gagah berani Gema
memasuki area Moshpit. Aku hanya
duduk menunggu dengan pacarnya. Rokok kretek yang meminimalisir rasa enek di
lidahku kubuang tanpa kumatikan terlebih dahulu. Menyambung nyawa. Kubakar
sebatang rokok lagi. Kuhisap dalam. Menghembuskan beban.
Gema sudah kembali dari medan
peperangan. Kami pergi ke belakang untuk menunggu Dajjar perfom. Tak lama kemudian segelas setelah menghabiskan satu gelas
es cincau Dajjal pun main. Kami maju ke depan. Ternyata Band yang kutunggu tak
sesuai harapanku. Soundsystem terdengar
bagus. Namun suara vokalnya tak terdengar dengan jelas. Yang menarik dari Band
ini adalah sang vokalis yang memakai kostum mirip Aligator. Bahkan ada orang
yang menyebutnya sepeti Bagong. Aksi
panggungnya pun bisa disebut edan.
“Turun.. turun.. turun..”
teriak para penonton kepada sang vokalis.
Bukan karena performance mereka. Tapi karena ketika
main sang vokalis selalu turun ke area Moshpit
dan menyeruduk para para peserta Moshing.
Setelah sang vokalis turun aku
memutuskan untuk mencari tempat yang teduh. Menunggu kembali Band-band yang
kami sukai menghajar panggung. Walau aku tahu hari ini akan turun hujan, siang
ini matahari begitu terik menyinari bumi Bandung. Aku benar-benar terkapar
kepanasan merasakan neraka baru. Bumi yang dulunya begitu dingin beku tak
peduli, sekarang dia murka terhadap manusia. Manusia yang merusaknya, mencoba
menciptakan neraka-neraka baru. Orang-orang yang menebang pepohonan hanya demi
untuk sebuah lahan bisnis. Aku heran, apakah mereka tak butuh udara?
Lama sudah kami hanya duduk
termangu menunggu terik panas sinar mentari memudar. Menunggu Band-band yang
kami sukai tampil. Gerombolan awan hitam tanpa senjata petir terhunus akhirnya
memulai pertarungan mereka. Gerimis pun jatuh membasahi Bandung Open Air.
Adik-sepupu Gema dan datang bersama dua temannya. Dua gelas kopi menemani kami
menunggu di sebuah bangunan yang terdapat warung kopi dan nasi. Saya berkenalan
dengan adik-sepupunya, namanya Aril. Dengan dua temannya.
Aril, seorang anak yang duduk
dibangku kelas tiga SMP. Dia adalah seorang anak yatim. Kata Gema dia juga
lihai bermain musik. Dan sekarang mempunyai sebuah Band bergenre Pure Punk.
“Eh, Gem, kita maju ke depan
lagi yuk. Kalau di sini terus entar malah ngantuk lagi.” ajak Gema padaku.
Aku dan kawan-kawan pun maju
ke depan. Beberapa Band kami lewati dengan hanya duduk dan merokok. Billfold,
Outright, dan Band-band lainnya. Ketika Outright menghajar Stage 1, para ronggeng monyet
pun beraksi. Dengan gaya berpakaian seperti pemain bola dan orang yang mau
meronda mereka berjoget dengan gaya mereka sendiri. Sungguh menyebalkan. Saya
bukan rasis. Ini hanya lah masalah selera. Saya hanya berdemokrasi. Bebas
menyuarakan pendapat kalau mereka itu adalah ronggeng monyet usuman yang terseret oleh arus zaman. Sekali lagi
saya tegaskan, ini bukan rasis. Ini adalah demokrasi.
Sekitar pukul empat sore Band
yang saya tunggu pun akhirnya tampil. Lima orang memakai pakaian serba putih.
Tiga dari wajah personil mereka menggunakan corpse
paint, dan dua personil lagi menggunakan topeng. Mereka berpenampilan
seperti setan, dan mereka juga mengakuinya bahwa itu adalah penampilan setan.
Dalam setiap diri manusia itu memang terdapat setan-setan yang harus keliatan real. Mereka mengawali penampilannya
dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum”. Siapa lagi kalau bukan Purgatory. Sebuah
Band metal asal Jakarta yang mensuport dakwah lewat Musik. Aku memutus untuk
masuk ke medan peperangan. Headbeng, saling
menubrukan badan dengan Metalhead lainnya
dan bernyanyi bersama. Ada yang menarik di sini. Orang-orang begitu antusias
menyambut Band ini. Kami membuat dua lingkaran besar di bibir panggung. Saling
berbagi rasa sakit.
“Selamat sore Bandung Open
Air. Metalhead Bandung memang pada
keren. Luar biasa.” puji sang vokalis.
“Jangan pernah malu untuk
menjadi seorang Metalhead, sekaligus
seorang Muslim yang taat. Kalau kalian mau Sholat, Sholat aja. Tidak usah malu.
Bahkan kalau bisa ajak teman-teman kalian.” seru vokalis Purgatory.
Hebat. Ketika omongan para
ustadz dan kiyai sudah tak didengar, mungkin orang-orang akan mendengarkan
seruan dari seorang Musisi Metal. Mereka
mengajak para Metalhead untuk
bertakbir. Dan setelah membawakan lagu ‘MOGSAW’ mereka mengajak kami semua
untuk bersolawat. Karena antusias dari para peserta Moshing panitia menyuruh mereka untuk membawakan satu lagu lagi.
Mereka menutup performance mereka
dengan mengucapkan kembali “Assalamu’alaikum”.
Aku keluar dari area Moshpit. Mencari keberadaan Gema dan
Yulia. Berkeliling mencari keberadaan mereka tapi aku tak kunjung menemukannya.
Dan tak tahunya mereka sedang berdiri berdua di pinggir stand kameramen menonton penampilan dari Revenge The Fate. Hhhhh.
Akhirnya ketemu juga.
Waktu sudah menginjak Maghrib.
Senja dihiasi awan kelabu. Acara dihentikan sejenak untuk menghargai kewajiban
seorang Muslim.
“Sok nu ek istirahat,
istirahat. Nu ek Sholat, Sholat. Nu ek dahar, gera dahar. Nu ek nginum arak,
aing menta.” dengan nada keras MC Stage 2
menghentikan dulu acara.
“Istirahat di tempat gerak!”
dia memberi komando.
Kami pun beristirahat sejenak.
Menikmati beberapa batang rokok. Dan maju lagi ke depan ketika Burgerkill
menghajar telinga para Metalhead. Mata
kami mulai sulit untuk dikendalikan. Rasa kantuk mulai menyerang kami setelah
semalam bersua tentang banyak hal sampai jam dua belas malam lebih. Kami, aku
dan Gema sedang menunggu Band idola kami. Ketika Undergod tampil, Gema menepuk
bahuku.
“Gem.. gem.. Lihat itu, Addy
Gembel.” mendengar dia menyebutkan nama Addy Gembel rasa ngantuk yang hinggap
di tubuhku sontak langsung hilang.
Kusapu setiap sudut dengan
pandangan remang-remangku. Lalu Gema mengarahkan tangannya pada suatu tempat.
Terlihat sesosok lelaki bertubuh tinggi dan buncit dengan rambut panjang yang
diikat mengenakan jaket lekbong berwarna biru dan cargo hitam bergandengan tangan dengan seorang wanita bule. Addy
Gembel. Dia juga ternyata ingin menonton penampilan Band-band lainnya.
“Eh minta foto bareng yuk,
Gem.” responku ketika melihat dia ada di tengah-tengah penonton.
Kami pun dengan cepat berdiri
dan menghampirinya. Gema bersalaman dengan Om Gembel.
“Kang ngiring foto bareng.”
pinta Gema dengan wajah tersenyum.
“Sok, mangga.” jawab Om Gembel
dengan wajah yang tersenyum pula.
Kami berfoto bareng dengannya.
Sebenarnya aku kasian juga ketika ada orang yang ingin meminta berfoto
dengannya, istrinya selalu mundur ke belakang, menjauhi Om Gembel untuk memberi
ruang kepada Metalhead yang ingin
berfoto dengan Om Gembel.
“Terimakasih, Kang.” ucap
teman-temanku sambil bersalaman.
Setelah selesai berfoto ria
aku tidak langsung pergi. Aku ingin bertanya terlebih dahulu kepada Om Gembel.
“Om, saya mau bertanya nih.”
tanyaku.
“Apa? Mau tanya apa?”
jawabnya.
“Maksud dari Sayap Hitam yang
Enam Ke Dua dalam buku Tiga Angka Enam itu apa sih, Om? Saya tidak mengerti.”
tanyaku. Karena sampai saat ini belum tahu apa sebenarnya yang ingin disampai
oleh seorang Addy Gembel dari Bab ini.
“Hehe.. Jangan mengerti. Kalau
mengerti kamu gak bakalan mikir.” jawabnya singkat dengan bibir tersenyum dan
tangan yang menpuk bahuku.
Dengan tersenyum aku pun pamit
dan sun tangan padanya. Dia masih tersenyum padaku.
Aku kembali ke teman-temanku.
Mereka bertanya apa yang aku bicarakan dengan Om Gembel. Aku dan Gema belum
puas, kami berdua ingin berfoto lagi dengannya. Kami pun kembali mendatangi Om
Gembel.
“Om.. om.. boleh minta foto
lagi gak? Sekali lagi aja. Bersama dua Gema, Om. Hehe..” pintaku memohon.
“Boleh.. boleh.. bawa tukang
fotonya kemari.” jawab Addy Gembel masih dengan bibir tersenyum.
“Boleh pelukan gak, Om?”
pintaku dengan wajah mengharap.
Dia mengiyakan permintaanku.
Aku pun memeluknya dan dia memelukku dengan satu tangan yang mengacungkan
simbol Metal Finger.
Kami pun foto bareng lagi
dengannya. Seorang Addy Gembel kini diapit oleh dua orang Gema. Setelah selesai
foto bareng kami kembali ke tempat tadi kami duduk. Melihat hasil foto kami
bertiga. Walau hasilnya kurang memuaskan, aku senang malam ini aku bisa foto
bareng, berpelukan dan ngobrol dengan Om Gembel, walau hanya sepatah dua patah
kata. Aku senang. Aku bahagia. Inikah rasanya berpelukan dan ngobrol dengan
seorang idola?
Kami mulai jenuh, tapi untung
lah ketika jenuh hinggap, Mesin Tempur tampil dengan segala kekonyolannya yang
bisa membuatku cenghar lagi.
“Sia barudak hardcore, anying?
Letakan tah bool aing.” itu lah pembicaraan sang vokalis yang paling membuatku
tertawa.
Seebelum Band idolaku,
Forgotten tampil di atas panggung, sebuah Band yang mempelopori akulturasi
antara budaya lokal dengan Musik Metal, Jasad, menghibur kami dengan kebisingan
drumnya seperi senjata mesin. Man sebagai vokalis memberikan sedikit orasi
tentang lagunya yang menceritakan budaya sunda, ajaran leluhur, dan juga tentang
kebangkitan bangsa Sunda. Ditengah-tengah para Metalhead yang menyaksikan penampilan Jasad, Addy Gembel dan
istrinya, Irina masih berada di bawah panggung. Aku menghampirinya.
“Forgotten gak jadi main ya
Om?” tanyaku serius yang sempat kecewa karena aku pikir Forgotten gak jadi
main.
“Jadi.” jawabnya.
“Kok masih di sini, Om,
mainnya setelah Jasad kan?” tanyaku lagi.
“Iya. Saya nyanyi di sini.
Hehehe..” dia bercanda sambil tertawa kecil dan memperagakan sedang nyanyi.
“Hahaha…” aku tertawa
melihatnya.
Agak lama kami bertiga, aku,
Om Gembel dan istrinya menyaksikan penampilan Jasad. Dan tak lama kemudian OM
Gembel permisi kepadaku untuk pergi ke Stage
1 untuk melakukan persiapan. Aku pun tersenyum mempersilahkan. Tak perlu
menunggu lagi, aku langsung maju menuju area Moshpit. Mununggu Forgotten melakukan cecksound.
Kujumpai puluhan Terlaknat
semangat menunggu penampilan Band idola kami. Kuambil sebatang rokok dari
kantung celana chargo-ku. Shit, korek
gasku hilang. Meminjam api kepada seorang Terlaknat yang tepat berada di
depanku. Tak lama kemudian para personil Forgotten mulai naik ke atas panggung.
Aku merapat ke pagar pembatas pemisah antara area panggung dan Moshpit.
Gesekan tarawangsa dan petikan
jentreng menyayat menghantarkan alam transidental yang mistis. Dufa bekas performance Jasad masih belum habis. Ada
sehelai kekhusuan terbang melayang menyelinap pelan begitu dalam menghujam. Track ‘Bubuka’ menjadi Intro pembuka mereka tampil. Addy Gembel
muncul daru kegelapan.
“Selamat malam Bandung Open
Air.” teriaknya dengan semangat.
Kami pun berteriak dan
memberikan aplaus penyambutan. Lagu pertama yang mereka mainkan adalah ‘Tuhan
Profane’. Kami semua berteriak ikut bernyanyi. Mengeluarkan semua emosi dan
energi negatif lewat sebuah teriakan. Malam ini mereka membawakan empat buah
lagu. Dan sepanjang penampilan mereka kami berteriak semangat. Bahkan saking
bahagianya aku bisa bernyanyi bersama berteriak lantang paling depan aku naik
ke pagar pembatas dan disuruh turun oleh orang entah seorang crew atau bukan. Diakhir penampilan
mereka aku naik ke pagar pembatas dan berteriak “I LOVE YOU OM GEMBEL”.
Malam ini aku sungguh puas.
Setelah penampilan Forgotten selesai aku langsung pulang menginap di rumah
Gema. Dan besoknya aku pulang ke rumahku di Tasikmalaya. Walau iPodku hilang,
korek gasku hilang, uang tinggal sedikit, aku puas. Tak sebanding dengan apa
yang ku alami. Aku bisa foto barng dengan Om Addy Gembel, berpelukan, ngobrol,
dan teriak-teriak nyanyi bersama Forgotten dan para Terlaknat. Dan sekarang aku
tahu mengapa Om Gembel jika menulis buku itu suka berbelit-belit sehingga
membuat kita susah untuk memahaminya, dia ingin agar kita tak malas untuk
berpikir. Agar kita mau berpikir untuk memahami sebuah tulisan. Jangan hanya
ingin disuguhi oleh tulisan yang mudah dipahamai, yang hanya tinggal kita baca.
Seperti aforismenya Nietzsche yang memerlukan lompatan logika dan pikiran yang
luas.
Malam ini aku sungguh bahagia.
Ketika langit tak dihiasi oleh para malaikat yang terbakar dan dua musuh yang bekerja
sama. Ketika kabut hitam menyelimuti jubah hitam. Surga berdiri di atas neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar