21 November 2013

Keluarga Baru

Kesadaranku menyambut mentari yang sedang bersiap melakukan rutinitasnya. Begitu juga aku yang sedang melakukan persiapan untuk pergi bertempur dengan monster yang tertidur pulas dalam diriku. Sebuta pagi ini aku merakit senjata yang masih belum siap karena aku belum menemukan peluru ampuh untuk memenangkan pertempuran yang sudah sekian lama aku menjadi martir dari sisi air. Sebatang rokok filter menjadi amfetamin untuk menstimulasi terciptanya peluru bius yang bisa menidurkan monster yang sedang nyenyak dan juga vaksin untuk melindunginya dari virus yang paling berbahaya di dunia yang fana ini. Monster itu bernama nafsu. Dan virus yang bisa membangunkannya adalah kebencian.

“Sepuuuhhhhhh…” kuhembuskan rokok yang tinggal menyisakan gabus.

Jam enam pagi aku harus sudah berada di kampus. Kubuang rokok tanpa kumatikan terlebih dulu. Tali sepatu yang terbuat dari rapia warna merah dan putih kukencangkan. Bergegas untuk pergi ke medan pertempuran. Kali ini perjalananku tidak dibantu oleh Vespa tua kebanggaanku. Aku diantar oleh pria berkumis tebal yang sudah setia menafkahiku, Ayah. Waktu dunia ini berkurang setengah jam, dan kakiku sudah menyentuh halaman kampus.

“Lari.. lari.. cepat lari..” Salah satu panitia berteriak lewat toa kecil (teu apal ngaranna, nu sok dipake demo gening :D) hasil dari usaha anggota UKM tanpa mengemis rupiah pada yayasan karena puluhan permintaan yang sudah diabaikan. Entah lah, berdasarkan cerita dari ketua UKM, yayasan yang menaungi organisasi ini bersifat diskriminasi.

Laju kakiku merespon dengan lari seperti junior aparat yang diteriaki oleh seniornya.

“Santai.. santai.. Saya berteriak bukan sama kamu. Saya berteriak sama dia.” Telunjuknya mengarah ke panitia yang berjalan di belakangku. “Bagus. Kamu calon anggota yang pertama datang ke sini. Santai. Silahkan simpan tasnya dan duduk dulu di sana. Ini masih sangat pagi.” Dengan senyuman dia menyuruhku duduk di pinggir ruangan Fakultas Teknik.

“Iya, Kak. Siap, laksanakan.” aku meniru gaya militer.

“Eh kela.. kela.. nempo cik potona. Anjir, geulis euy kabogoh maneh.” Salah satu panitia berbadan kekar namun tidak terlalu tinggi ingin melihat salah satu foto di nametagku. A Ijey.

“Sanes,A. Ieu mah sanes kabogoh abi. Doris Yeh ieu mah, A, Bassisna Chthonic.” Salah satu dari puluhan persyaratan untuk mengikuti kegiatan P3DB ini adalah harus memasang foto pacar di nametag. Karena saya tidak mempunyai seorang pacar (tong seuri) jadi saya tempelin aja foto si Doris yang cantik, manis, dan juga seksi (kadang aku suka berpikir kalau dia adalah pemain B***p haha).

Aku duduk di tempat yang diinstruksikan. Menunggu yang lainnya datang. Beberapa menit, tiga orang calon anggota yang akan diospek datang. Dua puluh menit lebih yang lainnya berdatangan lengkap dengan persyaratan yang harus dibawa. Teriakan Kakak-kakak panitia setia mengiringi calon anggota yang berlarian. Dan ternyata masih banyak yang melestarikan budaya orang Indonesia. Terlambat. Banyak yang kesiangan. Mereka mendapatkan hukuman push up. Setiap calon anggota mengecek kembali persyaratannya bersama kelompok masing-masing. Ada yang lengkap, ada juga yang tidak. Ada yang berseragam, ada juga yang tidak.

‘Dengan memikirkan hal lain dan tidak larut dalam kegiatan’. Akhirnya aku menemukan peluru bius sekaligus vaksin untuk monster berbahaya itu.

Sebelum pergi ke lokasi kegiatan dan juga sembari menunggu kendaraan yang akan mengangkut kami ke sana, kami melakukan kegiatan terlebih dahulu. Olah raga. Pemanasan, lari tiga putaran mengelilingi gedung Mandala sambil menyanyikan Mars UKM, dan Pendinginan. Sarapan. Dan upacara pembukaan kegiatan yang diresmikan oleh Pembina UKM, Abah Eki. Pengecekan persyaratan oleh kakak2 panitia.

“Ada yang bawa rokok gak?” Seorang divisi keamanan bertanya dengan memasang muka galak. A Ipung.

Tak ada calon anggota yang berbicara. Tak ada yang membawa rokok, atau mungkin tidak ingin rokoknya diambil.

“Saya bawa, Kak.” Sebungkus rokok filter aku acungkan tanpa rasa takut dimarahi atau dihukum, karena aku sudah menyiapkan sebuah argumen.

“Kenapa kamu bawa rokok? Peraturannya kan sudah jelas. Pserta P3DB tidak boleh merokok pada saat kegiatan.

“Iya, Kak. Saya tahu. Peraturan itu kan menyebutkan pada waktu kegiatan, tapi pada saat pulang kegiatan boleh.” Belaku.

“Ya sudah. Awas nanti kalau kamu merokok.” Air wajahnya semakin galak.

“Hhhhh..” aku menarik nafas. Untung saja rokoknya tidak dirampas.

Tiga mobil bus untuk mengangkut gerombolan hitam sudah siap. Barang-barang untuk kegiatan di sana dipetakeun agar tidak mengurangi lahan untuk duduk.

Ada hal yang aku pikirkan. Hari ini aku benar-benar tidak merasa diasingkan. Tidak ada sorotan mata aneh sialan yang menghujam kepadaku. Semua berjalan seperti mimpi. Seperti harapanku. Meleset dari perkiraan. Hari ini, seorang spesies manusia yang terlahir sebagai bayi prematur dan memiliki kelainan kromosom tidak terasing dalam kumpulan spesisnya.

Selama diperjalanan kami diselimuti perasaan riang karena kami satu bus dengan orang gila yang memiliki mulut seperti lokomotif. Dia terus mengoceh. Tapi ocehannya tidak membuat kami risih, justru malah menghibur kami. “AWEU.. AWEU..” entah apa artinya, begitu lah ocehannya. Beberapa orang ikut serta melawak untuk mewarnai perjalanan kami. Sekitar dua puluh menit akhirnya kami semua sampai di lokasi kegiatan, Rest Area Urug. Tempatnya sangat ramah. Dan yang paling aku suka, belum terjamah oleh modernism. Yaaa, walupun sudah ada listrik, tapi hal itu tidak merusak kealamian tempat ini. Pohon-pohon besar berumur puluhan tahun masih tegak berdiri dengan aura teduhnya. Udara sejuk tanpa campuran zat polutan yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik industry kapitalis sialan yang tak memperdulikan bumi yang sudah tua ini. Bangunan-bangunan tradisional dengan dinding yang terbuat dari bilik menambah kesan ketenangan tempat ini.

Sesampainya di lokasi, kami dibimbing oleh masing-masing pembimbing kelompok untuk pergi ke penginapan yang sudah disiapkan oleh Kakak-kakak panitia. Kami menyimpan segala perbekalan di penginapan. Istirahat sekitar sepuluh menit. Lalu terdengar instruksi dari keamanan untuk pergi ke ruang aula. Kegiatan pertama kami adalah pemberian materi yang akan disampaikan langsung oleh ketua UKM. Seseorang yang ramah dan murah senyum, Kak Lutfi Pamuji. Dia adalah seorang Begundal. Materi yang dipresentasikannya adalah mengenai organisasi. Dengan Ziper Job For A Cowboy hitam yang dikenakannya dan senyuman ramahnya dia menerangkan.

Tidak semua materi yang disampaikannya tertangkap oleh otakku yang bodoh ini. Pikiranku tidak mau diam focus pada satu permasalahan, dia masih saja lari kesana-kemari. Intinya organisasi adalah satu kesatuan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dan memiliki peraturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama. Lalu dia menjelaskan bahwa dalam kegiatan ini kita tidak hanya untuk bersenang-senang. Kita di sini juga untuk dididik, dilatih, dikukuhkan menjadi anggota resmi UKM, dan yang terakhir adalah darma bakti. Walau organisasi ini adalah suatu organisasi legal yang bergerak di bidang Seni Musik, tapi kita bukan lah orang-orang yang apatis terhadap lingkungan sekitar.

Pendidikan dan pelatihan yang kami terima bukan hanya tentang organisasi dan musik. Kedua hal tersebut bukan apa-apa dibanding dengan pendidikan dan pelatihan mental, kebersamaan, kejujuran, dan pertanggung-jawaban yang kami terima, dan yang paling penting bagiku adalah kesabaran. Bisa saja kepalan tanganku melayang menghantam muka galak kakak-kakak divisi keamanan. Tapi untungnya aku sudah menyiapkan amunisi dan vaksin yang aku temukan tadi pagi. Mental kami dididik dan dilatih dengan tegas oleh kakak-kakak bertampang galak dan juga ganteng-ganteng (Heuheu ulah ngamuknya a :D). Selama kegiatan kami dibentak-bentak, dihukum dan mungkin juga dikerjai. Kebersamaan, kejujuran, dan pertanggung-jawaban kami dididik lewat kesalahan-kesalahan yang kami buat. Mulai dari melanggar aturan sampai kesalahan-kesalahan yang dicari oleh divisi keamanan.

Menjelang sore hari giliran senior-senior UKM Seni Musik yang merberikan materi. Kang Guruh, Kang Gingin, dan Mas Aris dengan masing-masing materi yang telah disiapkan oleh mereka. Pada intinya semua materi yang mereka berikan sama, yaitu tentang Organisasi. Dari awal kegiatan sampai sore ini materi yang kami terima yaitu tentang organisasi. Karena memang itu lah yang terpenting. Soal bermusik biarlah kami belajar setelah kami tahu bagaimana berorgasinasi. Dimana di dalam sebuah organisasi kita harus menendang jauh-jauh egoisme yang kita miliki dan pelihara baik-baik rasa kebersamaan.

Di dunia ini ada hal yang bisa kita lakukan dan ada yang tak bisa kita lakukan. Dan sesuatu yang tidak bisa kita lakukan itu bisa kita lakukan dengan kebersamaan. Sekalipun kualitas kita tidak bisa mencapai kualitas dari apa yang kita cita-citakan, maka kita bisa mengalahkan kualitas itu dengan kuantitas yang besar, yaitu kebersamaan. Dan Kang Guruh juga mengatakan bahwa UKM Seni Musik ini murni dibentuk oleh mahasiswa tanpa campur tangan yayasan apalagi dosen, dan dengan rasa kekeluargaan bersama, tanpa rasa egois. Dia juga menghimbau untuk menghilangkan egoism fakultas dan jurusan.

Materi yang paling menarik buatku adalah materi yang sampaikan oleh Mas Aris, yaitu tentang perbedaan antara organisasi dan partai politik, karena ini ada sangkut-pautnya dengan politik. Saya bukan suka mempelajari politik, tapi saya memang harus belajar politik. Karena politik adalah salah satu senjata mutahir untuk memerangi musuh. Senjata itu telah lama dipakai oleh musuh saya yang juga musuh sodara-sodara saya. Perbedaan partai politik dengan organisasi terletak pada keanggotanya. Partai politik dikuasai oleh kelompok-kelompok elit yang bisa mempengaruhi kebijakan. Namun kelompok-kelompok elit ini hanya ada sekitar 1-5 % saja. Dan anggota-anggota lainnya adalah para partisipans yang berada di tingkat kedua, lalu citizens dan orang-orang yang apathis. Sedangkan keanggotaan organisasi sebaliknya dari keanggotaan partai politik, dimana orang-orang yang masa bodoh hanya sekitar 1-5 % saja, dan banyak dihuni oleh orang-orang yang aktif terlibat dalam rangka menjalankan organisasi tersebut demi tercapainya tujuan bersama.

Setelah para senior memberikan materi, karena waktu sudah menginjak maghrib kami langsung digiring menuju kamar masing-masing untuk melaksanakan kewjiban seorang Muslim, itu juga bagi yang memeluk agama Islam. Hari ini aku tak bisa menikmati panorama yang sudah sekian lama membuatku jatuh cinta padanya. Tak ada ketenengan yang membawakanku sebungkus kehampaan. Senja jingga kulewatkan begitu saja, karena setelah istirahat dan melaksanakan ibadah (bagi yang menjalankan) kami langsung dihadapkan kembali dengan kegiatan. Hhhh.. sang mentari yang tenggelam dibalik pegunungan yang biasa aku nikmati di sawah di belakang rumahku tak melihat sesosok manusia aneh yang gemar melamun dibawah siluet jingga. Dan untungnya dia tidak seperti seorang pacar yang selalu posesif, padahal belum ada tali ikatan pernikahan resmi. Aku hanya bisa melihat langit yang sudah berjelaga. Penguasa hitamnya dunia telah mengibarkan jubah hitamnya.

Pada malam hari kami disuguhi beberapa rangkaian acara hiburan musik yang telah dipersiapkan oleh para  panitia dan juga divisi keamanan. Mulai dari Yel-yel setiap kelompok, kreasi musik dari pserta P3DB, penampilan kakak tingkat, dan juga senior UKM. Tak hanya musik, dancing juga ada (sumpah euy hayang seuri hahaha). Setelah seharian kami lelah dididik dan dilatih, pada malam ini kami tertawa riang. Bahkan saking senangnya ada panitia yang lupa mematiakan rokoknya yang disimpan di atas meja, untunglah saya dan teman sekelompok saya mengetahuinya. Jika tidak mungkin malam yang sarat ceria ini akan berubah menjadi malam yang sibuk mematikan api yang membakar meja, kusen dan mungkin juga bisa merambat ke seluruh ruangan. Pada sela-sela hiburan acara musik, kakak-kakak senior memperkenalkan dirinya masing-masing, bahkan ada juga yang membagi-bagi hadiah. Ada yang nembak orang yang disukainya Setelah acara hiburan selesai kami digiring kembali ke penginapan untuk beristirahat, karena sudah banyak orang yang membuka lebar mulutnya, menguap.

Malam ini aku memutuskan untuk tidak tidur. Buat apa tidur, pukul dua belas malam nanti akan nada kegiatan lagi. Lebih baik aku mendengarkan musik lewat iPod yang setiap bepergian kubawa. Teman-teman sekamarku sudah mulai terbaring. Memejamkan mata, dan mungkin juga sudah tergiur serbuk bunga kematian fana. Hening. Namun tidak dengan pendengaranku. Forgotten album Tiga Angka Enam setia membisingi hari yang terlelap. Ada hal yang kupikirkan sejak tadi sampai di lokasi.

Pukul dua belas malam, ketika teman-teman sekamarku terlelap, namun tidak denganku, divisi keamanan membangunkan kami semua dengan terburu-buru untuk melaksanakan kegiatan selanjutnya.

“Bangun.. bangun.. ayo cepat ke bawah dan bawa perlengkapan kalian masing-masing. Cepat.. cepat..” bentak mereka.

Heh.. aku hanya tersenyum. Ternyata amunisi yang kurangkai tadi pagi benar-benar ampuh. Tetap lah tidur setanku.

Dengan terburu-buru kami semua pergi ke depan ruangan aula, di bawah penginapan kami. Semua berbaris. Dan hampir semua terlambat. Ternyata kami adalah para aktivis kebudayaan Indonesia, terlambat, itu adalah budaya orang Indonesia. Divisi keamanan memberikan kami hadiah hukuman push up. Wajah caludih yang dilukis oleh tidur.

Secara berurutan setiap kelompok dari kelompok satu sempai kelompokku yang paling terakhir pergi meninggalkan barisan untuk pergi menerima pendidikan dan pelatihan dari setia pos. Sebelum semuanya pergi para divisi keamanan mengetahui ada peserta P3DB yang merokok di penginapan. Lantas mereka menanyai kami dengan muka galaknya. Ada yang mengaku, tapi mungkin tak semuanya. Di sini kejujuran dan kebersamaan kami dilatih. Ada hal yang membuatku ingin tertawa. Seorang divisi keamanan, Kak Ipung, dia mendekati wajahku dengan memasang muka galaknya. Sangat dekat. Dan aku ingin tertawa, betapa tidak, sudah empat hari lebih aku tak menggosok gigi. Aku tak tahu apakah dia mencium bau busuk dari nafasku. Lalu dia menyuruhku untuk mengambil rokok yang tadi aku bawa. Dengan kecepatan penuh aku pergi ke penginapan untuk membawa rokoku. Satu menit aku sudah kembali, menyerahkan rokok itu padanya, dan dia bakar unjung rokok itu, lalu menghisapnya. Pada saat itu aku benar-benar kabita. Lalu A Ipung melakukan hal yang sama yang tadi dia lakukan padaku, dia mendekatkan wajahnya galaknya pada seorang peserta wanita. Entah takut atau kenapa wanita itu menangis. A Ipung dan A Ijey bertanya kenapa dia menangis dan menjelaskan apa yang dillakukannya. Yap, mereka benar, ini P3DB, bukan rekreasi.

Yang tersisa hanya tinggal kelompok kami, kelompok yang lain sudah duluan pergi ke setiap pos. Kali ini giliran kami yang ditanyai dan dicari-cari kesalahannya oleh para divisi keamanan. Tak ada rasa takut dan benci secuil pun. Jutsru sebaliknya, aku masih senyam-senyum dan tertawa dalam hati. Sepuluh menit berlalu dalam suasana yang tidak tegang. Dan sekarang giliran kelompokku untuk pergi bertempur.
Di pos pertama kami ditanya tentang organisasi dan kepemimpinan yang kami pelajari tadi siang. Di pos kedua para senior menguji bakat dan minat kami. Di pos ke tiga mental dan kebersamaan kami diuji dan di latih. Tak ada kendala. Semua berjalan seperti suratan yang telah ditulis oleh-Nya. Kami dididik, dilatih, dan diuji. Bagiku semua bentakan, ketegasan, dan hukuman yang mereka berikan kepada kami tak ada apa-apanya disbanding keterasingan, kesepian dan penjara yang ada dalam jiwa ini. Lagipula mereka melakukan itu semua demi kami.

Semua kelompok telah selesai menerima materi dan praktek dari setiap pos. Kini semua pserta, panitia, keamanan, dan juga para senior berkumpul di satu ruang dan waktu yang sama. Setiap peserta mencurahkan isi hati dan kepala mereka tentang kegiatan ini. Hampir semua curhatan kami semua sama. Namun tidak denganku, aku hanya berkata ‘semua ini adalah tentang cinta, derita dan kebencian’. Lalu Mas Aris menjelaskan untuk apa kegiatan ini. Yang kutangkap tak jauh dari namanya, yaitu untuk mendidik dan melatih sebagai awal dari belajar, berkarya, bermusik dan berprestasi dengan kebersamaan. Selain itu dia juga meluruskan divisi keamanan dan senior yang berbelok dengan emosi cintanya.

Kemerduan adzan subuh dengan lagam khasnya sudah terdengar. Divisi keamanan kembali menggiring kami untuk beristirahat di penginapan. Namun lagi-lagi aku memutuskan untuk tidak tidur ketika yang lainnya pulas dengan obat tidur alami yang bernama lelah yang dikonsumsi mereka. Musik yang penuh distorsi kembali mengalun menghibur telinga, pikiran, dan hatiku yang masih sibuk dengan pikiran yang belum lari dari otakku sejak kemarin. Ada hal yang masih aku pikirkan. Aku masih mencari jawaban. Bukan jawaban dari pertanyaan ‘Hidup ini apa? Untuk Apa?’. Heh.. persetan dengan kedua pertanyaan itu. Hidup ini terlalu dini dan terlalu rumit untuk kudefinisikan.

Pukul tujuh lebih beberapa menit teman-temanku bangun dan bergegas untuk mandi. Namun lagi-lagi aku melakukan hal yang sama dengan mereka. Malas mandi.

Pagi ini divisi keamanan tidak bermain-main dengan kegalakannya. Mereka mengumpulkan kami semua di sepan penginapan. Mempersilahkan kami untuk bermain musik secara akustik. Teman-temanku menunjukan kemampuannya. Bermain gitar, jimbe dan juga bernyanyi. Saling menertawakan karena ada adegan-adegan konyol yang disuruh oleh A Ijey. Aku masih duduk sendiri di pojok teras penginapan. Sibuk menggrilia dalam dimensi pikiran. Dia dekat dengan jasad yang menjadi wadah ruhku ini. Siapa dia?

“Mana si Gema? Gema sini maju ke depan. Nyanyi dan main gitar.” A Ijey memanggilku.

Hah.. Apa? Aku nyanyi dan main gitar? Apa yang bisa aku lakukan? Aku tak bisa memainkan alat musik. Lalu mengapa aku masuk UKM Seni Musik. Ah, aku juga tak tahu, aku hanya ingin belajar musik, bermusik, berorganisasi dan mempunyai keluarga baru. Lalu apa yang bisa aku berikan untuk organisasi ini? Ah, iya, apa yaa, emmhh, aku bisa memberikan loyalitas, cinta dan kebencianku.

“Saya gak bisa main alat musik, A, saya juga gak bisa nyanyi.” jelasku.

“Bohong. Nanti ilmunya hilang. Semalam juga kamu teriak-teriak seperti orang gila. Sok gancang, ke dibawa maen ku urang.” rayunya.

Dari mana dia mengetahui saya suka bergelut dalam musik Metal dengan senjata yang bisa mengacaukan satu negara, mikrofon. Ah, iya, semalam aku disuruh untuk menyanyikan lagu yang aku sukai. Pastinya salahsatu lagu dari Band kontroversial asal Bandung, Forgotten. Band yang memiliki seorang monster mutan sastra Indonesia, seseorang yang gemar menyatakan yang ada dalam pikirannya dengan argument yang bersifat sarkasme dan juga Multi-tafsir. Malam itu aku berteriak-teriak seperti orang gila yang mabuk akibat terlalu menyelami kutukan ini ‘Demi surge yang kau janjikan, tentang satu hidup yang kekal. Demi sebuah utopia, tentang marahku pada dunia. Untuk benci dan dendam, rayakan kehancuran’. Resital Apokalips!

“Lah atuh, A, hoream.” jawabku.

“Eh, sok gancang.” A Ijey memaksa.

Apa daya. Aku kembali berteriak-teriak di depan orang-orang. ‘Kan kubangun surge dari puing neraka, tak menunggu hingga kita tiada. Merakit luka, duka dan dosa. Marah dendam jadikan senjata’. Satu lagi lagu dari Forgotten kuteriakkan. Aku tak tahu seperti apa ekspresi orang-orang yang ada di penku. Heh.. persetan. Aku bukan seorang pemuja berhala yang bernama gengsi. Selesai mengumpat aku kembali ke tempat yang membuatku nyaman dengan pikiranku. Pojok teras penginapan. Kembali asik dengan pikiran. Semakin menjadi orang gila saja, selesai teriak-teriak langsung diam melamun menerawang langit yang saat ini kupandang. Ada sesuatu yang aku pikirkan, masih aku pikirkan, dan aku masih belum menemukan jawaban.

Sudah waktunya untuk sarapan. Kami kembali digiring oleh divisi keamanan menuju ruang aula untuk pembagian makan. Wes mangan ora udud enek. Yaa, itulah yang aku rasakan. Melihat para panitia menghisap asap nikotin, meracuni paru hanya untuk menghilangkan rasa enek, menghembuskan beban yang keluar bersama dengan asap rokok yang tidak mengalir masuk ke dalam paru-paru. Dan pada akhirnya ada juga orang yang peduli terhadap para pecandu racun seperti kami. A Lutfi mengijikan kami untuk merokok, walau hanya satu batang yang harus pas dihabiskan oleh sekitar dua puluh orang. Walau hanya kebagian satu hisapan yang lumayan panjang dan dalam, setidaknya paru ini sudah teracuni dan mengurangi sedikit rasa enek, dan juga mengurangi umur yang katanya setiap umur itu sudah ditetapkan oleh Tuhan yang menciptakan kita.

Acara parasmanan berganti dengan acara hiburan, lagi. Sekarang hanya peserta saja yang memberikan kreasi hiburannya. Yel-yel dan Mars UKM. Dance juga iktu merangsang saraf tawa kami, terutama saya. Dan kegiatan P3DB pun sudah hampir mencapai klimaks. Ada konflik antara panitia dan divisi keamanan. Semua terjadi secara tiba-tiba mengejutkan kami. Apa ini kebetulan? Atau sudah direncanakan oleh Tuhan? Atau mungkin saja juga sudah direncanakan oleh mereka.

Kami, para peserta P3DB hanya menonton peserta konflik yang sedang asik bermain sebuah game nyata. Para panitia tidak mau diatur semena-mena oleh keamanan yang katanya divisi keamanan pun masih perlu diamankan. Seorang divisi keamanan yang telat, yang memakai celana pendek, dan yang merorok menjadi sebuah alasan yang kuat bagi para panitia. Sedangkan divisi keamanan yang merasa paling benar karena mereka merasa mereka lah yang paling bertanggung jawab dalam kegiatan ini tidak mau kalah. Seorang panitia lantang bicara kalau yang berhak mengatur dan bertanggung jawab dalam kegiatan ini adalah ketua pelaksana dan ketua UKM. Heh.. aku hanya tersenyum melihat sebuah organisasi yang menganjurkan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan kami, sedangkan rasa kebersamaan mereka pun nihil ketika ada konflik seperti ini. Apa itu kebersamaan? Mana kebersamaan kalian? Bukan itu masalahnya. Ini semua hanya sekenario Tuhan dan mungkin juga ada sutradara yang kedua.

Ketua UKM pun iktu serta bermain.

“Kalian gak malu sama peserta, hah? Kalian gak menghargai saya sebagai ketua?” teriak A Lutfi.

“Tuh hargai ketua UKM.” seorang panitia ngotot ingin menang.

“Kami bukan tidak menghargaimu sebagai ketua UKM, kami hanya bersuaha untuk mengamankan kegiatan, dan mereka susah untuk diamankan, bahkan melawan” divisi keamanan pun tidak mau kalah.

Perdebatan kata dan kontak fisik yang semu berlangsung sampai ketua UKM memutuskan untuk meninggalkan ruangan dan konflik. Mengapa seorang ketua malah meninggalkan konflik yang seharunya dialah yang paling berpengaruh bisa mentralisir masalah ini. Ah, tidak, ini hanya lah sekenario Tuhan. Atau mungkin juga ada sutradara kedua.

Selain ketua UKM, para panitia pun pergi meninggalkan ruangan dan katanya juga akan pulang untuk meninggalkan kegiatan. Divisi keamanan masih tegak berdiri dengan angkuhnya di depan. Dan kami sibuk dengan persepsi kami masing-masing apa yang sebnernya terjadi. Namun tidak denganku. Pikiran itu masih asik berjalan kesana-kemari di otakku.

Divisi keamanan memerintahkan kami untuk sementara pergi dulu ke penginapan. Mungkin mereka ingin mendiskusikan dulu masalah yang mereka hadapi. Kami pergi ke penginapan tanpa digiring oleh divisi keamanan. Sesampainya di kamar, teman-temanku sibuk mengoceh tentang konflik yang tadi kami tonton. Semuanya menyatakan persepsi mereka masing-masing. Apa yang barusan terjadi. Sedangkan aku hanya diam memperhatikan argumen-argumen mereka. Seorang divisi keamanan memerikasa setiap kamar agar tidak ada pintu dan jendela yang terbuka, dan tidak ada peserta yang di luar ruangan. Sekitar sepuluh menit kemudian kami disuruh untuk keluar kamar dan kami kembali digiring ke suatu tempat. Tempat dimana klimaks orgasme dari sebuah persenggamaan.

Di tempat ini divisi keamanan menghukum para peserta yang perlengkapannya tidak lengkap, dan yang semalam merokok pun dihukum kembali. Mereka juga mengintrogasi orang-orang yang melawan dan tidak suka kepada mereka. Ada juga peserta tak konsisten yang berpihak pada mereka. Aku masih diam dan sibuk, tidak larut dalam kegiatan. Gerombolan panitia kembali terjun pada medan konflik. Tak hanya panitia, senior pun berdatangan. Tak lupa ketua UKM. Perang mulut kembali meledak. Satu tangan senior yang sedang mencoba meluruskan masalah melayang menghantam muka seorang panitia yang terus nyerocos seperti mesin lokomotif. Divisi keamanan salah. Dan panitia pun salah. Semua tak luput dari kesalahan. Kita di sini harus bisa saling menghargai dan meluruskan. Bukan merasa yang paling benar dan berhak. Tunjukan kebersamaan yang selalu kalian suarakan kepada peserta. Tak ada yang berbicara. Seorang senior akhirnya dapat meredakan masalah. Walau sampai harus ada wanita yang merengek nangis dan wajah sebagai lahan sasaran dari telapak tangan.

Konflik sudah mulai mendingin. Waktunya kami dikukuhkan menjadi anggota resmi UKM Seni Musik. Salah satu pendiri UKM, Kang Gingin menyampaikan amanatnya,

“Ini adalah kegiatan terakhir dalam acara P3DB yang sudah kalian tempuh. Terimakasih kepada panitia dan juga divisi keamanan yang sudah mempersiapkan semuanya. Dan perlu kalian tahu, semua konflik yang terjadi barusan itu adalah sekenario kami.” jelas Kang Gingin.

Kami memberikan tepuk tangan. Ada yang berbicara kalau mereka sudah tahu kalau konflik ini hanya lah sebuah sekenario. Aku hanya diam, tersenyum. Sekenario dari Tuhan dan juga ada sutradara kedua yang membuat naskah sekenario konflik ini. Senior yang tadi melayangkan tangannya kepada panitia meminta maaf. Semua orang riang.

Satu persatu pendiri UKM memberikan pidatonya. Seksi dokumentasi sibuk dengan kameranya. Kami pun tidak semua memperhatikan dan tidak memperhatikan semuanya. Sampai pendiri UKM mengukuhkan kalau kami sudah resmi menjadi anggota UKM ini. Tapi aku tidak. Bagiku ini adalah sebuah keluarga baruku.

Upacara pengukuhan berjalan dengan lancar. Kami, anggota keluarga baru didokumentasikan bersama kakak-kakak tingkat dan juga senior dengan menggunakan media foto. Tak ada salahnya bukan bila kita mengabadikan sesuatu yang bisa saja hal itu adalah yang terakhir kita alami. Semua kembali ke penginapan untuk melakukan persiapan pulang. Mereka berfoto ria, dengan teman sekelompok, dengan teman dari kelompok lain juga, dan juga dengan kakak tingkat. Aku hanya duduk menikmati sebatang rokok kretek dari temanku. Meresapi setiap rasa dari asap beracun alami. Menikmati setiap rangsangan yang kuterima. Aku masih sibuk dalam dimensi pikiranku. Mengolah setiap kejadian untuk kemudian mendapatkan konklusi berdasarkan persepsi dan subjektifitasku.

Hhhh.. aku menarik nafas panjang. Siapa dia? Mengapa dia melakukan itu? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kita semua telah siap untuk pulang, yang kemudian tidur pulas karena lelah yang terlahir dari sebuah usaha. Sesampainya di kampus kami kembali diberikan pengarahan oleh panitia. Tapi sepertinya kami sudah terlalu lelah untuk mencernanya. Beruntung lah kami, ketua UKM, A Lutfi pengertian terhadap kondisi kami yang lelah. Dia menyuruh kami untuk segera pulang dan beristirahat. 

Ada sesuatu yang aku pikrikan. Masih. Sejak awal kegiatan tidak ada orang yang menyorotkan pandangan anehnya pada raga yang diberikan Tuhan padaku untuk berinteraksi dengan dunia ini. Namun ada satu orang yang selalu memperhatikanku. Ketika dia dan say berada di satu ruang dan waktu yang sama dia selalu memandangiku. Saya bukan Tuhan yang mengetahui apa sebenarnya yang ada dalam hati dan pikiran seseorang. Saya tak tahu apa dia aneh padaku atau benci. Sejak awal kegiatan kami berdua dipertemukan oleh Sang Perancang takdir saya merasa dia itu berbeda dari yang lain.

Apa aku terasing tdiak terasing? Atau malah terasing ketika orang lain tak lagi menatap aneh diriku, ketika hanya seorang yang menatap tajam hingga pandanganku menunduk melihat kemisteriusannya? SIapa dia? Jika aku memecahkan tempurungnya hingga berlubang, apa aku bisa tahu apa yang dia pikirkan ketika melihatku seperti itu? Jika aku mematahkan tulang rusuknya dan merobek dadanya hingga menganga, apa aku bisa menemukan dan tahu yang ada dalam hatinya ketika dia menatapku seperti itu? Dan kenapa juga ketika orang lain tak ada yang ingin berada di sisiku ketika aku sedang asik menyendiri dengan dimensi pikiran dan imajinasiku kau malah berada di sampingku hanya untuk sekedar basa-basi yang sebenarnya aku tak peduli? Bila saja genealogi kemisteriusan itu kutelusuri, semua berhulu pada hidup yang rumit dan kadang absurd ini. Hidup yang selalu membuatku tersungkur tak berdaya. Hidup yang aku anggap hanya sebagai kutukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar