KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN
Salah satu sudut Kampung China di Jalan Panjaitan, Kota Bengkulu,
Provinsi Bengkulu, Kamis (19/1/2012), yang dahulu merupakan jantung
perekonomian Kota Bengkulu kini cenderung sepi.
LAMPION lusuh yang menggelantung di sepanjang jalan
seolah mewakili wajah kawasan Kampung China di Kota Bengkulu. Roda
ekonomi yang dulu berputar kencang di kawasan ini memang terus melambat
dan kini bahkan seolah terhenti.
Setidaknya suasana itu tampak
pada awal Maret lalu menjelang Tahun Baru China 2536. Suasana semarak,
yang mestinya menyambut perayaan tahun naga air, sama sekali tidak
tampak. Padahal, keberadaan Kampung China itu tak lepas dari sejarah
terbentuknya Kota Bengkulu.
Rumah dan toko di pecinan itu berderet
di sepanjang Jalan Panjaitan dan Jalan Pendakian, Kota Bengkulu.
Sedikit bangunan yang masih mempertahankan arsitektur lama berupa rumah
berbahan kayu. Sebagian besar sudah berupa rumah tembok. Maklum,
kebakaran pada tahun 1990-an telah menghancurkan rumah-rumah tua
berbahan kayu itu.
Dari depan, rumah-rumah itu terlihat kecil.
Namun, kalau kita melongok ke bagian dalam, rumah itu luas memanjang ke
belakang. Ada pemandangan lain yang mencolok di pecinan itu. Di bagian
belakang sejumlah rumah berdiri lebih tinggi lagi bangunan sarang burung
walet.
Dari beberapa rumah toko (ruko) yang ada hanya sebagian
kecil yang masih buka. Bahkan, tidak sedikit rumah yang dari depan
tertutup rapat seperti tak berpenghuni.
Pecinan di Kota Bengkulu
yang biasa disebut Kampung China terletak di Kelurahan Malabro,
Kecamatan Teluk Segara. Terletak persis di depan gerbang Benteng
Marlborough yang merupakan pusat pemerintahan kolonial Inggris sekaligus
gudang penyimpanan rempah membuat Kampung China strategis.
Ho
Liang (58) alias Iskandar, yang masih tinggal di Jalan Panjaitan bersama
keluarga dan orangtuanya, mengisahkan, jauh sebelum ia lahir pecinan
Bengkulu sudah menjadi pusat perniagaan Kota Bengkulu. Posisinya yang
dekat dengan pelabuhan di Pantai Tapak Paderi membuat aktivitas warga
berlangsung 24 jam tanpa henti. Aktivitas nelayan di sekitar pelabuhan
pun sibuk dan ramai.
Bongkar muat kapal barang dan arus penumpang
yang datang dan pergi dari pelabuhan menjadi pemandangan sehari-hari.
Kawasan pecinan, pelabuhan, dan benteng Marlborough juga ramai dengan
aktivitas pedagang.
Di sekitar pecinan berdiri gudang-gudang
dengan pintu yang besar-besar untuk menampung hasil bumi yang dikirim
dari pelosok Bengkulu. Kopi, cengkeh, sahang atau lada, dan karet adalah
hasil bumi dari Bengkulu yang mendominasi perdagangan lintas pulau kala
itu.
Sekitar 10 kapal kecil berkapasitas penumpang 20-30 orang
yang melayani rute Padang- Bengkulu pun masih beroperasi. ”Saya ingat
ada kapal besar bernama Kuan Maru yang berlayar dari
Padang-Bengkulu-Jakarta. Saya biasa berenang hingga ke bawah kapal
tongkang yang membawa penumpang dari kapal Kuan Maru ke pelabuhan,”
kenang ayah empat anak itu.
Kapal tongkang digunakan untuk membawa
penumpang dari kapal besar karena kapal berukuran besar tidak bisa
merapat di Pelabuhan Bengkulu karena dasar alur pelabuhan dipenuhi
karang.
Dua daerah
Warga keturunan Tionghoa
yang bermukim di Kampung China Kota Bengkulu mayoritas berasal dari dua
daerah, yakni Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Muara Aman,
Kabupaten Lebong. Mereka yang datang dari Manna, seperti halnya Ho Liang
dan orangtuanya, bermata pencarian dari sektor perkebunan. Sedangkan
mereka yang datang dari Muara Aman kebanyakan bekerja di tambang emas.
Jika
ditarik jauh ke belakang dari cerita Ho Liang, sejarah mencatat kawasan
pecinan itu lengkap dengan pelabuhan dan Benteng Marlborough telah
menjadi pusat kota sejak abad ke-19.
Kawasan Simpang Lima di ujung
Jalan Suprapto yang menjadi pusat perdagangan saat ini (sekitar 1,5
kilometer dari pecinan), kala itu hanyalah batas kota tempat musafir
berhenti melepas lelah. Selepas daerah itu, yang tampak hanyalah hutan
belantara.
Prof Dr Abdullah Siddik dalam bukunya Sejarah Bengkulu
1500-1990 menyebutkan, warga keturunan Tionghoa mulai bermukim di
Bengkulu sejak tahun 1689 setelah diizinkan oleh kongsi dagang kerajaan
Inggris, East India Company (EIC), yang menjalin kerja sama perdagangan
lada dengan sejumlah kerajaan di Bengkulu.
Pada tahun 1714, telah
banyak bangsa keturunan China yang menetap di Ujung Karang (Kota
Bengkulu sekarang). Mereka umumnya bekerja sebagai buruh perkebunan dan
sebagian kecil ada juga yang berdagang. Mereka diberi kedudukan istimewa
oleh Wakil Gubernur Joseph Collet saat itu. Warga keturunan China
tersebut dipimpin oleh seorang kapitan.
Pelabuhan di Ujung Karang
menjadi jantung perekonomian Bengkulu saat itu. Roda perekonomian
berputar cepat sehingga menjadi magnet bagi orang-orang untuk
berdatangan mengadu peruntungan. Pada tahun 1766, penduduk Kota Bengkulu
sudah mencapai sekitar 10.000 jiwa. Penduduk tersebut terdiri dari
etnis Melayu yang mayoritas, beberapa ratus orang China, orang-orang
Bugis yang menjadi tentara kompeni dan pegawai kompeni Inggris, serta
para budak dari sejumlah daerah.
Mantan Sekretaris Paguyuban
Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Bengkulu Darman Lie (58)
menuturkan, seiring perkembangan zaman, Kota Bengkulu terus mengalami
perluasan. Pengembangan kota diarahkan ke jalan lingkar timur dan barat
yang dibangun oleh Gubernur Bengkulu ke-3 Suprapto (menjabat di tahun
1979-1989).
Tak pelak, kedua jalan lingkar itu menjadi pusat
perekonomian baru. Para pengusaha pun mengalihkan bisnisnya ke lokasi
itu. Praktis, pecinan yang dulu ramai perlahan menjadi sepi.
Kini,
tidak banyak lagi toko onderdil kendaraan yang dulu meramaikan Jalan
Panjaitan. Begitu pula kondisi di Jalan Pendakian yang dulu merupakan
sentra perdagangan perhiasan emas. Tinggal toko emas Surya dan Harmaini
yang bertahan.
Pecinan semakin ditinggalkan penghuninya ketika
pada tahun 2000-an, usaha sarang burung walet makin marak. Tidak sedikit
rumah dan toko yang dulunya dihuni dijual kepada investor dari luar
Kota Bengkulu untuk dijadikan sarang burung walet. ”Dulu harga rumah
bisa sampai Rp 600 juta. Sekarang setelah walet sepi, rumah dijual Rp
250 juta saja susah laku,” ujar Ho Liang.
Menurut Ho Liang,
sekarang rumah-rumah di Kampung China umumnya dihuni oleh orang-orang
tua. Anak-anak mereka biasanya sekolah atau kuliah di luar Bengkulu.
Pada umumnya, anak muda keturunan Tionghoa yang merantau itu enggan
pulang kampung lagi ke Bengkulu. ”Kalau anak muda tinggal di Bengkulu
kapan majunya? Di sini suasanya terlalu santai. Bisa-bisa mereka jadi
malas,” kata Darman.
Sebenarnya, menurut Ketua Asosiasi Biro
Perjalanan Wisata (Asita) Bengkulu Kurnia Lesandri Adnan, pecinan
Bengkulu bisa dijadikan sebagai tujuan wisata sejarah. Apalagi lokasinya
yang berdekatan dengan Benteng Marlborough dan peninggalan Inggris
lainnya.
Sayangnya, kata Lesandri, pemerintah daerah tidak melihat
ini sebagai peluang. Pemerintah lebih cenderung membangun pariwisata
yang berorientasi proyek daripada berpikir kreatif memberdayakan potensi
yang ada. Bisa ditebak, itu karena pada pariwisata berorientasi proyek
itulah dimungkinkan pengambilan keuntungan pribadi pada lapisan elite
pemerintahan.
Akhirnya, sekarang Kampung China di Kota Bengkulu
pun seakan hidup segan mati pun enggan. Tebersit harapan kiranya tahun
naga air ini membawa perubahan ke arah yang positif bagi keberadaan
kampung bersejarah di Kota Bengkulu itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar