07 November 2013

Persemaian Dosa


Selamat sore. Jarum jam di pergelangan tangan ‘begang’ku menunjukkan pukul lima lebih. Wkatunya sang mentari turun menenggelamkan dirinya di balik ujung pandang laut luas ufuk barat. Waktunya burung-burung untuk terbang pulang ke sarang mereka, mengasuh dan memberi makan anak-anaknya yang lucu setelah seharian sang Ibu mencari makan, karena ayah dari anak-anaknya pergi entah kemana. Hhhhh…. aku menarik nafas panjang. Udara pantai ini benar-benar membuat pikiranku tenang. Pemandangan alam yang indah ini menyejukan hatiku, mentari yang akan membakar langit dan awan, tiupan udara pantai yang dingin, rokok yang kuhisap, dan beer dingin dalam genggamanku yang tadi aku beli di warung-warung yang berjejer di sisi pantai. Tapi ada sesuatu yang sedang aku pikirkan, gadis yang kini sedang duduk membelakangiku di bibir pantai. Dia hanya duduk, pandangan lurus ke depan tanpa memperdulikan yang lain, sepertinya dia juga sedang menikmati panorama indah ini, tau mungkin larut dalam masalahnya.
Kemarin aku mengajaknya untuk pergi ke pantai ini. Dia menghubungiku  lewat telepon seluler, lebih tepatnya pesan elektronik.

“Gema, aku mau curhat”

“Kalau begitu besok aku jemput kamu. Kita akan pergi ke tempat yang bisa membuatku tenang, mungkin juga kau. Persiapkan segala keperluanmu”
Lalu aku menjemput dia ke rumahnya. Dia sudah bersiap dengan perbekalan dan dandanannya yang acuh, tanpa make up dan embel-embel perusak kemurnian raga anggunnya. Aku meminta izin kepada ‘Ibu’nya. Dia mengizinkan kami berdua untuk pergi.
Kami berangkat setelah dzuhur. Jarak yang kami tempuh cukup jauh. Aku tak tahu secara rincinya berapa kilometer. Dengan keadaan motor tuaku yang belum pulih seutuhnya, kami berdua menyusuri jalanan tanpa dibumbui percakapan hangat layaknya sepasang kekasih yang sedang pergi berkencan. Kami berdua hanya membisu menikmati jalanan yang tak mulus. Mendengarkan nada cempreng kenalpot vespaku yang kadang batuk. Sesekali dia bertanya,

“Masih jauh ga?”

“Sebentar lagi kita sampai” aku menjawabnya dengan senyum yang tertutupi syal penutup wajah agar tak tersentuh polusi dari kendaraan bermotor.

Tak lama kemudian kami sampai di pantai Pangandaran. Jam setengah empat. Lumayan lama. Mungkin karena kendaraan yang kami pakai yang tidak sehat. Sesampainya di pantai menikmati sebatang rokok terlebih dahulu, membeli empat botol beer dingin. Gadis itu, dia langsung menyimpan tasnya, dan pergi ke bibir pantai untuk duduk dan menjadi patung. Setelah membeli beberapa botol beer dingin, aku menyiap tenda yang kupinjam dari teman seperbotolan untuk tempat tidur kita berdua malam ini. Ah, tidak, hanya untuknya. Aku akan menghabisi mala mini dengan minum, merokok, dan mendengarkan music di depan api kecil. Sejak kemarin malam aku berharap rembulan muncul kembali malam ini.

“Gema… kadieu…”

Teriakannya memecah lamunanku. Dengan botol beer dalam genggaman tangan kirikuku, dan sebatang rokok yang terbakar di sela-sela jari telunjuk dan ‘jajangkung’ku aku menghampirinya dengan berleha-leha dan pikiran yang sejak tadi berputar-putar dalam otakku.

“Kamu lagi mikirin apa? Dari tadi melamun terus” wajahnya tanpa ekspresi.

Tapi aku bisa melihat suasana hatinya yang terpancar dari bola mata indahnya. Aku terdiam sejenak, menatap lekat matanya.

“Kamu lagi apa? Dari tadi diam terus, kayak patung aja heuheu” aku berikan dia senyuman yang tak pernah aku berikan kepada wanita mana pun.

Dia menjawabnya. Kembali mmemalingkan wajahnya kea rah matahari yang sudah bersiap untuk menhujam pelan lautan.

“Aku…”

“Sssssstttt… kita bicaranya nanti dibawah jubah kekasihku” aku memotong bicaranya.
Malam adalah kekasihku. Dia teramat mencintaiku. Bahakan saking cintanya dia padaku, dia sering memelukku tanpa membiarkan sedetikpun kesadaranku terlelap.

“Kita tidak boleh melewatkan panorama indah ini. Lebih baik kita nikmati anugrah ini dulu, tanpa ada sepatah kata pun! Biarkan alam berpuisi dan kita nikmati ini bersama merdunya keheningan” mata lurus ke depan tanpa memandang wajahnya, aku hanya memandang lurus ke depan, lurus dan tajam, menerawang yang ada dalam pikiranku.

Bahuku menjadi senderan kepalanya. Dia tak menjawabnya. Hanya diam dan menyenderkan kepala sambil memeluk lututnya yang tersentuh angin pantai. Rambutnya yang anggun menyentuh wajahku. Dan upacara keindahan yang sedang kami saksikan sudah hampir mencapai klimaks.
Mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Refleksi setengah tubuhnya bersinar di atas permukaan air laut. Siluet sinarnya yang indah memancar di langit. Dan sunset pun tercipta. Awan dan langit terbakar. Ada keheningan di antara kami berdua. Bala tentara hampa menyelinap diam dari belakang. Bersiap mentranfusikan racunnya pada hati yang sedang kalut. Aku hanya pasrah. Biarkan, biarlah kita berdua merasakan betapa nikmatnya hampa di antara hadapan hari dan malam. Rasakan, rasakanlah pahit dari efek samping berbahayanya racun gerombolan tak berbentuk itu. Pelajari lah, mengerti lah dan pahami lah. Bersama langit berjelaga yang menyisakan banyak arang-arang kecil yang masih menyala, kita berdua terpaku dengan panorama niskala ini. Dan tak terasa air matanya membasahi bajuku. Hhhhhh…. Aku menghela nafas panjang.

“Keluarkan semuanya, menagislah sepuasnya, tapi jangan habiskan air suci itu untuk Yang Menciptakan kita” masih tak memandangnya.

Tangannya perlahan memelukku, erat. Tangisannya kini menghasilkan suara sendu yang syahdu. Aku pun larut bersamanya. Menangis, namun tanpa air mata dan suara. Hatiku menangis. Dan perlahan suaranya mulai menghilang, air matanya perlahan berhenti mengalir. Walau mungkin hatinya masih menangis. Dan mars pun menyapa cahaya sang cermin.

“Udaranya mulai dingin, kita ke tenda yuk. Kita bikin api unggun kecil di depan tenda biar hangat” aku membantunya berdiri.
Tapi tubuhnya tak bisa berdiri. Kakinya tak mimiliki tenaga. Kesemutan. Aku menggendongnya untuk pergi ke tenda. Dia masih tak bersuara.

“Gema, apa menurutmu aku pantas untuk dikasihani?” akhirnya dia berbicara.

“Tidak ada orang yang tak pantas untuk ditolong. Tunggu, ya, aku mau menyalakan dulu api unggunnya” aku meletakkan tubuhnya di atas pasir depan tenda yang menghadap ke pantai.
Kayu yang aku kumpulkan tadi mulai aku nyalakan dengan cricket bergambar abstrak milikku. Walau dengan susah payah karena angin laut yang bertiup kencang akhirnya nyala juga. Hangat. Seperti cahaya pertempuran yang mengandung harapan dan tidur malam yang telah berakhir.

“Musibah dan masalah tak pandang bulu, maka aku juga takkan pandang bulu untuk menolong siapa pun, aku akan berusaha yang kubisa.” Aku tersenyum memandang wajahnya.

Dia mendekatiku, duduk di sampingku, menghadap api yang dulunnya bara api hitam sebesar atom, tapi bisa menghancurkan sebuah gunung. Tangan kami berdua didekatkan pada api.

“Apa kau ingin menjadi penasihatku?”

“Hha.. konyol, apa kau ini presiden? Apa aku ini terlihat seperti orang bijak? Heh.. aku tak mau, karena aku juga bukan orang baik, soleh, pinter, apalagi bijak. Aku hanyalah seorang manusia hina, kotor, dan bodoh yang memiliki kelainan sejak lahir. Kau tahu, bahkan mungkin aku lah yang membutuhkan seorang penasihat bijak, agar aku tidak selalu mengumpat hidup ini. Ah, tapi orang yang paling bijak pun tidak tahu seperti apa akhirnya. Aku tidak mau menjadi seorang penasihat, aku tak mau menjadi orang yang sok bijak menasihati dirimu. Tapi, aku akan selalu ada dan bersedia menjadi orang setara yang akan selalu memberitahumu sesuatu yang kau kau butuhkan.” Awalnya aku tertawa kecil, lalu aku menatapnya dalam, lekat. Tatapan mataku tepat menghujam tenggelam ke dalam bola matanya yang berwarna coklat.

“Yah, terserah kau. Aku butuh solusi. Aku ingin bicara tentang sesuatu yang tak pernah aku bicarakan kepada orang lain. Dan aku…”

“Aku tak akan pernah menceritakan rahasia seseorang kepada orang lain, apalagi kepada orang yang bermulut seperti radio butut.” aku memotong bicaranya. Senyum lebarku meyakinkannnya.

Aku memberikan dia minuman bersoda berukuran besar yang aku beli tadi bersama beberapa botol beer. Satu botol beer aku buka lagi setelah beer yang tadi diteguk habis pada ujung senja. Menyalakan sebatang rokok. Menghisapnya, dalam. Kuracuni paru malangku.

“Aku ingin berubah.”

Aku batuk akibat tersendak asap rokok yang kuhisap. Memandangnya dengan satu alis ke atas. Tanda tanya.

“Aku ingin berubah. Aku ingin berubah kearah yang lebih baik. Aku tak ingin mempermalukan orang tuaku. Aku tak ingin menjadi wanita yang hina. Apa Tuhan akan memaafkanku? Apa Dia akan menerima perubahanku setelah aku banyak melanggar perintah-Nya?” wajahnya masih memandangi api unggun kecil di depan kami. Sesekali dia menatap mataku.

“Kenapa kau ingin berubah? Aku ingatkan kau, selama kurang lebih seratus tahun Adam menangis bukan untuk mengemis surge yang pernah ia nikmati”

“Aku ingin berubah bukan karena ingin menjadi orang egois yang tak memperdulikan hak orang lain, dan juga bukan karena ingin mengemis sekeping surga dengan saling berpegangan tangan dengan orang-orang pabrikan plagiat yang tak mengindahkan daging. Aku merasa malu dengan Tuhan. Aku ingin melaksanakan perintah-Nya, tapi aku merasa belum siap dan malu karena ragaku ini telah penuh dengan dosa.” matanya berkaca-kaca.

“Kenapa mesti malu? Sudah jelas tertulis dalam kitab suci, Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penerima Perubahan. Seberapa banyak dosamu? Adakah lebih besar dari bumi yang kita pijak ini? Kau tahu, seburuk-buruknya manusia adalah dia yang berdosa, dan sebaik-baiknya yang berdosa adalah dia yang ingin berubah dan meninggalkan kegiatan produksi dosanya.” aku berbicara dengan hati-hati. Aku tak ingin melukai perasaannya.

“Kau tahu, aku sudah tak perawan lagi. Pacarku sering menyetubuhiku. Aku sering melakukan dosa bersama pacarku. Aku ingin berubah. Aku ingin berubah, tapi pacarku tidak menginginkannya. Dia terus mengajakku melakukan sesuatu yang dilarang oleh Tuhan. Sekarang aku harus bagaimana? Aku ingin berubah, tapi aku tidak mau kehilangan pacarku, keperawananku telah direnggut olehnya.” ekspresi wajahnya sudah muncul.
Aku tidak terlalu kaget ketika dia bilang kalu dia sudah bukan perawan.

“Bagiku ini adalah masalah yang cukup simple. Tapi mungkin ini berat bagimu. Kau hanya tinggal memilih. Bukankah banyak orang yang bilang kalau hidup ini adalah pilihan, yaa, walaupun aku tidak sepaham dengan mereka. Tapi pilihlah, pacarmu yang telah membuatmu seperti ini atau Tuhan.” kali ini aku semakin larut dan terbawa emosi.

“Berat. Ini berat, Gema..”

“Setiap perbuatan ada konsekuensinya. Dan kau harus siap dan bisa menanggung setiap konsekuensi itu. Pilihan ini tidak lebih berat dari pilihan yang diberikan Tuhan kepada Ibrahim. Dia menyuruh Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri. Dan Ibrahim benar-benar melakukannya, dia memilih untuk menuruti perintah Tuhan-nya, karena dia tahu kalau Tuhan-nya adalah Maha Pengasih dan Maha Mengetahui. Dan anaknya digantikan dengan seekor kambing. Darah Ismail tak jadi membasahi tanah. Lalu ketika Nuh yang disuruh untuk meninggalkan anak dan istrinya ketika ada bencana banjir besar. Bukan kah pilihanmu ini lebih ringan? Hanya meninggalkan orang berengsek yang telah menghinakan kehormatanmu!”

“Apa Tuhan benar-benar akan menerima perubahanku?”

“Apa kau masih ingat dengan kisah Musa yang pernah aku cerita dulu?”

“Yaa, aku masih ingat. Tapi jika aku meninggalkan pacarku, aku takut tak ada lagi orang yang mau menerimaku lagi. Sekarang kau tahu kan keadaan aku seperti ini.“

“Puuuhhhh..” kuhembuskan asap rokok yang sudah hampir mencapai gabusnya, lalu aku matikan. Kuteguk beer yang isinya tinggal setengah. Menyalakan kembali sebatang rokok.

“Aku tak tahu siapa orang yang akan menerima keadaanmu. Aku tak tahu apakah ada orang yang akan mau menerima keadaanmu apa adanya” berhenti sejenak. Menghisap rokok. Dan berpikir.

Seperti saat berkendara dengan kecepatan yang lumayan tinggi dan di depanku ada kendaraan yang bisa saja aku tabrak. Aku harus memikirkan solusi dan memutuskan apa yang harus aku lakukan dalam waktu yang sangat sedikit. Dalam beberapa detik aku harus mengolah ribuan informasi dalam otakku.

“Tapi, aku tahu Tuhan pasti mengirimkan seseorang yang bisa menerima keadaanmu apa adanya. Tak peduli kau masih perawan atau tidak. Tak peduli sudah berapa orang yang menyetubuhimu. Tak peduli masa lalumu sekelam apa. Tak peduli telah berapa banyak dosa yang telah kau lakukan. Tak peduli kau ini jelek, bodoh, miskin dan hal-hal lain yang berada dibawah buku standarisasi orang-orang bego. Kelak, calon suami yang akan menjadi pendamping hidupmu, jodoh yang akan dikirimkan Tuhan, tubuh tempat untuk berdiamnya tulang rusuk, dia pasti akan menerimamu apa adanya. Aku jamin itu. Pasti. Dan jika kelak tak ada lelaki yang mau menerima keadaanmu apa adanya, aku… aku… bersedia menjadi pendamping abadimu, aku bersedia menerima keadaanmu dengan apa adanya.” aku menatap matanya dalam.

Dia tak langsung menanggapi perkataanku. Dia hanya memelukku sambil menangis. Matanya berlinang air yang suci. Aku juga menangis haru dalam hati dengan mata yang berkaca-kaca.

“Gema…. aku tak tahu lagi harus bicara apa. Sungguh dan selamanya, terimakasih kau telah mengerti aku. Dan juga te…rima…kasih kau telah mau menerima wanita yang hina ini” bicaranya terpatah-patah. 

Pelukannya semakin erat.

Aku tak menjawab perkataannya dengan kata. Biarlah pelukan tanganku yang menjawab. Aku tak ingin melepaskan pelukannya dari tubuhku. Sesekali aku memandang wajahnya yang terpejam nyaman dalam pelukku. Aura sedihnya tak lagi nampak dari wajahnya yang manis. Meskipun aku tahu, bekas di hatinya tak menhilang begitu saja, tapi aku percaya waktu selalu berbaik hati jika kita pun baik padanya.

Lama dia memelukku. Dia tertidur.

Aku terharu, karenaku, kau membuat parit di atas lesung pipitmu yang manis. Aku bersedia. Aku bersedia mengisi lubang kosong menganga dalam dalam hatiku dengan dirimu. Biar lah langit menjadi saksi dari bibit pohon yang kita tanam. Rembulan mendikte ribuan bintang untuk mencatat detail dari lukisan kita malam ini. Putri duyung bernyanyi merdu di ujung bibir pantai meninabobokanmu.

Mungkin sekarang aku telah menemukan tulang ruusukku yang hilang direnggut Tuhan, dan aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku tak mau kehilanganmu. Dan aku bersumpah, aku akan selalu menjagamu.
Walau tanpa kalimat ‘Aku cinta kamu’, walau tanpa metafora-metafora lisan, puisi-puisi indah untuk menyatakan cinta, pada malam ini, cinta berbicara tanpa kata dan suara. Dari hati ke jantung. Lewat pelukan dan air mata yang suci.  Melalui infeksi dari duri kehidupan yang kucabut dan tertinggal dalam daging. Mulai malam ini kita akan menghadapi hari yang kadang tak jelas dan absurd secara bersama. Berperang melawan naskah Tuhan yang ingin kita tulis ulang. Atau mungkin juga bonar, karena kita kehabisan amunisi dan perbekalan untuk pertempuran tanpa ledakan. Merajut mimpi yang sempat tertunda ataupun yang akan melintas. Menciptakan pertigaan takdir yang semoga tidak lebih pahit dari kita berdua. Dan yang selama ini membuatku terobsesi, aku masih mencarinya, kita akan mencarinya bersama untuk dihadiahkan kepada buah hati kita. Sebuah makna hidup yang hakiki. Aku tahu hidup ini memang berengsek, maka dari itu kita tak boleh diam saja. Kita harus mencarinya. Pasti, kita berdua pasti bisa menemukannya, karena kita adalah persemaian dari dosa dan derita.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar