Selamat sore. Jarum jam di pergelangan tangan ‘begang’ku
menunjukkan pukul lima lebih. Wkatunya sang mentari turun menenggelamkan
dirinya di balik ujung pandang laut luas ufuk barat. Waktunya burung-burung
untuk terbang pulang ke sarang mereka, mengasuh dan memberi makan anak-anaknya
yang lucu setelah seharian sang Ibu mencari makan, karena ayah dari
anak-anaknya pergi entah kemana. Hhhhh…. aku menarik nafas panjang. Udara
pantai ini benar-benar membuat pikiranku tenang. Pemandangan alam yang indah
ini menyejukan hatiku, mentari yang akan membakar langit dan awan, tiupan udara
pantai yang dingin, rokok yang kuhisap, dan beer dingin dalam genggamanku yang
tadi aku beli di warung-warung yang berjejer di sisi pantai. Tapi ada sesuatu
yang sedang aku pikirkan, gadis yang kini sedang duduk membelakangiku di bibir
pantai. Dia hanya duduk, pandangan lurus ke depan tanpa memperdulikan yang
lain, sepertinya dia juga sedang menikmati panorama indah ini, tau mungkin
larut dalam masalahnya.
Kemarin aku mengajaknya untuk pergi ke pantai ini. Dia
menghubungiku lewat telepon seluler,
lebih tepatnya pesan elektronik.
“Gema, aku mau curhat”
“Kalau begitu besok aku jemput kamu. Kita akan pergi ke
tempat yang bisa membuatku tenang, mungkin juga kau. Persiapkan segala keperluanmu”
Lalu aku menjemput dia ke rumahnya. Dia sudah bersiap dengan
perbekalan dan dandanannya yang acuh, tanpa make up dan embel-embel perusak
kemurnian raga anggunnya. Aku meminta izin kepada ‘Ibu’nya. Dia mengizinkan
kami berdua untuk pergi.
Kami berangkat setelah dzuhur. Jarak yang kami tempuh cukup
jauh. Aku tak tahu secara rincinya berapa kilometer. Dengan keadaan motor tuaku
yang belum pulih seutuhnya, kami berdua menyusuri jalanan tanpa dibumbui
percakapan hangat layaknya sepasang kekasih yang sedang pergi berkencan. Kami
berdua hanya membisu menikmati jalanan yang tak mulus. Mendengarkan nada
cempreng kenalpot vespaku yang kadang batuk. Sesekali dia bertanya,
“Masih jauh ga?”
“Sebentar lagi kita sampai” aku menjawabnya dengan senyum
yang tertutupi syal penutup wajah agar tak tersentuh polusi dari kendaraan
bermotor.
Tak lama kemudian kami sampai di pantai Pangandaran. Jam
setengah empat. Lumayan lama. Mungkin karena kendaraan yang kami pakai yang
tidak sehat. Sesampainya di pantai menikmati sebatang rokok terlebih dahulu,
membeli empat botol beer dingin. Gadis itu, dia langsung menyimpan tasnya, dan
pergi ke bibir pantai untuk duduk dan menjadi patung. Setelah membeli beberapa
botol beer dingin, aku menyiap tenda yang kupinjam dari teman seperbotolan untuk
tempat tidur kita berdua malam ini. Ah, tidak, hanya untuknya. Aku akan
menghabisi mala mini dengan minum, merokok, dan mendengarkan music di depan api
kecil. Sejak kemarin malam aku berharap rembulan muncul kembali malam ini.
“Gema… kadieu…”
Teriakannya memecah lamunanku. Dengan botol beer dalam
genggaman tangan kirikuku, dan sebatang rokok yang terbakar di sela-sela jari
telunjuk dan ‘jajangkung’ku aku menghampirinya dengan berleha-leha dan pikiran
yang sejak tadi berputar-putar dalam otakku.
“Kamu lagi mikirin apa? Dari tadi melamun terus” wajahnya
tanpa ekspresi.
Tapi aku bisa melihat suasana hatinya yang terpancar dari
bola mata indahnya. Aku terdiam sejenak, menatap lekat matanya.
“Kamu lagi apa? Dari tadi diam terus, kayak patung aja
heuheu” aku berikan dia senyuman yang tak pernah aku berikan kepada wanita mana
pun.
Dia menjawabnya. Kembali mmemalingkan wajahnya kea rah
matahari yang sudah bersiap untuk menhujam pelan lautan.
“Aku…”
“Sssssstttt… kita bicaranya nanti dibawah jubah kekasihku”
aku memotong bicaranya.
Malam adalah kekasihku. Dia teramat mencintaiku. Bahakan
saking cintanya dia padaku, dia sering memelukku tanpa membiarkan sedetikpun
kesadaranku terlelap.
“Kita tidak boleh melewatkan panorama indah ini. Lebih baik
kita nikmati anugrah ini dulu, tanpa ada sepatah kata pun! Biarkan alam
berpuisi dan kita nikmati ini bersama merdunya keheningan” mata lurus ke depan
tanpa memandang wajahnya, aku hanya memandang lurus ke depan, lurus dan tajam,
menerawang yang ada dalam pikiranku.
Bahuku menjadi senderan kepalanya. Dia tak menjawabnya.
Hanya diam dan menyenderkan kepala sambil memeluk lututnya yang tersentuh angin
pantai. Rambutnya yang anggun menyentuh wajahku. Dan upacara keindahan yang
sedang kami saksikan sudah hampir mencapai klimaks.
Mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Refleksi setengah
tubuhnya bersinar di atas permukaan air laut. Siluet sinarnya yang indah
memancar di langit. Dan sunset pun tercipta. Awan dan langit terbakar. Ada
keheningan di antara kami berdua. Bala tentara hampa menyelinap diam dari
belakang. Bersiap mentranfusikan racunnya pada hati yang sedang kalut. Aku
hanya pasrah. Biarkan, biarlah kita berdua merasakan betapa nikmatnya hampa di
antara hadapan hari dan malam. Rasakan, rasakanlah pahit dari efek samping berbahayanya
racun gerombolan tak berbentuk itu. Pelajari lah, mengerti lah dan pahami lah.
Bersama langit berjelaga yang menyisakan banyak arang-arang kecil yang masih
menyala, kita berdua terpaku dengan panorama niskala ini. Dan tak terasa air
matanya membasahi bajuku. Hhhhhh…. Aku menghela nafas panjang.
“Keluarkan semuanya, menagislah sepuasnya, tapi jangan
habiskan air suci itu untuk Yang Menciptakan kita” masih tak memandangnya.
Tangannya perlahan memelukku, erat. Tangisannya kini
menghasilkan suara sendu yang syahdu. Aku pun larut bersamanya. Menangis, namun
tanpa air mata dan suara. Hatiku menangis. Dan perlahan suaranya mulai menghilang,
air matanya perlahan berhenti mengalir. Walau mungkin hatinya masih menangis.
Dan mars pun menyapa cahaya sang cermin.
“Udaranya mulai dingin, kita ke tenda yuk. Kita bikin api
unggun kecil di depan tenda biar hangat” aku membantunya berdiri.
Tapi tubuhnya tak bisa berdiri. Kakinya tak mimiliki tenaga.
Kesemutan. Aku menggendongnya untuk pergi ke tenda. Dia masih tak bersuara.
“Gema, apa menurutmu aku pantas untuk dikasihani?” akhirnya
dia berbicara.
“Tidak ada orang yang tak pantas untuk ditolong. Tunggu, ya,
aku mau menyalakan dulu api unggunnya” aku meletakkan tubuhnya di atas pasir
depan tenda yang menghadap ke pantai.
Kayu yang aku kumpulkan tadi mulai aku nyalakan dengan
cricket bergambar abstrak milikku. Walau dengan susah payah karena angin laut
yang bertiup kencang akhirnya nyala juga. Hangat. Seperti cahaya pertempuran
yang mengandung harapan dan tidur malam yang telah berakhir.
“Musibah dan masalah tak pandang bulu, maka aku juga takkan
pandang bulu untuk menolong siapa pun, aku akan berusaha yang kubisa.” Aku
tersenyum memandang wajahnya.
Dia mendekatiku, duduk di sampingku, menghadap api yang
dulunnya bara api hitam sebesar atom, tapi bisa menghancurkan sebuah gunung. Tangan
kami berdua didekatkan pada api.
“Apa kau ingin menjadi penasihatku?”
“Hha.. konyol, apa kau ini presiden? Apa aku ini terlihat
seperti orang bijak? Heh.. aku tak mau, karena aku juga bukan orang baik,
soleh, pinter, apalagi bijak. Aku hanyalah seorang manusia hina, kotor, dan
bodoh yang memiliki kelainan sejak lahir. Kau tahu, bahkan mungkin aku lah yang
membutuhkan seorang penasihat bijak, agar aku tidak selalu mengumpat hidup ini.
Ah, tapi orang yang paling bijak pun tidak tahu seperti apa akhirnya. Aku tidak
mau menjadi seorang penasihat, aku tak mau menjadi orang yang sok bijak
menasihati dirimu. Tapi, aku akan selalu ada dan bersedia menjadi orang setara
yang akan selalu memberitahumu sesuatu yang kau kau butuhkan.” Awalnya aku
tertawa kecil, lalu aku menatapnya dalam, lekat. Tatapan mataku tepat menghujam
tenggelam ke dalam bola matanya yang berwarna coklat.
“Yah, terserah kau. Aku butuh solusi. Aku ingin bicara
tentang sesuatu yang tak pernah aku bicarakan kepada orang lain. Dan aku…”
“Aku tak akan pernah menceritakan rahasia seseorang kepada
orang lain, apalagi kepada orang yang bermulut seperti radio butut.” aku memotong
bicaranya. Senyum lebarku meyakinkannnya.
Aku memberikan dia minuman bersoda berukuran besar yang aku
beli tadi bersama beberapa botol beer. Satu botol beer aku buka lagi setelah
beer yang tadi diteguk habis pada ujung senja. Menyalakan sebatang rokok.
Menghisapnya, dalam. Kuracuni paru malangku.
“Aku ingin berubah.”
Aku batuk akibat tersendak asap rokok yang kuhisap.
Memandangnya dengan satu alis ke atas. Tanda tanya.
“Aku ingin berubah. Aku ingin berubah kearah yang lebih
baik. Aku tak ingin mempermalukan orang tuaku. Aku tak ingin menjadi wanita
yang hina. Apa Tuhan akan memaafkanku? Apa Dia akan menerima perubahanku
setelah aku banyak melanggar perintah-Nya?” wajahnya masih memandangi api
unggun kecil di depan kami. Sesekali dia menatap mataku.
“Kenapa kau ingin berubah? Aku ingatkan kau, selama kurang
lebih seratus tahun Adam menangis bukan untuk mengemis surge yang pernah ia
nikmati”
“Aku ingin berubah bukan karena ingin menjadi orang egois
yang tak memperdulikan hak orang lain, dan juga bukan karena ingin mengemis sekeping
surga dengan saling berpegangan tangan dengan orang-orang pabrikan plagiat yang
tak mengindahkan daging. Aku merasa malu dengan Tuhan. Aku ingin melaksanakan
perintah-Nya, tapi aku merasa belum siap dan malu karena ragaku ini telah penuh
dengan dosa.” matanya berkaca-kaca.
“Kenapa mesti malu? Sudah jelas tertulis dalam kitab suci,
Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penerima Perubahan. Seberapa banyak dosamu?
Adakah lebih besar dari bumi yang kita pijak ini? Kau tahu, seburuk-buruknya
manusia adalah dia yang berdosa, dan sebaik-baiknya yang berdosa adalah dia
yang ingin berubah dan meninggalkan kegiatan produksi dosanya.” aku berbicara
dengan hati-hati. Aku tak ingin melukai perasaannya.
“Kau tahu, aku sudah tak perawan lagi. Pacarku sering
menyetubuhiku. Aku sering melakukan dosa bersama pacarku. Aku ingin berubah.
Aku ingin berubah, tapi pacarku tidak menginginkannya. Dia terus mengajakku melakukan
sesuatu yang dilarang oleh Tuhan. Sekarang aku harus bagaimana? Aku ingin
berubah, tapi aku tidak mau kehilangan pacarku, keperawananku telah direnggut
olehnya.” ekspresi wajahnya sudah muncul.
Aku tidak terlalu kaget ketika dia bilang kalu dia sudah
bukan perawan.
“Bagiku ini adalah masalah yang cukup simple. Tapi mungkin
ini berat bagimu. Kau hanya tinggal memilih. Bukankah banyak orang yang bilang
kalau hidup ini adalah pilihan, yaa, walaupun aku tidak sepaham dengan mereka.
Tapi pilihlah, pacarmu yang telah membuatmu seperti ini atau Tuhan.” kali ini
aku semakin larut dan terbawa emosi.
“Berat. Ini berat, Gema..”
“Setiap perbuatan ada konsekuensinya. Dan kau harus siap dan
bisa menanggung setiap konsekuensi itu. Pilihan ini tidak lebih berat dari
pilihan yang diberikan Tuhan kepada Ibrahim. Dia menyuruh Ibrahim untuk
menyembelih anaknya sendiri, darah dagingnya sendiri. Dan Ibrahim benar-benar
melakukannya, dia memilih untuk menuruti perintah Tuhan-nya, karena dia tahu
kalau Tuhan-nya adalah Maha Pengasih dan Maha Mengetahui. Dan anaknya
digantikan dengan seekor kambing. Darah Ismail tak jadi membasahi tanah. Lalu
ketika Nuh yang disuruh untuk meninggalkan anak dan istrinya ketika ada bencana
banjir besar. Bukan kah pilihanmu ini lebih ringan? Hanya meninggalkan orang
berengsek yang telah menghinakan kehormatanmu!”
“Apa Tuhan benar-benar akan menerima perubahanku?”
“Apa kau masih ingat dengan kisah Musa yang pernah aku
cerita dulu?”
“Yaa, aku masih ingat. Tapi jika aku meninggalkan pacarku,
aku takut tak ada lagi orang yang mau menerimaku lagi. Sekarang kau tahu kan
keadaan aku seperti ini.“
“Puuuhhhh..” kuhembuskan asap rokok yang sudah hampir
mencapai gabusnya, lalu aku matikan. Kuteguk beer yang isinya tinggal setengah.
Menyalakan kembali sebatang rokok.
“Aku tak tahu siapa orang yang akan menerima keadaanmu. Aku
tak tahu apakah ada orang yang akan mau menerima keadaanmu apa adanya” berhenti
sejenak. Menghisap rokok. Dan berpikir.
Seperti saat berkendara dengan kecepatan yang lumayan tinggi
dan di depanku ada kendaraan yang bisa saja aku tabrak. Aku harus memikirkan
solusi dan memutuskan apa yang harus aku lakukan dalam waktu yang sangat
sedikit. Dalam beberapa detik aku harus mengolah ribuan informasi dalam otakku.
“Tapi, aku tahu Tuhan pasti mengirimkan seseorang yang bisa
menerima keadaanmu apa adanya. Tak peduli kau masih perawan atau tidak. Tak
peduli sudah berapa orang yang menyetubuhimu. Tak peduli masa lalumu sekelam
apa. Tak peduli telah berapa banyak dosa yang telah kau lakukan. Tak peduli kau
ini jelek, bodoh, miskin dan hal-hal lain yang berada dibawah buku standarisasi
orang-orang bego. Kelak, calon suami yang akan menjadi pendamping hidupmu,
jodoh yang akan dikirimkan Tuhan, tubuh tempat untuk berdiamnya tulang rusuk,
dia pasti akan menerimamu apa adanya. Aku jamin itu. Pasti. Dan jika kelak tak
ada lelaki yang mau menerima keadaanmu apa adanya, aku… aku… bersedia menjadi
pendamping abadimu, aku bersedia menerima keadaanmu dengan apa adanya.” aku
menatap matanya dalam.
Dia tak langsung menanggapi perkataanku. Dia hanya memelukku
sambil menangis. Matanya berlinang air yang suci. Aku juga menangis haru dalam
hati dengan mata yang berkaca-kaca.
“Gema…. aku tak tahu lagi harus bicara apa. Sungguh dan
selamanya, terimakasih kau telah mengerti aku. Dan juga te…rima…kasih kau telah
mau menerima wanita yang hina ini” bicaranya terpatah-patah.
Pelukannya
semakin erat.
Aku tak menjawab perkataannya dengan kata. Biarlah pelukan
tanganku yang menjawab. Aku tak ingin melepaskan pelukannya dari tubuhku.
Sesekali aku memandang wajahnya yang terpejam nyaman dalam pelukku. Aura
sedihnya tak lagi nampak dari wajahnya yang manis. Meskipun aku tahu, bekas di
hatinya tak menhilang begitu saja, tapi aku percaya waktu selalu berbaik hati
jika kita pun baik padanya.
Lama dia memelukku. Dia tertidur.
Aku terharu, karenaku, kau membuat parit di atas lesung
pipitmu yang manis. Aku bersedia. Aku bersedia mengisi lubang kosong menganga
dalam dalam hatiku dengan dirimu. Biar lah langit menjadi saksi dari bibit
pohon yang kita tanam. Rembulan mendikte ribuan bintang untuk mencatat detail
dari lukisan kita malam ini. Putri duyung bernyanyi merdu di ujung bibir pantai
meninabobokanmu.
Mungkin sekarang aku telah menemukan tulang ruusukku yang
hilang direnggut Tuhan, dan aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku tak mau
kehilanganmu. Dan aku bersumpah, aku akan selalu menjagamu.
Walau tanpa kalimat ‘Aku cinta kamu’, walau tanpa
metafora-metafora lisan, puisi-puisi indah untuk menyatakan cinta, pada malam
ini, cinta berbicara tanpa kata dan suara. Dari hati ke jantung. Lewat pelukan
dan air mata yang suci. Melalui infeksi
dari duri kehidupan yang kucabut dan tertinggal dalam daging. Mulai malam ini
kita akan menghadapi hari yang kadang tak jelas dan absurd secara bersama.
Berperang melawan naskah Tuhan yang ingin kita tulis ulang. Atau mungkin juga
bonar, karena kita kehabisan amunisi dan perbekalan untuk pertempuran tanpa
ledakan. Merajut mimpi yang sempat tertunda ataupun yang akan melintas.
Menciptakan pertigaan takdir yang semoga tidak lebih pahit dari kita berdua.
Dan yang selama ini membuatku terobsesi, aku masih mencarinya, kita akan
mencarinya bersama untuk dihadiahkan kepada buah hati kita. Sebuah makna hidup
yang hakiki. Aku tahu hidup ini memang berengsek, maka dari itu kita tak boleh
diam saja. Kita harus mencarinya. Pasti, kita berdua pasti bisa menemukannya,
karena kita adalah persemaian dari dosa dan derita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar