22 Juni 2012

Jejak Sejarah Terlindas Roda Zaman

KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN Salah satu sudut Kampung China di Jalan Panjaitan, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, Kamis (19/1/2012), yang dahulu merupakan jantung perekonomian Kota Bengkulu kini cenderung sepi.

LAMPION lusuh yang menggelantung di sepanjang jalan seolah mewakili wajah kawasan Kampung China di Kota Bengkulu. Roda ekonomi yang dulu berputar kencang di kawasan ini memang terus melambat dan kini bahkan seolah terhenti.
Setidaknya suasana itu tampak pada awal Maret lalu menjelang Tahun Baru China 2536. Suasana semarak, yang mestinya menyambut perayaan tahun naga air, sama sekali tidak tampak. Padahal, keberadaan Kampung China itu tak lepas dari sejarah terbentuknya Kota Bengkulu.
Rumah dan toko di pecinan itu berderet di sepanjang Jalan Panjaitan dan Jalan Pendakian, Kota Bengkulu. Sedikit bangunan yang masih mempertahankan arsitektur lama berupa rumah berbahan kayu. Sebagian besar sudah berupa rumah tembok. Maklum, kebakaran pada tahun 1990-an telah menghancurkan rumah-rumah tua berbahan kayu itu.
Dari depan, rumah-rumah itu terlihat kecil. Namun, kalau kita melongok ke bagian dalam, rumah itu luas memanjang ke belakang. Ada pemandangan lain yang mencolok di pecinan itu. Di bagian belakang sejumlah rumah berdiri lebih tinggi lagi bangunan sarang burung walet.
Dari beberapa rumah toko (ruko) yang ada hanya sebagian kecil yang masih buka. Bahkan, tidak sedikit rumah yang dari depan tertutup rapat seperti tak berpenghuni.
Pecinan di Kota Bengkulu yang biasa disebut Kampung China terletak di Kelurahan Malabro, Kecamatan Teluk Segara. Terletak persis di depan gerbang Benteng Marlborough yang merupakan pusat pemerintahan kolonial Inggris sekaligus gudang penyimpanan rempah membuat Kampung China strategis.
Ho Liang (58) alias Iskandar, yang masih tinggal di Jalan Panjaitan bersama keluarga dan orangtuanya, mengisahkan, jauh sebelum ia lahir pecinan Bengkulu sudah menjadi pusat perniagaan Kota Bengkulu. Posisinya yang dekat dengan pelabuhan di Pantai Tapak Paderi membuat aktivitas warga berlangsung 24 jam tanpa henti. Aktivitas nelayan di sekitar pelabuhan pun sibuk dan ramai.
Bongkar muat kapal barang dan arus penumpang yang datang dan pergi dari pelabuhan menjadi pemandangan sehari-hari. Kawasan pecinan, pelabuhan, dan benteng Marlborough juga ramai dengan aktivitas pedagang.
Di sekitar pecinan berdiri gudang-gudang dengan pintu yang besar-besar untuk menampung hasil bumi yang dikirim dari pelosok Bengkulu. Kopi, cengkeh, sahang atau lada, dan karet adalah hasil bumi dari Bengkulu yang mendominasi perdagangan lintas pulau kala itu.
Sekitar 10 kapal kecil berkapasitas penumpang 20-30 orang yang melayani rute Padang- Bengkulu pun masih beroperasi. ”Saya ingat ada kapal besar bernama Kuan Maru yang berlayar dari Padang-Bengkulu-Jakarta. Saya biasa berenang hingga ke bawah kapal tongkang yang membawa penumpang dari kapal Kuan Maru ke pelabuhan,” kenang ayah empat anak itu.
Kapal tongkang digunakan untuk membawa penumpang dari kapal besar karena kapal berukuran besar tidak bisa merapat di Pelabuhan Bengkulu karena dasar alur pelabuhan dipenuhi karang.
Dua daerah
Warga keturunan Tionghoa yang bermukim di Kampung China Kota Bengkulu mayoritas berasal dari dua daerah, yakni Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, dan Muara Aman, Kabupaten Lebong. Mereka yang datang dari Manna, seperti halnya Ho Liang dan orangtuanya, bermata pencarian dari sektor perkebunan. Sedangkan mereka yang datang dari Muara Aman kebanyakan bekerja di tambang emas.
Jika ditarik jauh ke belakang dari cerita Ho Liang, sejarah mencatat kawasan pecinan itu lengkap dengan pelabuhan dan Benteng Marlborough telah menjadi pusat kota sejak abad ke-19.
Kawasan Simpang Lima di ujung Jalan Suprapto yang menjadi pusat perdagangan saat ini (sekitar 1,5 kilometer dari pecinan), kala itu hanyalah batas kota tempat musafir berhenti melepas lelah. Selepas daerah itu, yang tampak hanyalah hutan belantara.
Prof Dr Abdullah Siddik dalam bukunya Sejarah Bengkulu 1500-1990 menyebutkan, warga keturunan Tionghoa mulai bermukim di Bengkulu sejak tahun 1689 setelah diizinkan oleh kongsi dagang kerajaan Inggris, East India Company (EIC), yang menjalin kerja sama perdagangan lada dengan sejumlah kerajaan di Bengkulu.
Pada tahun 1714, telah banyak bangsa keturunan China yang menetap di Ujung Karang (Kota Bengkulu sekarang). Mereka umumnya bekerja sebagai buruh perkebunan dan sebagian kecil ada juga yang berdagang. Mereka diberi kedudukan istimewa oleh Wakil Gubernur Joseph Collet saat itu. Warga keturunan China tersebut dipimpin oleh seorang kapitan.
Pelabuhan di Ujung Karang menjadi jantung perekonomian Bengkulu saat itu. Roda perekonomian berputar cepat sehingga menjadi magnet bagi orang-orang untuk berdatangan mengadu peruntungan. Pada tahun 1766, penduduk Kota Bengkulu sudah mencapai sekitar 10.000 jiwa. Penduduk tersebut terdiri dari etnis Melayu yang mayoritas, beberapa ratus orang China, orang-orang Bugis yang menjadi tentara kompeni dan pegawai kompeni Inggris, serta para budak dari sejumlah daerah.
Mantan Sekretaris Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Bengkulu Darman Lie (58) menuturkan, seiring perkembangan zaman, Kota Bengkulu terus mengalami perluasan. Pengembangan kota diarahkan ke jalan lingkar timur dan barat yang dibangun oleh Gubernur Bengkulu ke-3 Suprapto (menjabat di tahun 1979-1989).
Tak pelak, kedua jalan lingkar itu menjadi pusat perekonomian baru. Para pengusaha pun mengalihkan bisnisnya ke lokasi itu. Praktis, pecinan yang dulu ramai perlahan menjadi sepi.
Kini, tidak banyak lagi toko onderdil kendaraan yang dulu meramaikan Jalan Panjaitan. Begitu pula kondisi di Jalan Pendakian yang dulu merupakan sentra perdagangan perhiasan emas. Tinggal toko emas Surya dan Harmaini yang bertahan.
Pecinan semakin ditinggalkan penghuninya ketika pada tahun 2000-an, usaha sarang burung walet makin marak. Tidak sedikit rumah dan toko yang dulunya dihuni dijual kepada investor dari luar Kota Bengkulu untuk dijadikan sarang burung walet. ”Dulu harga rumah bisa sampai Rp 600 juta. Sekarang setelah walet sepi, rumah dijual Rp 250 juta saja susah laku,” ujar Ho Liang.
Menurut Ho Liang, sekarang rumah-rumah di Kampung China umumnya dihuni oleh orang-orang tua. Anak-anak mereka biasanya sekolah atau kuliah di luar Bengkulu. Pada umumnya, anak muda keturunan Tionghoa yang merantau itu enggan pulang kampung lagi ke Bengkulu. ”Kalau anak muda tinggal di Bengkulu kapan majunya? Di sini suasanya terlalu santai. Bisa-bisa mereka jadi malas,” kata Darman.
Sebenarnya, menurut Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita) Bengkulu Kurnia Lesandri Adnan, pecinan Bengkulu bisa dijadikan sebagai tujuan wisata sejarah. Apalagi lokasinya yang berdekatan dengan Benteng Marlborough dan peninggalan Inggris lainnya.
Sayangnya, kata Lesandri, pemerintah daerah tidak melihat ini sebagai peluang. Pemerintah lebih cenderung membangun pariwisata yang berorientasi proyek daripada berpikir kreatif memberdayakan potensi yang ada. Bisa ditebak, itu karena pada pariwisata berorientasi proyek itulah dimungkinkan pengambilan keuntungan pribadi pada lapisan elite pemerintahan.
Akhirnya, sekarang Kampung China di Kota Bengkulu pun seakan hidup segan mati pun enggan. Tebersit harapan kiranya tahun naga air ini membawa perubahan ke arah yang positif bagi keberadaan kampung bersejarah di Kota Bengkulu itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar